Mengapa Banyak Candi di Indonesia Tak Menggunakan Semen?

- Arsitek leluhur memilih sistem kunci antarbatu untuk kestabilan struktur dalam jangka panjang.
- Tukang batu memahami sifat material dengan sangat baik dan memilih batu berdasarkan karakteristiknya.
- Struktur bangunan disesuaikan dengan iklim tropis, menghindari penggunaan semen yang bisa kontraproduktif.
Keberadaan candi di Indonesia tak hanya memperkaya lanskap budaya, tapi juga mengungkap banyak sisi teknis yang sering terabaikan. Salah satunya adalah metode konstruksi yang tak lazim dibanding bangunan modern yakni tanpa penggunaan semen. Meski dibangun ratusan tahun lalu, banyak candi tetap kokoh berdiri, bahkan setelah dilanda gempa atau hujan bertahun-tahun.
Untuk memahami alasan di balik teknik tanpa semen ini, penting melihat lebih dalam sejarah bangunan, bahan yang digunakan, hingga filosofi pembangunan masa lampau. Berikut lima penjelasan yang dapat memberi gambaran lebih utuh tentang alasan banyak candi di Indonesia tak menggunakan semen.
1. Arsitek leluhur memilih sistem kunci antarbatu

Salah satu teknik utama yang digunakan dalam pembangunan candi adalah sistem interlocking atau kunci antar-batu. Batu-batu disusun sedemikian rupa sehingga saling mengunci tanpa membutuhkan bahan perekat tambahan. Teknik ini memanfaatkan gravitasi, berat batu, dan kekuatan bentuk geometris untuk menjaga kestabilan struktur dalam jangka panjang.
Keunggulan sistem ini bukan hanya pada ketahanan fisik, tapi juga pada kemudahan perawatan. Jika ada bagian yang rusak atau bergeser, batu bisa dilepas dan diganti tanpa merusak keseluruhan struktur. Pendekatan ini mencerminkan kecerdasan teknis masyarakat masa lalu yang mampu memadukan kepraktisan dan daya tahan dalam satu metode bangunan. Teknik ini juga memperlihatkan pemahaman mendalam terhadap bahan alami yang digunakan.
2. Tukang batu memahami sifat material dengan sangat baik

Para perajin masa lalu tidak asal memilih batu untuk bahan bangunan. Mereka memahami bahwa tiap jenis batu memiliki karakteristik berbeda, seperti tingkat porositas, berat, dan ketahanan terhadap cuaca. Batuan andesit, misalnya, dipilih karena tahan lama, mudah dibentuk saat dipahat, namun cukup kuat untuk menopang struktur besar.
Dengan pengetahuan ini, mereka bisa mengolah batu tanpa harus mengandalkan perekat tambahan. Penempatan tiap batu diperhitungkan dengan cermat agar menopang satu sama lain secara seimbang. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya jago secara teknis, tetapi juga punya kepekaan tinggi terhadap alam dan bahan bangunan yang digunakan.
3. Struktur bangunan disesuaikan dengan iklim tropis

Indonesia memiliki iklim tropis yang lembap dan sering hujan. Penggunaan semen dalam kondisi seperti ini bisa jadi kontraproduktif karena semen bisa menyerap air dan mempercepat pelapukan. Sebaliknya, konstruksi tanpa semen memungkinkan air mengalir di sela-sela batu dan menguap dengan cepat, menghindari akumulasi kelembapan.
Selain itu, desain candi umumnya memiliki sistem drainase alami. Hal ini memperkuat ketahanan bangunan terhadap cuaca ekstrem. Adaptasi terhadap iklim ini menunjukkan bahwa teknik konstruksi kuno bukan hanya soal keindahan estetika, tetapi juga hasil observasi panjang terhadap lingkungan.
4. Konsep spiritualitas mempengaruhi teknik konstruksi

Pembangunan candi bukan semata-mata proyek fisik, tetapi juga sarat makna spiritual. Tiap batu yang disusun dipercaya mengandung nilai simbolis dan filosofis, termasuk dalam hal pemilihan teknik pembangunan. Tidak menggunakan semen bisa jadi merupakan bagian dari konsep kesucian, di mana bangunan harus selaras dengan alam dan tidak melawan kodratnya.
Dengan demikian, metode penyusunan batu yang tidak menggunakan perekat mencerminkan kepercayaan bahwa struktur yang kuat adalah hasil dari keseimbangan, bukan paksaan. Dalam hal ini, konstruksi candi menjadi manifestasi filosofi hidup masyarakat masa lalu yang menjunjung keteraturan alam.
5. Kemampuan adaptasi tinggi dalam proses pembangunan

Pembangunan candi melibatkan kolaborasi antara arsitek, tukang, dan ahli spiritual yang bekerja sesuai fungsi masing-masing. Tidak adanya semen justru memberi ruang bagi fleksibilitas saat pembangunan berlangsung. Jika desain perlu diubah di tengah proses, batu bisa dipindahkan atau diganti tanpa menghancurkan struktur.
Adaptasi ini penting karena banyak candi dibangun dalam waktu lama dan bisa melewati beberapa generasi pekerja. Sistem non-permanen memungkinkan transisi berjalan mulus. Pendekatan ini juga memperlihatkan bahwa metode tradisional tidak berarti kuno atau ketinggalan zaman, melainkan terbukti efisien dan visioner dalam menghadapi tantangan pembangunan.
Keunikan candi di Indonesia tidak terletak pada kemegahannya semata, tetapi juga pada teknik konstruksinya yang cerdas dan adaptif. Candi di Indonesia tak menggunakan semen bukan karena keterbatasan, melainkan hasil dari pemahaman mendalam terhadap alam, bahan, dan nilai-nilai budaya. Sejarah bangunan kuno ini menunjukkan bahwa teknologi tak selalu bergantung pada bahan modern, tapi pada kecermatan dan kebijaksanaan manusia dalam menciptakan karya yang selaras dengan zamannya.
Referensi:
"Borobudur." indonesia.travel. Diakses pada Juni 2025.
"Java Construction Technology – Borobudur Relief." borobudur.injourneydestination.id. Diakses pada Juni 2025.
"Borobudur Temple Compounds." whc.unesco.org. Diakses pada Juni 2025.
"Buddhist Temples in Nusantara." student-activity.binus.ac.id. Diakses pada Juni 2025.