Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Fakta Menarik Moa, Burung Raksasa yang Tidak Memiliki Sayap!

Burung Moa yang sedang diburu (nzgeo.com)

Moa adalah burung raksasa tanpa sayap yang pernah menghuni daratan Selandia Baru. Dengan tinggi mencapai lebih dari tiga meter dan berat hingga 250 kilogram, burung ini menjadi salah satu spesies terberat di antara burung yang pernah ada. Meskipun kini telah punah, moa tetap memikat perhatian banyak orang berkat ukurannya yang luar biasa dan perannya dalam ekosistem purba. Dalam artikel ini, kita akan membahas lima fakta menarik tentang moa yang mengungkap lebih banyak mengenai kehidupan dan penyebab kepunahannya.

1. Burung Moa punah karena diburu oleh manusia

burung moa dan elang haast (nzgeo.com)

Ahli paleontologi memperkirakan populasi moa mencapai sekitar 58.000 individu ketika orang Polinesia pertama kali tiba di Selandia Baru sekitar tahun 1280. Seluruh genus moa punah sekitar 300 tahun sebelum kedatangan orang Eropa, diperkirakan akibat perburuan intensif oleh suku Maori. Metode perburuan mereka termasuk mengumpan moa ke dalam lubang dan merampok sarang. Daging moa menjadi sumber makanan penting bagi suku Maori.

Selain perburuan, hilangnya habitat juga menjadi faktor penyebab kepunahan moa. Ketika suku Maori mulai menebang hutan untuk pertanian dan pemukiman, habitat moa semakin berkurang. Dengan pertumbuhan populasi manusia, laju deforestasi meningkat, mempercepat kepunahan spesies ini.

Pada tahun 1445, moa dinyatakan punah. Kepunahan moa juga berdampak pada elang Haast, predator utamanya. Ketergantungan elang Haast pada moa sebagai sumber makanan menyebabkan punahnya elang ini tak lama setelah moa menghilang.

2. Penemuan spesimen Moa yang membuat ilmuwan takjub

spesimen Moa (newshub.co.nz)

Sejak pertengahan tahun 1860-an hingga 1980-an, sejumlah spesimen moa yang luar biasa telah ditemukan di wilayah semi-kering Central Otago, kawasan terkering di Selandia Baru. Spesimen-spesimen ini, yang masih mempertahankan jaringan lunak seperti otot, kulit, dan bulu, terawetkan secara alami melalui proses pengeringan di lingkungan kering seperti gua dengan sirkulasi udara yang baik.

Beberapa spesimen yang ditemukan mencakup otot kering melekat pada tulang, kaki lengkap dengan sendi, fragmen tulang, tungkai bawah beserta kulit dan otot, bahkan kepala utuh. Spesimen-spesimen bersejarah ini kini disimpan di berbagai museum di Selandia Baru dan dunia, termasuk Museum Selandia Baru, Museum Otago, serta koleksi-koleksi di Universitas Cambridge, Museum Sejarah Alam London, dan Museum Yorkshire.

3. Burung Moa sangat mirip dengan Burung Unta dan Emu

Ciri fisik Moa (earth.com)

Tiga puluh enam telur moa dari berbagai spesies, kini tersimpan di museum, menunjukkan variasi ukuran yang signifikan. Panjang telur berkisar antara 120–240 mm dan lebar 91–178 mm. Meskipun panjang dan ciri-ciri lain bervariasi antar spesies, secara umum burung moa memiliki kemiripan dengan emu dan burung unta. Bulu mereka besar, mencapai panjang hingga 23 cm, dan diperkirakan memiliki beragam warna seperti putih, cokelat kemerahan, ungu, serta kekuningan. Beberapa spesies moa bahkan mungkin memiliki bulu berbintik-bintik, dengan bagian ujung bulu berwarna krem hingga putih.

4. Moa adalah burung penyendiri dan herbivora

burung Moa (nzbirdsonline.org.nz)

Moa pada dasarnya adalah burung soliter yang menghuni wilayah dengan vegetasi rapat hingga campuran. Analisis morfologi tengkorak dan paruh, isi ampela yang membatu, serta analisis isotop stabil pada tulang menunjukkan bahwa burung ini adalah herbivora, mengonsumsi beragam jenis tanaman dan bagian-bagiannya, termasuk daun dan ranting berserat yang diperoleh dari semak belukar dan pohon dataran rendah.

5. Para ilmuwan berupaya menghidupkan kembali Moa

ilustrasi rekonstruksi genom Moa (science.org)

Fosil moa semak telah ditemukan selama berabad-abad, namun penemuan terbaru ini memungkinkan analisis mendalam seluruh genom spesies tersebut. Berdasarkan rekonstruksi genom, para ilmuwan menemukan bahwa moa semak memiliki populasi yang cukup besar, indra penciuman tajam, dan kemungkinan dapat melihat spektrum ultraviolet.

Rekonstruksi genom ini membuka peluang untuk menghidupkan kembali moa semak. Meski begitu, Scott Edwards, ahli biologi evolusi dari Universitas Harvard menekankan pentingnya mempertimbangkan aspek etis dan ekologis sebelum melakukan upaya pemulihan spesies yang telah punah.

"Kelihatannya itu mungkin saja. Saya rasa para ilmuwan akan menelitinya. Yang penting adalah mereka menelitinya dengan hati-hati dan memahami konsekuensi etis dan ekologisnya." ujar Edwards

Kisah moa adalah pengingat penting tentang dampak manusia dan perubahan lingkungan terhadap keanekaragaman hayati. Dengan mempelajari masa lalu, kita dapat mengambil pelajaran untuk melindungi spesies yang ada saat ini dari ancaman kepunahan. Semoga pengetahuan ini mendorong kita semua untuk menjaga kelestarian alam demi generasi mendatang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ane Hukrisna
EditorAne Hukrisna
Follow Us