Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Menilik Sejarah Perang AS dan Iran 1979, Warga Amerika Disandera

dua sandera Amerika dalam krisis penyanderaan Iran (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Teokrasi Iran yang otoriter sangat kontroversial pada masanya. Teokrasi adalah bentuk pemerintahan yang menjunjung tinggi prinsip agama. Namun untuk memahami kejadian tersebut, dan bagaimana rezim Iran berkuasa, ada baiknya kita mengetahui apa yang terjadi antara Iran dan Amerika pada 1970-an sampai 1980-an. Hal ini berkaitan erat dengan ketergantungan Barat terhadap bahan bakar fosil Iran, hingga akhirnya Iran membentuk kebijakan baru. Ditambah lagi campur tangan CIA.

Masalah ini mencapai puncaknya pada penyanderaan yang dilakukan mahasiswa Iran pada 1979. Kemarahan warga setempat meluas karena penyedotan minyak yang dilakukan Negara Barat dengan seenaknya di bawah kepemimpinan Syah Mohammad Reza Pahlavi.

Ketegangan dimulai ketika cadangan minyak Iran digali pada 1908. Lalu perusahaan-perusahaan Inggris dan Amerika, khususnya perusahaan yang sekarang dikenal sebagai British Petroleum (BP), mengambil kendali penuh atas minyak bumi Iran selama kurang lebih 40 tahun, sebagaimana yang dilaporkan The Wall Street Journal.

Di samping itu, Perdana Menteri Iran Mohammed Mossadeq mencoba menasionalisasi bisnis perminyakan di Iran. Mohammed Mossadeq adalah seorang nasionalis sekaligus saingan politik Syah Mohammad Reza Pahlavi.

Perebutan kendali pemerintah Iran terjadi setelah Syah Mohammad Reza Pahlavi menunjuk Mohammad Mossadeq sebagai perdana menteri karena permintaan rakyat. Namun, karena Mossadeq ingin menasionalisasi Iran, CIA dan intelijen Inggris pun merekayasa kudeta dan mengangkat Syah Mohammad Reza Pahlavi. Tak lama kemudian, Syah menyerahkan 80 persen minyak negaranya ke Barat. Bagaimana sejarah lengkapnya? Mari kita simak!

1. Kepemimpinan Iran dinilai represif

Presiden Urho Kekkonen (kiri) dan Syah Mohammad Reza Pahlavi (kanan) dalam Kunjungan Kenegaraan di Finlandia pada Juni 1970 di Bandara Seutula. (commons.wikimedia.org/Markku Lepola)

Sebagai "boneka" dari negara Barat, Syah Mohammad Reza Pahlavi adalah satu-satunya sosok yang sangat diandalkan CIA. Itu mengapa polisi rahasia yang dibentuk Syah sangatlah kontroversial, lantaran sering menyiksa, menghilangkan para pembangkang, dan juga warga Iran. Akibatnya, mahasiswa Iran menyerbu kedutaan besar Amerika Serikat di Iran dan menyandera warga-warganya. Para mahasiswa ini yakin bahwa AS melatih polisi-polisi yang dibentuk Syah.

Dengan adanya penjarahan negara Barat terhadap cadangan minyak Iran juga memicu kemarahan rakyat Iran. Di sisi lain, westernisasi (peniruan budaya Barat) yang dilakukan pemerintah Syah memicu reaksi kontroversial di kalangan masyarakat.

Hubungan pemerintahan Syah Mohammad Reza Pahlavi dengan AS juga tidak main-main. Pasalnya, Iran menghabiskan miliaran dolar untuk membeli persenjataan dari AS alih-alih mendukung perekonomian negaranya sendiri.

Pemerintahan Syah Reza Pahlavi juga mengekspor minyak di awal 1970-an, sampai-sampai menguntungkan dirinya dan pejabat-pejabat lain yang saat itu berkuasa. Warga Iran dengan pemerintahnya pun semakin memburuk. Kasus ini masuk dalam daftar “kutukan minyak”, di mana pergolakan politik sering kali terjadi setelah ditemukannya minyak, khususnya di negara-negara miskin, karena ekonomi rakyatnya masih saja terpuruk meskipun negara mereka kaya.

Seperti yang ditunjukkan oleh Carnegie Endowment, cadangan minyak bumi yang melimpah sering kali menimbulkan ketegangan di masyarakat. Hal ini berkorelasi dengan korupsi yang dilakukan pemerintah. Perselisihan pun terjadi. Masalah ini tentunya dapat mengganggu perekonomian suatu negara secara keseluruhan, serta menyebabkan perang saudara.

2. Bangkitnya seorang pejuang Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini

Ayatollah Ruhollah Khomeini dan seorang anak kecil (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Ulama Syiah garis keras di Iran adalah Ayatollah Ruhollah Khomeini. Ia sempat diusir dari Iran dan tinggal di Paris selama terjadinya kudeta yang disponsori CIA. Khomeini kembali ke negara asalnya pada Februari 1979 di tengah-tengah kerusuhan yang terjadi di kota-kota besar di Iran akibat pengasingan dirinya. Pasalnya, warga kelas pekerja dan cendekiawan agama menjadikan Ayatollah Ruhollah Khomeini sebagai panutan mereka.

Syah Mohammad Reza Pahlavi tidak pernah secara resmi menyerahkan kekuasaannya. Namun pada bulan Januari 1979, Syah pergi ke Mesir. Pada Februarinya, Ayatollah Ruhollah Khomeini dan para pengikutnya mulai menjalankan berbagai visi dan misi mereka. Pada bulan April, Khomeini mendapat mandat untuk membentuk negara Islam berdasarkan musyawarah tersebut.

Syah Mohammad Reza Pahlavi, berniat kembali ke Iran, tetapi ia terjebak di Meksiko. Pahlavi meminta pemerintah AS agar mengizinkannya masuk ke Amerika untuk menjalani pengobatan kanker yang dideritanya. Pada 21 Oktober 1979, Presiden AS Jimmy Carter mengizinkannya berlindung di Amerika sekaligus mengobati kanker Syah yang semakin parah.

Tindakan ini membuat marah warga AS di Iran pada saat itu, seperti yang ditulis oleh William J. Daugherty—mantan warga AS yang disandera—yang kemudian menjadi spesialis di Timur Tengah, dalam American Diplomacy. Namun, mantan Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger, Penasihat Keamanan Nasional Zbigniew Brzezinski, dan taipan perbankan David Rockefeller dilaporkan melobi sekaligus memaksa Jimmy Carter untuk menerima Syah Mohammad Reza Pahlavi. Carter pun tidak bisa berbuat banyak selain menurut.

3. Para mahasiswa Iran menyerang kedutaan AS di Tehran

Krisis penyanderaan Iran—para mahasiswa Iran terlihat memanjat gerbang kedutaan AS di Teheran. (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Tak lama kemudian, diketahui bahwa Syah Mohammad Reza Pahlavi menderita limfoma, yaitu kanker kelenjar getah bening yang ganas. Namun, para pengikut Ayatollah Ruhollah Khomeini tidak peduli dengan penyakit yang diderita Syah. Benar saja, 2 minggu setelah Jimmy Carter mengizinkan Pahlavi masuk ke Amerika, terjadi kekacauan di kedutaan besar AS di Tehran, ibu kota Iran. Pada 4 November 1979, para mahasiswa, yang kebanyakan pengikut Ayatollah Ruhollah Khomeini, menerobos gerbang kedutaan tersebut.

Para mahasiswa kemudian menangkap 66 orang AS, sebagian besar merupakan staf kedutaan dan penjaga militer. Para mahasiswa ini mengancam akan membunuh mereka jika pasukan Amerika mencoba menyelamatkan mereka. Saat itu, Presiden Jimmy Carter berjanji dengan mengatakan, "Amerika Serikat tidak akan menyerah pada pemerasan," sebagaimana yang dilaporkan Politico.

Masih menjadi misteri mengapa kedutaan AS di Iran tidak dikosongkan sebelumnya, mengingat hubungan Amerika yang sedang memanas dengan pemerintahan baru negara tersebut. Hal ini pun sempat disampaikan oleh staf kedutaan AS di Iran terkait adanya reaksi keras di Tehran terhadap kedatangan Syah Mohammad Reza Pahlavi di AS. Menurut beberapa pejabat AS, kasus ini seharusnya dapat dihindari.

4. Para mahasiswa membebaskan 14 sandera atas perintah Ayatollah Ruhollah Khomeini

Sandera AS saat tiba di pangkalan Angkatan Udara AS Rhein-Main di Frankfurt, Jerman, setelah dibebaskan dari Iran, pada 21 Januari 1981. Mereka di antara 52 orang Amerika yang disandera di Iran selama 444 hari setelah penangkapan mereka di Kedutaan Besar AS di Teheran. (commons.wikimedia.org/US Department of Defense)

Menurut buku harian Robert C Ode, salah satu korban penyanderaan, yang diterbitakan dalam Jimmy Carter Library, para mahasiswa mengikat tangan para sandera. Mereka mengaku marah pada Presiden Jimmy Carter dan pemerintahannya, bukan warga AS. Para mahasiswa pun melarang para sandera untuk berbicara satu sama lain.

Para mahasiswa mengikat sanderanya selama 24 jam, kecuali saat mereka sedang makan atau ingin ke toilet. Beberapa hari kemudian, sekelompok mahasiswa ini mengambil aksesori dan harta benda milik para sandera, seperti cincin kawin dan jam tangan. Lalu mereka memindahkan sandera ke tempat lain, seperti gudang yang sangat sumpek.

Tak lama kemudian, 13 sandera dilepaskan, terutama para perempuan. Ayatollah Ruhollah Khomeini membuat pernyataan kepada pers tepat setelahnya. Lalu sandera lain yang mengalami masalah kesehatan juga dibebaskan tak lama kemudian. 

Sebanyak 52 orang sandera yang masih ditahan diminta untuk menandatangani petisi. Petisi itu menuntut pemerintah AS untuk mengembalikan Syah Mohammad Reza Pahlavi ke Iran. Setelahnya, para mahasiswa tersebut akan melepaskan tawanan mereka.

Perwakilan dari Paus dan dari misi diplomatik Belgia dan Suriah akhirnya datang ke Iran, tapi tidak memberikan solusi apa pun. "Mereka hanya lewat saja, tidak bercakap-cakap dengan kami, dan hanya memandang kami seolah-olah kami adalah hewan di kebun binatang!" tulis Robert C Ode dalam buku hariannya.

5. Operasi Cakar Elang yang gagal total

Helikopter AS yang meledak dan hancur dalam Operasi Cakar Elang. (commons.wikimedia.org/Bahram Mohammadifard)

Antara akhir 1979 sampai 1980, pemerintahan Jimmy Carter melakukan negosiasi dengan para pejabat Iran. Ia berusaha untuk menjamin pembebasan para sandera. Setelah berbulan-bulan negosiasi yang berjalan dengan alot ini, serta adanya sanksi ekonomi kepada Iran, Presiden Jimmy Carter memutuskan untuk mencoba membebaskan para sandera dengan menurunkan angkatan bersenjata. Beberapa pejabat Gedung Putih sempat memperingatkan Jimmy Carter akan bahayanya misi ini.

Tujuan Operasi Cakar Elang adalah untuk menerjunkan pasukan tentara Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Marinir ke lokasi penahanan sandera untuk membebaskan mereka. Namun sejak awal, misi tersebut dilanda masalah. Badai pasir membuat penglihatan pilot kabur dan pilot pun mengalami kesulitan. Dua helikopter terpaksa balik arah karena mengalami gangguan teknis.

Saat helikopter lainnya mencapai zona pendaratan, mereka terlambat 90 menit dari jadwal yang ditentukan. Jadi dengan jumlah helikopter yang terlalu sedikit, komandan militer menganggap bahwa misi ini sangat mustahil untuk dilakukan. 

Ketika misi ini dibatalkan, salah satu helikopter menabrak sebuah pesawat. Ledakan yang diakibatkannya menyebabkan tiga anggota Marinir dan lima anggota Angkatan Udara tewas. Misi tersebut berakhir gagal total. Kendati demikian, militer mengambil beberapa pelajaran dari pengalaman tersebut. Operasi Cakar Elang pun tidak menyelesaikan masalah, tapi malah menambah masalah baru.

6. Nasib para sandera

dua sandera Amerika dalam krisis penyanderaan Iran (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Pada 25 April 1980, hari di mana upaya penyelamatan gagal, para mahasiswa Iran malah membagi para sandera ke dalam kamp. Ada yang ditempatkan di area berbahaya dan tidak terlalu berbahaya. Apa maksudnya?

Beberapa sandera ada yang disiksa dan menjalani "eksekusi pura-pura". Mereka yang diperlakukan sedikit lebih baik, seperti Robert C Ode, justru mengalami ketidaknyamanan dan tekanan psikologis. Para sandera yang dipindahkan ke "ruangan yang jauh lebih baik", malah ditempatkan di ruangan kotor selama berbulan-bulan. Ini yang juga dialami Robert C Ode.

Pada hari itu, Ode mendengar keributan di dekat kompleks kedutaan besar AS. Keputusan para mahasiswa untuk memindahkan sandera kemungkinan besar merupakan respons terhadap Operasi Cakar Elang. Para mahasiswa memutuskan untuk tidak membunuh para sandera sebagai pembalasan atas langkah penyelamatan tersebut.

7. Misi penyelamatan sandera yang gagal berkontribusi dengan kekalahan Jimmy Carter di pemilu berikutnya

potret Jimmy Carter (commons.wikimedia.org/White House Staff Photographers)

Menjelang pemilihan presiden tahun 1980, Jimmy Carter kembali melakukan negosiasi dengan rezim Ayatollah Ruhollah Khomeini. Pada saat itu, media nasional AS sangat fokus pada isu Iran. Sutradara Robert Stone bahkan membuat film dokumenter tentang krisis penyanderaan ini pada tahun 2022.

Di samping itu, Ted Turner memulai CNN pada Juni 1980, tepat di tengah-tengah demo Iran tahun 1980. Itulah sebabnya, krisis penyanderaan ini terjadi bersamaan dengan munculnya berita di televisi. Hal ini dengan cepat mendorong munculnya pakar dan berita ke liputan yang lebih substantif.

Jimmy Carter yang gagal membebaskan para sandera pun terkena imbasnya. Pasalnya, namanya tidak lagi terpilih dalam pemilihan umum. Seperti yang diamati oleh pakar politik Elaine Kamarck dari Brookings Institution, nasib para sandera ada di pundak Jimmy Carter. Itu sebabnya, para pemilih menganggap Jimmy Carter sebagai orang yang "lemah dan tidak berdaya", karena ketidakmampuan Jimmy Carter untuk menjamin pembebasan para sandera.

Elaine Kamarck yang saat itu bekerja untuk Komite Nasional Demokrat di Washington DC, mengenang bahwa pemerintahan Jimmy Carter menyadari bahwa Operasi Cakar Elang menguras banyak biaya. Ditambah lagi, perekonomian dalam negeri (AS) sedang merosot pada saat itu. Itulah mengapa, saat pemilu tiba, Jimmy Carter hanya menang di enam negara bagian dan Washington DC.

8. Irak menginvasi Iran, memulai Perang Iran-Irak pada 1980

ilustrasi potret Perang Iran-Irak (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Walaupun Presiden AS Jimmy Carter kalah dalam pemilihannya kembali, pertempuran lain justru terjadi di Timur Tengah. Pada 22 September 1980, Irak menginvasi Iran lewat jalur udara dan darat. Alasannya karena Irak ingin merebut perbatasan di dua negara tersebut, mengingat perubahan yang terjadi dengan rezim Iran. Pemimpin Irak, Saddam Hussein, mengira bahwa Revolusi Iran akan merubah sudut pandang pengikut Syiah. Perang ini yang nantinya sangat menentukan pemerintahan Presiden AS Ronald Reagan.

Tentara Irak menginvasi Iran di Provinsi Khuzestan. Pasukan Iran, terutama penegak hukum Iran yang dibentuk Ayatollah Ruhollah Khomeini, The Islamic Revolutionary Guard Corps (IRGC)/Korps Garda Revolusi Islam, melakukan serangan balik. Tak lama kemudian, pemerintahan Khomeini mempercayakan IRGC untuk menjaga Iran dari invasi Irak. Pasukan Iran memukul mundur tentara Irak, yang akhirnya mundur kembali ke Irak.

Setelah itu, Ayatollah Ruhollah Khomeini ingin melancarkan invasi balasan untuk mengubah rezim di Irak. Dia yakin meski Saddam Hussein sangat menentang agendanya, tapi Hussein mungkin punya alasan lain juga. Pertempuran pun terjadi di wilayah kedua negara yang memiliki cadangan minyak.

9. Terisolasi, pemerintah Iran akhirnya bernegosiasi secara damai

potret Mohammad Ali Rajaʾi (commons.wikimedia.org/Unknown author)

Akibat penyanderaan yang dilakukan para mahasiswa, pemerintah Iran akhirnya dikucilkan secara internasional. Iran pun mempunyai keinginan yang tulus untuk mengakhiri krisis ini. Sayangnya, pada 27 Juli 1980, Syah Mohammad Reza Pahlavi meninggal karena kanker yang dideritanya.

Embargo AS terhadap barang-barang Iran berdampak buruk pada perekonomian Iran. Pada bulan Oktober 1980, perdana menteri Iran saat itu, Mohammad Ali Rajaʾi, datang ke markas besar PBB di New York untuk mencari dukungan internasional dalam Perang Iran-Irak yang sedang terjadi. Namun, perdana menteri Iran diancam bahwa Iran tidak akan mendapatkan dukungan dari negara mana pun.

Saat itu, prioritas utama para pejabat Iran adalah mencairkan aset-aset Iran dan mencabut embargo. Ketika pemilu AS berlalu, negosiasi terus berlanjut. Pada tahun 1981, Jimmy Carter sedang dalam proses keluar dari kursi kepresidenan AS.

10. Setelah Ronald Reagan dilantik sebagai presiden AS, Amerika dan Iran membuat kesepakatan

Presiden AS Ronald Reagan saat dilantik pada Hari Pelantikan di Gedung Kongres Amerika Serikat, 20/01/1981. (commons.wikimedia.org/Reagan White House Photographs)

Pada awal 1981, kesepakatan dicapai. AS mencairkan 8 miliar dolar AS atau setara Rp129 triliun dana untuk Iran, papar laporan History. Para sandera pun akhirnya dibebaskan pada 20 Januari 1981. 444 hari setelah para mahasiswa menerobos pintu kedutaan besar AS di Teheran, dan kurang dari satu jam setelah Ronald Reagan menjabat sebagai presiden AS.

Pejabat era Jimmy Carter menuduh tim sukses Ronald Reagan merundingkan kesepakatan tertutup dengan pejabat tinggi rezim Iran, Ayatollah Ruhollah Khomeini, untuk menahan pembebasan para sandera sebelum Ronald Reagan mulai menjabat. Sick memaparkan tuduhan itu di Times Op-Ed. Sick mengetahui hal ini dari informannya yang merupakan seorang pedagang senjata Iran.

Namun para pejabat era Ronald Reagan, termasuk presiden AS saat itu George HW Bush, dengan keras menentang tuduhan yang dilontarkan Gary Sick. Meskipun klaim Sick ditolak, beberapa pihak masih mempertanyakan waktu pembebasan para sandera. Bisa jadi Ayatollah Ruhollah Khomeini dan rakyatnya tidak menyukai Jimmy Carter dan ingin menjatuhkan presiden Amerika tersebut karena alasan mereka sendiri.

11. Para sandera kembali dengan kondisi menderita PTSD

Mantan diplomat AS Robert Anders (tengah), dan mantan diplomat Kanada, Michael Shenstone (kiri), saat diwawancarai Pejabat Hubungan Masyarakat Konsulat Jenderal AS di Toronto, Scott Walker terkait pengalaman mereka sebagai korban penyanderaan di Iran. (commons.wikimedia.org/US Embassy Canada)

Sekembalinya para sandera, mereka menderita gangguan stres pascatrauma atau PTSD. Beberapa di antaranya menderita kelaparan saat ditahan Iran. Sebagian besar percaya bahwa mereka akan mati. Sementara itu, mahasiswa AS yang kuliah di Iran dan disandera menunjukkan gejala paranoia akibat gangguan psikotik seiring berjalannya waktu.

“Kami diperlakukan dengan buruk,” kenang mantan sandera bernama Barry Rosen kepada The New York Post. Ia melanjutkan, "Mereka mengira kami merencanakan pelarian. Mereka memeriksa radio di sepatu kami, seolah-olah kami adalah Dick Tracy." Pemerintah AS kemudian memberikan kompensasi pada 2019 kepada para sandera atas penderitaan yang mereka alami.

12. Krisis Penyanderaan Iran di kemudian hari

warga Iran saat menirukan penyanderaan yang dilakukan mahasiswa Iran (commons.wikimedia.org/Nima Najafzadeh)

Ayatollah Ruhollah Khomeini terus menyebut AS sebagai setan selama sisa hidupnya. Setelah Khomeini meninggal pada bulan Juni 1989, Ali Khamenei menggantikan posisinya. Namun di antara banyak masyarakat Iran, Revolusi Iran masih menjadi momen yang mengecewakan.

Saat berbicara kepada reporter Associated Press pada peringatan 40 tahun krisis penyanderaan, warga Iran yang mengenang peristiwa itu berbagi kenangan pahit terkait peristiwa penting dalam sejarah Iran. “Saya mempunyai firasat yang baik saat itu, namun kami mengalami nasib buruk,” kata Hossein Kouhi, yang mengaku merupakan salah satu demonstran anti Amerika yang turun ke jalan selama krisis penyanderaan.

Meski begitu, masyarakat Iran menyebut intervensi AS di negara-negara Timur Tengah lainnya, film-film Amerika yang menggambarkan Timur Tengah sebagai negara yang penuh kekerasan, dan sanksi AS yang melemahkan perekonomian Iran, menjadi alasan utama mengapa warga Iran marah. Pada peringatan tersebut, para pejabat Iran mengganti nama bekas situs kedutaan AS menjadi "Sarang Spionase" dan dindingnya ditempeli slogan-slogan anti Amerika.

Dalam lingkup yang lebih luas, krisis penyanderaan Iran ini merupakan momen yang menyedihkan bagi Amerika, yang terjadi tidak lama setelah penarikan tentara AS dari Vietnam (Perang Vietnam). Dan hal ini seharusnya meredam ambisi para pejabat Amerika mengenai intervensi mereka di Timur Tengah. Namun, sejarah menunjukkan bahwa Amerika tidak pernah mencoba untuk meredam dirinya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us