Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Misteri Kematian Alexander Agung, Diracuni Musuh?

Dying, Alexander the Great bids farewell to his army, via Wikimedia Commons
Intinya sih...
  • Kondisi kesehatan menurun usai pesta minum, menyebabkan demam yang memburuk dan tidak menunjukkan tanda-tanda pembusukan setelah meninggal.
  • Penyakit tifus atau malaria menjadi dugaan penyebab kematian Alexander Agung berdasarkan gejala yang dialami.
  • Dugaan diracuni saat pesta minum anggur dengan Striknin atau hellebore juga menjadi teori penyebab kematian. Ahli modern juga menduga GBS sebagai penyebabnya.

Di usia yang masih tergolong muda, Aleksander Agung telah menjadi penakluk ulung dan ahli militer yang berhasil menguasai daerah sangat luas, membentang dari Balkan di Eropa hingga India. Sayangnya, saat 32 tahun ia meninggal dunia, tepatnya pada Juni 323 Sebelum Masehi (SM) di Babilonia, yang sekarang dikenal sebagai Irak. 

Kematian Aleksander Agung menandai akhir dari kekaisarannya yang besar. Wilayah kekuasaannya kemudian dibagi-bagi oleh para pengikutnya, membentuk kerajaan-kerajaan yang lebih kecil. Namun, kematiannya masih menjadi misteri, sehingga memunculkan beragam teori. Misteri kematian Aleksander Agung masih sering dibicarakan hingga kini.

1. Kondisi kesehatan menurun usai pesta minum

Alexander the Great Attacking the Oxydrakai, via Wikimedia Commons

Ada beberapa catatan kuno tentang kematian Alexander beberapa abad setelah kematiannya, seperti Plutarch (yang hidup sekitar tahun 46—120 Masehi) dan Arrian (yang hidup sekitar tahun 88—160 Masehi). Keduanya mengatakan bahwa setelah pesta minum semalaman, Alexander mengalami demam yang secara bertahap memburuk dari hari ke hari menjelang kematiannya.

Sebuah catatan lain yang ditulis oleh Diodorus Siculus (hidup pada abad pertama SM) juga membenarkan bahwa Alexander jatuh sakit amat parah setelah minum dan meninggal tak lama kemudian. Quintus Curtius Rufus, seorang penulis yang hidup di abad pertama Masehi, pun menegaskan demikian. Anehnya, dia menyatakan bahwa 7 hari setelah kematian Alexander, jenazahnya tidak menunjukkan tanda-tanda pembusukan.


2. Penyakit tifus

The Entry of Alexander into Babylon, via Wikimedia Commons

Menurut teori lain, demam yang menyebabkan Alexander meninggal ialah demam tifoid yang disebabkan bakteri Salmonella Enterica Typhi atau lebih populer disebut dengan penyakit tipes/tifus. Penyakit yang dijelaskan oleh Plutarch dan Arrian mirip dengan demam tifoid. 

Beberapa catatan sejarah juga menunjukkan Alexander dalam keadaan stupor, yaitu kondisi penurunan kesadaran hingga tidak mampu merespons percakapan yang dapatkan dibangunkan oleh rangsangan yang kuat. Bahkan, suara keras atau rasa sakit, seperti mencubit, akan langsung hilang kesadaran kembali.


3. Malaria

Alexander the Great and Thalestris, via Wikimedia Commons

Selain dugaan penyakit tifus, gejala yang dialami Alexander juga besar kemungkinan disebabkan oleh malaria. Di wilayah Babilonia, malaria menjadi penyakit yang sudah umum dikenal di masyarakat. Demam yang dialami Alexander kian memburuk, termasuk dalam diagnosis malaria. 

Kasus malaria yang parah dapat menyebabkan kondisi neurologis yang sesuai dengan hilangnya fungsi tubuh Alexander dan dapat membuatnya koma sebelum meninggal. Mengingat riwayat perjalanan yang dilakukan Alexander sebelumnya, terdapat kemungkinan besar ia terkena malaria sebelum meninggal.


4. Diracun saat pesta minum anggur

Hellebore, via Wikimedia Commons

Pada awal kematian Alexander tidak ada yang menduga ia mati diracun. Namun, beberapa tahun setelah kematian Alexander, dugaan tersebut menguat dalam catatan Plutarch. Seorang pemimpin seperti Alexander menjadi target yang tidak terhindari dari perebutan kekuasaan. Apabila disebabkan oleh penyakit menular, pada kurun waktu tersebut di Babilonia tidak terjadi peristiwa pandemik. 

Adrienne Mayor, peneliti dari Stanford University, menyebutkan bahwa gejala yang dialami Alexander kemungkinan dari reaksi keracunan Striknin. Seperti demam tinggi, ketidakmampuan berbicara yang disebabkan oleh otot rahang yang sangat kaku, dankehilangan kesadaran yang disebutkan oleh Plutarch dan Arrian.

Striknin adalah tanaman yang tumbuh di dataran tinggi India dan Pakistan, ini bisa sampai di Babilonia melalui jalur perdagangan. Racun ini dengan mudah larut ketika dicampur dengan anggur. Namun, di beberapa kasus Striknin malah menimbulkan kejang-kejang yang sama sekali tidak ada dalam catatan kematian Alexander.

Selain itu, tumbuhan hellebore menjadi dugaan sebagai penyebab kematian. Tumbuhan beracun ini dikenal baik oleh orang Yunani yang dapat dicampur dengan anggur. Sesuai dengan catatan yang menyebutkan bahwa penyakitnya tiba-tiba muncul setelah semalaman berpesta mabuk-mabukan.

Hellebore juga menyebabkan keracunan yang lebih lama daripada zat-zat lainnya, ditandai dengan demam tinggi dan sakit perut. Namun, hilangnya kemampuan bicara dan fungsi motorik secara bertahap yang dijelaskan dalam kematian Alexander bukanlah ciri khas racun ini.

5. GBS (Guillain-Barré Syndrom)

Alexander at the Sack of Thebes in 335 BC, via Wikimedia Commons

Meskipun begitu, para ahli modern telah memberikan beragam teori untuk menjelaskan apa yang membunuh Alexander. Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan 2019 di jurnal Ancient History Bulletin, Katherine Hall, seorang dosen senior di Dunedin School of Medicine di University of Otago di Selandia Baru, berpendapat bahwa Alexander Agung meninggal karena sindrom Guillain-Barré, sebuah gangguan neurologis di mana sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang sistem saraf tepi mereka.

Kondisi ini sangat mungkin menyebabkan Alexander dalam keadaan koma yang disalahartikan sebagai kematian oleh para dokter kuno. Hall juga menambahkan bahwa ini mungkin menjadi alasan jenazah Alexander tidak membusuk begitu lama. Dia juga mencatat bahwa catatan yang ditulis oleh Plutarch dan Arrian mengklaim bahwa Alexander cukup sadar untuk mengeluarkan perintah hingga sesaat sebelum dia tidak sadarkan diri. Ini juga umum terjadi pada orang yang menderita penyakit ini.


6. Kuburan yang belum ditemukan

Alexander The Great before the tomb of Achilles, via Wikimedia Commons

Dalam buku Searching for The Lost Tombs of Egypt yang ditulis Chris Naunton menyebutkan, setelah kematian Alexander, Ptolemeus, salah satu jenderal yang ikut berperang dengannya, membawa jasadnya ke Memphis, Mesir, pada 321 SM. Setelah beberapa dekade, dibangun sebuah makam di Alexandria dan segera dipindah ke lokasi tersebut, Namun, tidak cukup jelas dimana tepatnya makam terakhir ini berada.

Misteri kematian Alexander Agung semakin rumit karena jasadnya belum pernah ditemukan. Artinya, hanya sedikit bukti fisik yang bisa diteliti para ilmuwan untuk mencari tahu bagaimana dia meninggal.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Naufal Al Rahman
EditorNaufal Al Rahman
Follow Us