Apa yang Terjadi jika Banyak Hutan Dibuka untuk Kelapa Sawit?

Aktivis lingkungan dibuat geram dengan pernyataan Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto dalam pidatonya di Musrenbangnas RPJMN 2025—2029 di Bappenas RI, Senin (30/12/2024). Di momen tersebut, Prabowo dengan percaya diri ingin melakukan ekspansi perkebunan kelapa sawit. Ia bahkan menyangkal deforestasi dan menyamakan kelapa sawit seperti pohon di hutan pada umumnya. Pertanyaannya, apakah hutan dan perkebunan kelapa sawit itu sama?
Kelapa sawit memang menyerap karbon dioksida, tapi tidak seefektif hutan. Pasalnya, perkebunan kelapa sawit dibudidayakan di lahan gambut, karena sebagian besar hutan Indonesia tumbuh di lahan gambut. Nah, praktik pembukaan lahan ini sering kali dilakukan dengan cara membakar hutan. Di samping itu, lahan gambut mengandung 10 kali lebih banyak karbon dioksida dibandingkan tanah biasa. Dikutip Greenpeace, Indonesia menjadi penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia gara-gara deforestasi hutan ini.
Jadi apa, sih, yang terjadi jika semakin banyak lahan yang dibuka untuk perkebunan kelapa sawit? Apakah ini berdampak pada lingkungan? Atau bahkan berdampak pada Bumi tempat kita tinggal? Nah, untuk menghindari disinformasi, mari kita bahas melalui fakta ilmiah.
1. Perkebunan kelapa sawit berdampak pada aktivis dan masyarakat adat

Industri minyak kelapa sawit sering kali terjebak dalam kasus korupsi, penggusuran paksa dan perampasan tanah. Hal ini tentunya memicu konflik dengan warga sekitar, termasuk masyarakat adat. Tak hanya itu, adanya kerja paksa, pekerja anak, dan pelanggaran hak-hak pekerja di beberapa perkebunan kelapa sawit, menjadi momok yang meresahkan. Upah yang rendah, intimidasi dan pelecehan seksual, kerap terjadi.
Pada 2016, Amnesty International menemukan bahwa anak perusahaan dan produsen Wilmar International, perusahaan minyak sawit terbesar di dunia, menggunakan tenaga kerja paksa dan anak-anak di bawah umur untuk bekerja di perkebunan sawit. Mereka sering terpapar bahan kimia beracun. Bahkan yang lebih meresahkannya lagi, masyarakat adat, petani, dan aktivis juga menjadi korban kriminalisasi dan bahkan dibunuh, hanya karena ingin mempertahankan tanah adat mereka.
Pada 2016, aktivis lingkungan sekaligus suku Dayak, Bill Kayong, ditembak hingga tewas di Sarawak, Malaysia. Kayong dianggap meresahkan karena mengorganisir penduduk desa untuk merebut kembali tanah yang telah dialihkan pemerintah daerah ke perusahaan kelapa sawit, yakni Perkebunan Tung Huat Niah. Seorang direktur dan pemegang saham utama perusahaan tersebut terlibat dalam pembunuhan itu, tetapi ia lolos dari tuntutan.
2. Deforestasi pembukaan lahan kelapa sawit menjadi salah satu faktor perubahan iklim

Malaysia dan Indonesia menjadi negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia, angkanya mencapai 85 persen. Ditambah lagi, kelapa sawit ditanam dengan jarak lebih dari 3 meter dari pohon kelapa sawit yang lain. Tentunya sangat boros lahan. Nah, diperkirakan bahwa di seluruh dunia, area hutan hujan seluas sekitar 300 lapangan sepak bola ditebang setiap jamnya, lho. Indonesia dan Malaysia sendiri secara masif melakukan deforestasi hutan hujan.
Menurut sebuah studi yang diterbitkan dalam Nature Communications, berjudul "Carbon Costs and Benefits of Indonesian Rainforest Conversion to Plantations" (2018), yang ditulis Thomas Guillaume, dkk, mengganti hutan hujan dengan perkebunan kelapa sawit bisa melepaskan 61 persen karbon dioksida ke atmosfer. Itu berarti, setiap 1 hektar hutan hujan yang dibabat habis, melepaskan 174 ton karbon dioksida. Jadi, dampaknya tidak hanya dirasakan bagi hewan yang tinggal di kawasan hutan saja, tapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia.
Pasalnya, hutan hujan menyediakan sekitar 28 persen oksigen dunia. Bukti ilmiah menunjukkan bahwa lapisan es di kutub mencair akibat perubahan iklim ini dan populasi orangutan menurun dengan cepat. Hal ini secara langsung memengaruhi kehidupan manusia saat ini.
3. Orangutan terancam punah

Penggundulan hutan secara besar-besaran yang dilakukan untuk memenuhi permintaan minyak kelapa sawit membuat populasi orangutan menurun hanya dalam waktu 10 tahun. Orangutan sendiri diklasifikasikan sebagai hewan yang sangat terancam punah oleh WWF. Kita yang tidak turun langsung ke perkebunan kelapa sawit tentunya tidak bisa menyaksikan dampak industri kelapa sawit terhadap orangutan di alam liar.
Penggundulan hutan merusak habitat dan kelangsungan hidup orangutan yang bergantung pada hutan hujan. Tanpa hutan hujan, orangutan akan kesulitan mendapatkan makanan dan tidak punya tempat tinggal. Apalagi, jika masuk ke wilayah penduduk, orangutan sering kali dibunuh.
Menurut laporan The Orangutan Project, selama 1 dekade terakhir, populasi orangutan mengalami penurunan hingga sekitar 50 persen di alam liar. Apalagi, saat ini, 80 persen habitatnya sudah hilang. Jadi, para ahli memperkirakan bahwa orangutan bisa punah di alam liar dalam 25 tahun atau lebih cepat dari itu jika deforestasi hutan demi pembukaan lahan kelapa sawit ini terus berlanjut.
4. Warga sekitar kehilangan hutan yang menjadi sumber mereka bertahan hidup

Human Rights Watch meliput langsung masyarakat yang wilayahnya terdampak pembukaan lahan kelapa sawit di sejumlah wilayah di Indonesia. Salah satunya Ibu Leni, perempuan Iban dari Desa Semunying Bongkang, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat ini, mengaku tidak bisa membuat dapurnya tetap ngebul karena adanya pembukaan lahan kelapa sawit di desanya. Dulu, Ibu Leni dan suaminya mengandalkan hutan untuk mencari makan. Masyarakat sekitar kesulitan mencari bahan makanan atau bahan untuk menenun.
Kasus ini menyadarkan kita bahwa masyarakat yang tadinya mandiri dan sangat bergantung pada hutan, kini terpaksa menjadi pekerja di tanah mereka sendiri, atau bahkan pengangguran. Penduduk setempat akhirnya tidak punya pilihan selain menjadi pekerja di perkebunan minyak kelapa sawit dengan upah yang rendah. Hal ini pun merusak kemampuan mereka bertahan hidup dengan mengandalkan alam sekitar.
5. Rusaknya keanekaragaman hayati

Seiring dengan melonjaknya permintaan minyak kelapa sawit, pengolahan lahan untuk memproduksinya pun meningkat secara global. Di negara-negara pengekspor utama minyak kelapa sawit, lebih dari 270.000 hektar hutan tropis yang kaya spesies dan karbon dikonversi setiap tahunnya. Parahnya lagi, laju deforestasi terus meningkat. Saat ini, kelapa sawit mewakili 5,5 persen dari penggunaan lahan pertanian global.
Para ahli biologi konservasi sangat prihatin dengan hal ini. Adapun, hutan hujan Malaysia dan Indonesia memiliki tempat-tempat dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, dan menjadi rumah bagi ratusan spesies mamalia dan burung yang terancam punah, termasuk harimau sumatra, orangutan, dan burung rangkong gading.
Di Pulau Sumatra yang paling banyak kehilangan hutannya, lebih dari 75 persen burung hutan dataran rendah kini terancam punah. Banyak spesies gajah yang juga terancam punah karena produksi kelapa sawit, begitu laporan World Wildlife Fund. Gajah sumatra dan kalimantan kehilangan habitatnya karena produksi kelapa sawit.
Dalam sebuah studi tahun 2008 yang diterbitkan di Nature, ahli biologi Princeton David Wilcove menemukan bahwa hutan primer dan hutan sekunder di Malaysia dialihkan menjadi kelapa sawit mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati yang signifikan di hutan sekunder. Hampir tiga perempat spesies burung dan kupu-kupu punah. Tak sekadar itu, habitat spesies langka seperti orangutan, harimau, badak, dan gajah di Malaysia juga di ambang kepunahan.
6. Pencemaran air dan tanah akibat zat kimia

Masalah lain akibat industri kelapa sawit adalah pencemaran tanah dan air. Pasalnya, pabrik minyak kelapa sawit menghasilkan 2,5 metrik ton limbah dalam setiap metrik ton minyak sawit yang dihasilkannya, seperti yang ditulis World Wildlife Fund. Limbah yang dibuang sembarangan ini tentunya mencemari sumber air, yang berdampak pada keanekaragaman hayati dan manusia di hilir sungai.
Nah, berbeda dengan hutan yang tumbuh secara alami, perkebunan kelapa sawit menggunakan pestisida dan pupuk kimia secara masif. Pupuk kimia ini bahkan diaplikasikan secara berlebihan dan sembrono. Tentu saja, zat kimia ini dapat mencemari sumber air permukaan dan air tanah. Apalagi, beberapa produsen kelapa sawit yang nakal, membuang residu minyak sawit, yang terdiri dari herbisida, insektisida dan zat kimia lainnya ke saluran air, yang mencemari sungai dan tanah.
Belum lama ini, perdebatan sengit terjadi di media sosial, ketika netizen terbagi dalam dua kubu. Pertama kubu yang pro terhadap industri kelapa sawit, dan kedua, kubu yang kontra terhadap ekspansi perkebunan kelapa sawit oleh pemerintah.
Mereka yang mendukung industri ini menganggap bahwa industri kelapa sawit dilakukan demi pembangunan ekonomi, karena dianggap menguntungkan dan membuka lapangan kerja bagi warga sekitar. Di sisi lain, sejumlah aktivis lingkungan sangat menentang hal ini karena menjadi penyebab utama deforestasi dan konflik sosial. Tak hanya itu, banyak spesies yang terancam punah dan menjadi salah satu penyebab perubahan iklim. Jadi, sekarang kamu lebih mengerti, kan, tentang dampak perkebunan kelapa sawit?