Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sisi Gelap Industri Kelapa Sawit, Merusak Keanekaragaman Hayati

ilustrasi perkebunan kelapa sawit (unsplash.com/Nazarizal Mohammad)

Lahan perkebunan kelapa sawit masih menjadi masalah besar di Indonesia. Perluasan perkebunan kelapa sawit kembali menjadi sorotan ketika Presiden RI, Prabowo Subianto menyangkal tentang bahaya deforestasi karena pembukaan lahan sawit. Ia berencana semakin menggalakkan pembukaan lahan tersebut pada masa pemerintahannya, dalam pidatonya di Musrenbangnas RPJMN 2025—2029 di Bappenas RI, Senin (30/12/2024).

Di sisi lain, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), mengecam pernyataan Prabowo yang dianggap tidak berdasarkan sains, riset, maupun fakta-fakta yang ada. Pasalnya, pembukaan lahan, terutama hutan, untuk perkebunan kelapa sawit punya potensi yang merugikan, baik bagi ekosistem maupun keanekaragaman hayati. Walaupun banyak ekonomi negara dunia, terutama Malaysia dan Indonesia bergantung pada industri kelapa sawit ini, tindakan ini tidak bisa dinormalisasi secara berkepanjangan. 

Isu ini kembali menghangat akhir-akhir ini. Jadi, apa sebenarnya yang terjadi di balik industri minyak kelapa sawit? Apakah fakta-fakta mengerikan ini akan mengubah cara pandang kamu terkait apa yang akan kamu beli dan konsumsi demi menjaga lingkungan yang kian hari semakin mengkhawatirkan? Mari kita bahas!

1. Minyak kelapa sawit mulai dimanfaatkan pada 1960-an

minyak kelapa sawit yang diambil dari daging buahnya dan inti dari kelapa sawit (commons.wikimedia.org/T.K. Naliaka)

Kisah minyak kelapa sawit bermula pada 1960-an, saat peneliti menemukan bahwa lemak jenuh dapat menyebabkan penyakit jantung. Pasalnya ketika itu, margarin menjadi bahan utama untuk segala macam makanan. Margarin sendiri merupakan lemak trans buatan atau lemak yang dibuat lewat proses hidrogenasi (minyak terhidrogenasi parsial).

Namun, setelah diteliti lagi, margarin ternyata menghasilkan lemak trans yang sangat tinggi. Sementara itu, minyak kelapa sawit tidak mengandung lemak trans dan hanya mengandung sedikit lemak jenuh. Seperti yang mungkin kamu tahu, lemak trans ini jauh lebih tidak sehat dari pada lemak jenuh. Nah, pada 1990-an, minyak kelapa sawit pun dijadikan solusi.

2. Minyak kelapa sawit digunakan dalam banyak produk rumah tangga

ilustrasi kosmetik yang mengandung minyak kelapa sawit (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Ada dua jenis minyak kelapa sawit, yakni minyak kelapa sawit yang diambil dari daging buahnya, yang disebut minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), dan minyak kelapa sawit yang diambil dari minyak inti kelapa sawit (dari bijinya). Minyak kelapa sawit dan minyak inti kelapa sawit dapat menggantikan minyak terhidrogenasi parsial. Minyak kelapa sawit dipandang jauh lebih sehat, lebih murah, dan mudah ditanam, diproduksi, serta dapat menjaga suhu. Itulah sebabnya minyak kelapa sawit digunakan dalam es krim, karena bisa membuat es krim menjadi lembut dan padat. 

Saat ini, minyak kelapa sawit terkandung dalam lebih dari 200 produk rumah tangga. Contohnya, pada bahan pembuat busa dalam sampo, pengganti lemak hewan untuk kosmetik, minyak goreng, bahan baku murah untuk biofuel, perekat untuk papan partikel (kayu pabrikan), dan komponen komposit mobil. Tak hanya itu, minyak kelapa sawit juga ada dalam pizza, popcorn, dan makanan yang di panggang. Jadi, jika dulu banyak makanan yang mengandung lemak trans karena penggunaan margarin, sekarang banyak makanan yang justru mengandung minyak kelapa sawit.

Dikutip dari The Guardian, minyak kelapa sawit menyumbang 10 persen lahan pertanian global. Setiap manusia di Bumi mengonsumsi rata-rata 8 kilogram minyak sawit per tahun. Malaysia dan Indonesia memproduksi 85 persennya. Nah, pertanyaannya, apakah ada dampak dari perkebunan kelapa sawit ini?

3. Adanya eksploitasi di perkebunan kelapa sawit

pekerja perempuan di perkebunan kelapa sawit di Indonesia (youtube.com/Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR))

Jika minyak kelapa sawit kaya akan manfaatnya, dan permintaan akan minyak kelapa sawit ini sangat masif, pertanyaannya, adakah eksploitasi di perkebunan kelapa sawit? Associated Press dengan gamblang memperlihatkan bagaimana nasib perempuan yang bekerja di ladang kelapa sawit di Sumatra, Indonesia. Perempuan-perempuan ini bekerja dengan mempertaruhkan kesehatan mereka, karena terpapar bahan kimia berbahaya (pupuk kimia) selama berjam-jam. Tak hanya itu, mereka harus membawa beban berat dengan memanggul buah kelapa sawit.

Perbudakan dalam industri kelapa sawit ini juga kental terasa. Perempuan-perempuan ini mengaku pernah bekerja tanpa dibayar untuk membantu suami mereka agar bisa memenuhi jumlah kelapa sawit yang sudah ditetapkan. Mereka tidak memiliki hak yang semestinya sebagai pekerja dan tidak mendapat layanan kesehatan. Adapun, beberapa perempuan mengalami kekerasan fisik dan seksual dari atasan mereka.

Tak hanya di negeri sendiri, Amnesty International mengungkap banyak pelanggaran ketenagakerjaan yang dilakukan oleh perusahaan Wilmar (WLMIF), yang berkantor pusat di Singapura. Produsen minyak kelapa sawit ini memasok minyak kelapa sawit untuk merek-merek terkenal, seperti Nestlé, Kellogg's, dan Procter & Gamble (P&G).

4. Deforestasi hutan untuk membuka lahan kelapa sawit merusak keanekaragaman hayati

ilustrasi rusaknya keanekaragaman hayati akibat pembukaan lahan dengan cara dibakar (pixabay.com/Ria Sopala)

Dikutip Mongabay, perusahaan raksasa minyak kelapa sawit bernama Korindo, dituduh membakar hutan seluas Chicago di hutan hujan Sumatra di Indonesia secara ilegal. Hal ini dilakukan untuk membuka lebih banyak lahan kelapa sawit.

Mongabay juga membeberkan adanya kerusakan keanekaragaman hayati di banyak hutan di dunia. Deforestasi hutan Amazon di Brasil sudah terbongkar saat ini, tetapi hutan hujan besar lain, terutama di Pulau Sumatra, Indonesia, juga menghadapi bahaya yang sama. Pasalnya, hutan hujan menyumbang 50 persen dari seluruh kekayaan spesies di Bumi. Amazon sendiri, seperti yang ditulis Greenpeace, telah kehilangan hutan seluas 1,8 juta lapangan sepak bola hanya dari kurun waktu 2018—2019.

Sementara itu, sejak 1960-an, Pulau Kalimantan telah kehilangan sekitar 60 persen hutannya akibat dijadikan lahan kelapa sawit. Deforestasi akibat perluasan industri kelapa sawit mencapai puncaknya pada 2000—2016, yang menyumbang 25—30 persen penggundulan hutan global tahunan.

Penggundulan hutan sempat menurun di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Dikutip Nusantara Atlas, pada 2023—2024, penggundulan hutan di Indonesia kembali meningkat setelah 1 dekade mengalami penurunan. Akibatnya, banyak spesies yang terancam punah, termasuk ketiga spesies orangutan, badak sumatra, harimau sumatra, dan banyak lagi.

5. Perusahaan sengaja mencantumkan label yang menyesatkan untuk membingungkan masyarakat

ilustrasi es krim yang mengandung minyak kelapa sawit (pexels.com/Afif Ramdhasuma)

Meski minyak kelapa sawit ada di mana-mana, ternyata tidak semua produk mencantumkan minyak kelapa sawit pada label produknya, lho. Seperti yang dijelaskan Ethical Consumer, minyak kelapa sawit terdapat dalam 50 persen makanan, dan 70 persen dari produk kesehatan dan kecantikan.

Menariknya lagi, sering kali perusahaan sengaja menyamarkan atau mungkin menyembunyikan komposisi sebenarnya pada suatu produk dengan menyantumkan "minyak sayur", "pengganti mentega kakao," atau kata turunan, alih-alih menulis minyak kelapa sawit. Jika kamu belum tahu, minyak kelapa sawit sebenarnya telah dikembangkan menjadi lebih dari 500 zat berbeda. Nah, istilah zat-zatnya ini seperti gliserol dan stearin.

Namun, untuk menutup atau bahkan menghambat pertumbuhan pasar minyak kelapa sawit di luar negeri, terutama di negara-negara berkembang, butuh usaha yang tidak main-main. Yap, mengingat ekonomi negara berkembang sangat bergantung pada minyak kelapa sawit. Apalagi, makanan cepat saji dan junk food juga mengandalkan minyak kelapa sawit.

Sisi gelap dari industri minyak kelapa sawit memang cukup meresahkan. Namun, beberapa produk saat ini memiliki label "bebas minyak kelapa sawit". Semoga kamu menjadi konsumen yang teredukasi dan menjaga kelestarian Bumi setelah mengetahui informasi ini.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us