Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apa yang Terjadi jika Bumi Kehilangan Oksigen Sepenuhnya? 

ilustrasi Bumi (pixabay.com/PIRO)
ilustrasi Bumi (pixabay.com/PIRO)

Sederhananya, jika Bumi kehabisan oksigen, kehidupan akan mati. Berita buruknya, hal ini memang akan terjadi. Pasalnya, pada 2021, para ilmuwan menerbitkan sebuah studi di Nature Geoscience berjudul "The Future Lifespan of Earth’s Oxygenated Atmosphere," yang memperkirakan bahwa dalam waktu sekitar satu miliar tahun lagi, Bumi sudah tidak memiliki oksigen, yang akan membuat planet ini menjadi bola batu tandus.

Fakta ini memang suram, akan tetapi pada kenyataannya, proses ini hanyalah bagian dari alam. Tidak ada yang bertahan selamanya, termasuk planet atau bintang. Sebagaimana yang diungkapkan dalam penelitian tersebut, oksigen di atmosfer Bumi ternyata tidak permanen atau tidak bisa bertahan selamanya, nih. Pada tahun satu miliar, semua keanekaragaman alam akan punah, hanya bakteri yang akan menjadi satu-satunya penghuni Bumi. Itu berarti, manusia juga akan terseleksi oleh alam.

Namun, Bumi tidak akan tiba-tiba kehabisan udara dalam 1 hari, yang menyebabkan semuanya mati lemas. Nah, butuh proses yang jauh lebih lambat dan bertahap. Lalu, seperti apa masa depan Bumi jika oksigen benar-benar menghilang dari planet ini? Mari kita cari tahu menurut fakta ilmiahnya!

1. Pertama kali muncul, oksigen justru menjadi bencana

Ilustrasi bumi yang terlihat dari luar angkasa (pixabay.com/DeltaWorks)
Ilustrasi bumi yang terlihat dari luar angkasa (pixabay.com/DeltaWorks)

Sebenarnya, saat Bumi baru terbentuk, Bumi tidak memiliki oksigen, lho. Itu berarti, tidak ada pula kehidupan di Bumi. Seperti yang dijelaskan University of California Museum of Paleontology, sekitar 3,8 miliar tahun yang lalu, kerak bumi masih dingin, akan tetapi batuan dan lempeng benua mulai terbentuk. Nah, kehidupan paling awal pun baru muncul beberapa juta tahun kemudian.

Selain itu, fosil tertua yang diketahui berasal dari 3,5 miliar tahun yang lalu. Namun, Bumi pada saat itu sangat berbeda dengan Bumi yang kita kenali saat ini, lantaran hanya ada gas beracun, seperti karbon dioksida, gas metana dan amonia.

Saat pertama kali oksigen masuk ke Bumi, oksigen justru sangat mematikan. Peristiwa ini dikenal sebagai Bencana Oksigen atau Peristiwa Oksigenasi Besar/Great Oxygenation Event (GOE), cyanobacteria, ketika kemunculan salah satu organisme prokariotik paling awal di Bumi mampu melakukan fotosintesis dan menghasilkan oksigen sendiri. Namun, kadar oksigen yang dihasilkan cyanobacteria terakumulasi dan keluar ke atmosfer, hingga bereaksi dengan gas metana. Akibatnya, semakin banyak oksigen yang keluar, gas metana pun hilang. Oksigen akhirnya menjadi komponen utama di atmosfer. Sayangnya, peristiwa ini justru memusnahkan cyanobacteria itu sendiri.

Nah, dengan bantuan sinar matahari, Bumi mulai terbentuk seperti sekarang ini. Tanpa oksigen, kehidupan tidak mungkin berevolusi di Bumi. Meskipun demikian, oksigen juga ada masanya.

2. Panas cahaya matahari akan semakin meningkat

ilustrasi Matahari (pixabay.com/Alexa)
ilustrasi Matahari (pixabay.com/Alexa)

Seperti Bumi, Matahari tidak akan bertahan selamanya. Matahari memiliki persediaan bahan bakar hidrogen yang terbatas untuk dibakar dalam fusi nuklir, dan ketika habis, ia akan berubah seiring waktu. Seperti yang dijelaskan Space.com, pada tahap akhir kehidupan Matahari, Matahari akan kehabisan hidrogen dan menjadi bintang merah raksasa yang akan melahap Merkurius dan Venus. Jika Bumi berhasil lolos dari nasib serupa, kehidupan di Bumi pun sudah tidak ada. Bahkan jauh sebelum Matahari kehabisan hidrogennya.

Selama hidupnya, Matahari secara bertahap menjadi lebih terang dan tentunya lebih panas. Seperti yang dijelaskan New Scientist, sejak pertama kali menyala sekitar 4,5 miliar tahun yang lalu, Matahari menjadi lebih terang sekitar 30 persen. Lalu selama satu miliar tahun kemudian, Matahari semakin terang lagi, kira-kira sebesar 10 persen. Perubahan yang semakin meningkat ini tentunya tidak akan sanggup diterima Bumi.

Bumi kita saat ini berada di zona layak huni, jarak Matahari ke Bumi cukup tepat dan nyaman bagi kehidupan di Bumi. Namun, seiring waktu, Matahari akan mengalami pergeseran. Hal ini pun pernah dialami oleh planet Venus, yang terkenal sangat panas. Pasalnya, ada kemungkinan besar bahwa cahaya Matahari perlahan meningkat dan membuat Venus menjadi tempat yang tandus dan tak bernyawa seperti sekarang ini.

3. Karbon dioksida akan terserap ke bebatuan dan merusak fotosintesis hingga membuat kadar oksigen menurun

ilustrasi bebatuan di pesisir laut (commons.wikimedia.org/Lviatour)
ilustrasi bebatuan di pesisir laut (commons.wikimedia.org/Lviatour)

Bukan tanaman yang pertama kali akan terdampak karena teriknya Matahari, tetapi bebatuan. Seperti yang mungkin kamu tahu, siklus karbon membantu mengatur ekosistem di Bumi, siklus yang bergeser antara atmosfer dan mineral karbonat. Namun, jika panas cahaya Matahari tidak lagi seimbang, maka bebatuan Bumi akan menyerap lebih banyak karbon dioksida dari pada yang bisa dikembalikannya.

Karbon dioksida ini bekerja sangat lambat, tetapi memiliki efek yang serius dalam jangka waktu yang lama. Pasalnya, siklus karbon ini memberikan dampak besar pada kehidupan di Bumi. Nah, jika semakin banyaknya karbon dioksida yang terperangkap secara permanen di bebatuan, jadi otomatis tanaman tidak bisa menghasilkan oksigen.

Memang, karbon dioksida yang terlalu banyak dapat menyebabkan pemanasan global, akan tetapi, jika terlalu sedikit, tanaman tidak bisa melakukan fotosintesis. Nah, tanpa fotosintesis, Bumi pun akan berhenti memproduksi oksigen. Tentunya, akan menyebabkan efek domino.

4. Tumbuhan dan pohon-pohon di hutan akan punah

ilustrasi pohon mati (pixabay.com/Sadie)
ilustrasi pohon mati (pixabay.com/Sadie)

Tumbuhan bergantung pada panas cahaya Matahari untuk bertahan hidup. Namun, jika sebuah planet menerima panas cahaya Matahari yang sangat tinggi, pohon-pohon pun akan mati, dan mengubah Bumi menjadi gurun. Apalagi diperparah dengan sedikitnya karbon dioksida.

Tumbuhan yang mengandalkan fotosintesis akan mati terlebih dahulu. Namun, spesies tumbuhan yang lebih efisien juga akan mati dalam batas waktu tertentu. Pada akhirnya, hanya bakteri dan alga yang akan berfotosintesis.

5. Lautan akan menguap dan oksigen pun hilang

ilustrasi laut mengering (pixabay.com/Ralph Klein)
ilustrasi laut mengering (pixabay.com/Ralph Klein)

Fotosintesis dapat berlangsung lebih lama di lautan ketimbang di daratan. Sebagaimana yang dikutip National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), 50 sampai 80 persen dari semua oksigen di Bumi berasal dari lautan, bukan hutan. Sayangnya, panas matahari yang terus meningkat membawa malapetaka bagi lautan Bumi.

Saat Bumi memanas akibat sinar matahari yang semakin terang, suhu planet akan terus meningkat dan lautan akan menguap secara bertahap. Atmosfer Bumi pun akan lembap karena penuh dengan uap air laut. Akibatnya, lautan akan mengering.

Atmosfer yang lembap bisa membawa malapetaka. Beberapa ilmuwan bahkan sudah lama menganggap hal ini sebagai lonceng kematian bagi Bumi. Menurut sebuah penelitian di Geophysical Research Letters, berjudul "Delayed Onset of Runaway and Moist Greenhouse Climates for Earth" (2013), yang ditulis oleh E T Wolf dan O B Toon mengatakan bahwa ketika efek rumah kaca yang dahsyat ini terjadi, Bumi akan bernasib sama seperti planet Venus. Pasalnya, tanpa adanya tumbuhan, lautan, dan karbon dioksida, oksigen pun tidak akan ada. Beberapa hewan yang mungkin masih tersisa di Bumi akan menghadapi kepunahan massal.

6. Bagaimana tanaman bisa bertahan hidup di kondisi yang tidak memungkinkan?

tanaman Salvia (pixabay.com/jotoya)
tanaman Salvia (pixabay.com/jotoya)

Sebuah studi dalam Jurnal Astrobiologi Internasional berjudul "Swansong Biospheres II: The Final Signs of Life on Terrestrial Planets Near the End of Their Habitable Lifetimes" (2013) oleh Jack T O'Malley-James, dkk, berspekulasi bahwa tanaman dapat beradaptasi dengan fotosintesis yang lebih efisien, bahkan jika karbon dioksida sangat rendah, tetapi ada juga tanaman yang bertahan dengan cara unik. Beberapa tanaman dapat beradaptasi dengan mendapatkan nutrisi tambahan dari jamur yang hidup di bawah tanah, sementara itu, ada juga tanaman yang mungkin mengonsumsi daging atau makhluk hidup lain. Nah, dengan menjadi karnivora, tanaman bisa mendapatkan karbon dioksida dari mangsanya.

Sementara itu, untuk melindungi diri dari panas cahaya yang berlebih, tanaman akan menghasilkan lebih banyak tabir surya alami dalam bentuk antosianin. Antosianin adalah senyawa kimia yang memberikan warna merah dan ungu pada tanaman. Strategi bertahan hidup ini sudah digunakan tanaman saat ini untuk menghalangi panas cahaya berlebih yang dapat merusak tanaman.

Organisme lain dapat mengembangkan pertahanan serupa, seperti bakteri yang mengubah warna danau menjadi warna merah muda. Beberapa bakteri ini bahkan menggunakan fotosintesis yang berbeda dengan tanaman. Sementara itu, ada pula, nih, bakteri yang tidak menggunakan oksigen sama sekali. Bakteri ini memperoleh energinya dari sulfur.

7. Dunia baru dengan makhluk hidup baru?

ekstremofil tumbuh subur di lingkungan ekstrem dengan asam mendidih (commons.wikimedia.org/Steve Jurvetson)
ekstremofil tumbuh subur di lingkungan ekstrem dengan asam mendidih (commons.wikimedia.org/Steve Jurvetson)

Kita memang membahas tentang kehancuran kehidupan di Bumi, akan tetapi, ada satu hal yang perlu kita ingat tentang kehidupan itu sendiri. Yap, kehidupan sangat ahli dalam beradaptasi. Ekstremofil, yang dibahas dalam sebuah makalah di Frontiers In Microbiology, berjudul "Microbial Life Under Stress: Biochemical, Genomic, Transcriptomic, Proteomic, Bioinformatics, Evolutionary Aspects and Biotechnological Applications of Poly-Extremophilic Bacteria" (2019), adalah mikroba tangguh yang dapat bertahan dalam kondisi yang sangat mematikan bagi manusia. Nah, selain mampu bertahan hidup di lingkungan yang ekstrem, keberadaan ekstremofil juga sangat melimpah di Bumi.

Para ilmuwan awalnya terkejut saat menemukan makhluk hidup di lingkungan yang tidak bersahabat dan bahkan tidak layak huni, seperti lingkungan asam yang sangat tinggi hingga suhu yang cukup panas untuk memasak telur. Beberapa, bahkan dapat memperoleh energi yang mereka butuhkan dari zat radioaktif ketimbang sinar matahari, lho.

Selain itu, mikroba dapat membantu makhluk hidup lain untuk bertahan hidup. Ventilasi hidrotermal laut dalam, misalnya, menampung seluruh ekosistem hewan laut, yang berkembang biak berkat bakteri yang hidup di sana. Kehidupan di tempat-tempat seperti ini ada tanpa sinar matahari sama sekali.

Seperti yang kita ketahui bersama, satu miliar tahun itu sangatlah lama. Dikutip The Washington Post, sebagian besar spesies mamalia hanya bertahan selama sekitar satu juta tahun lagi. Sementara umat manusia diperkirakan dapat bertahan hidup seribu kali lebih lama sebelum oksigen di Bumi benar-benar menghilang. Di sisi lain, umat manusia sendiri sudah ada di di Bumi selama 300.000 tahun.

Mungkin, saat Bumi berubah, masih ada bentuk kehidupan baru yang lebih unik, yang siap mewarisi dunia, bahkan saat tumbuhan dan hewan yang kita kenal saat ini punah. Bumi ditakdirkan kehabisan oksigen suatu hari nanti, tetapi bukan berarti akhir dari semuanya. Saat Bumi tidak dapat dihuni lagi oleh kehidupan seperti yang kita ketahui saat ini, mungkin ada kehidupan lain yang tidak kita ketahui yang akan hidup di masa depan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Amelia Solekha
EditorAmelia Solekha
Follow Us