Mengapa Biliar Dipandang sebagai Olahraga Kaum Elite?

- Biliar populer di kalangan bangsawan Eropa sejak abad ke-15, menjadi "Noble Game" di aristokrasi Britania Raya.
- Biliar menjadi tempat berkumpulnya aristokrat dan konglomerat dengan material eksklusif dan digunakan sebagai sarana diplomasi informal.
- Pengaruh film Hollywood seperti The Hustler dan The Color of Money menghidupkan kembali ketertarikan publik pada biliar, serta prestise biliar kembali naik berkat turnamen internasional bergengsi.
Masyarakat modern kerap mengaitkan biliar dengan citra elite sosial. Asosiasi ini tidak muncul secara kebetulan, melainkan berakar pada perjalanan sejarah yang panjang. Sejak awal, permainan meja ini tampil sebagai parameter status bagi kalangan terpilih.
Di sisi lain, biliar terus bertransformasi mengikuti perubahan zaman. Pergeseran bentuk meja, bahan bola, hingga lokasi permainan merefleksikan perkembangan kelas sosial di setiap periode. Memahami evolusi tersebut membantu kita menafsirkan mengapa biliar bertahan sebagai simbol eksklusivitas sampai hari ini.
1. Biliar telah populer di kalangan bangsawan Eropa sejak abad ke-15
Permainan cue sports ini lahir dari adaptasi kroket (permainan bola kayu) di Prancis pada abad ke‑15. Dilansir BookGame, catatan pertama menyebut Raja Louis XI memindahkan permainan lapangan itu ke ruang istana pada 1469, sekaligus memesan meja dalam ruangan pertama untuk menghindari kerusakan dekorasi palais. Dengan demikian, biliar langsung tersemat dalam ruang bernuansa kerajaan, bukan di halaman rakyat jelata.
Perintah raja memicu inovasi dengan melibatkan tukang kayu istana, Henry de Vigne, merancang meja berkain hijau yang meniru rumput serta rel tinggi tanpa kantong agar bola tak terjatuh. Fitur tersebut menegaskan, sejak awal meja biliar diproduksi secara eksklusif dan hanya dapat diakses istana atau salon bangsawan. Popularitas permainan pun menyeberang ke Selat Inggris hingga pada abad‑16 dan 17 biliar menjadi “Noble Game” di lingkungan aristokrasi Britania Raya.
Gelombang aristokratik makin kuat ketika figur‑figur ternama ikut memainkannya. Napoleon Bonaparte, Marie Antoinette, hingga Wolfgang Amadeus Mozart tercatat sebagai penggemar olahraga ini. Sastrawan Inggris terkemuka, William Shakespeare, menyinggung biliar dalam sandiwara tragedi berjudul Antony and Cleopatra. Keikutsertaan tokoh‑tokoh tersebut meneguhkan persepsi bahwa biliar merupakan aktivitas berwibawa dan berbudaya tinggi. Ketika mode Prancis menjalar, bangsawan Inggris menambah kantong pada meja, lalu menyebarkannya ke Amerika Serikat yang menjadikan biliar lambang status di berbagai kerajaan modern.
2. Biliar menjadi sarana berkumpulnya aristokrat dan konglomerat
Kemewahan biliar tidak terlepas dari material yang dipakai. Sejak abad‑17, bola terbuat dari gading mahal sebelum diganti seluloid dan resin fenolik yang tetap berharga tinggi karena daya tahan dan konsistensinya. Meja menggunakan kayu pilihan dengan alas kain hijau, warna yang sengaja dipilih untuk meniru rumput permainan aslinya. Kombinasi material eksklusif ini mempertegas aura kemewahan setiap kali stik menyentuh bola.
Pada abad‑18 dan 19, klub privat, ruang tamu aristokrat, serta kafe eksklusif di Paris atau London menjadikan biliar sebagai pusat hiburan kelas atas. Tempat‑tempat itu menampilkan meja berukuran besar, lampu gantung kristal, dan pelayan berseragam yang dirancang untuk memanjakan kaum sosialita. Klub biliar pertama di Amerika Serikat yang berlokasi di New York, yakni Bassford, menjadi tempat berkumpulnya para politisi dan konglomerat sebagai sarana pertemuan eksklusif.
Selain sarana rekreasi, biliar juga berfungsi sebagai ajang diplomasi informal. Para tokoh berpengaruh memanfaatkan permainan untuk menutup kesepakatan bisnis, sedangkan kaum perempuan kalangan atas menikmati kesempatan bersosialisasi setara dengan pria di ruang yang elegan. Sentuhan strategi, kesabaran, dan presisi meningkatkan prestise biliar yang membuatnya identik dengan kecerdasan taktis dan kelas budaya pada masa itu.
3. Kesan elite biliar kembali hidup berkat pengaruh film
Memasuki abad ke‑20, aura keanggunan biliar sempat memudar. Maraknya tempat biliar di kawasan pekerja yang identik dengan perjudian, alkohol, dan musik keras, menciptakan stigma baru bahwa biliar hanyalah hiburan murah nan liar. Dampaknya, kalangan kelas atas menarik diri dan permainan ini mulai kehilangan pamor elite yang telah lama melekat.
Dua film Hollywood kemudian mengubah arus. The Hustler (1961) menyorot sisi gelap praktik penipuan dalam biliar, tetapi justru memicu pembukaan ruang biliar baru di seluruh Amerika Serikat. Selain itu, The Color of Money (1986) menghidupkan kembali ketertarikan publik kelas menengah menyaksikan Paul Newman dan Tom Cruise bertarung di meja biliar. Usai rilis film, lahir gelombang ruang biliar premium yang menolak kesan kumuh, lengkap dengan lounge yang nyaman dan peralatan berstandar turnamen.
Pada dekade terakhir, status biliar kembali naik berkat turnamen internasional bergengsi seperti World Pool Championship, U.S Open 9‑Ball, dan Mosconi Cup yang disiarkan daring. Teknologi pelatihan digital, desain meja bergaya minimal‑lux, serta komunitas global via streaming menghadirkan wajah baru yang modern, namun, tetap glamor. Dengan begitu, biliar sukses merebut kembali reputasinya sebagai olahraga penuh gaya sekaligus kompetitif.
Biliar yang berawal dari ruang istana kemudian berkelana melewati periode dekadensi, kini kembali berdiri sebagai lambang prestise. Evolusi material, ruang, dan narasi budaya membuktikan aristokrasi bukan hanya latar sejarah biliar, melainkan menjadi salah satu pilar identitas sosialita hingga hari ini.