Babat Alas Reshma Saujani, Jadi Bukti Perempuan Bisa Ngoding!

- Reshma Saujani, pendiri Girls Who Code, membuktikan perempuan bisa mendobrak stereotip dan membabat alas bagi ribuan anak perempuan agar berani di dunia teknologi.
- Perempuan dibesarkan untuk menjadi sempurna, sementara laki-laki dibesarkan untuk menjadi berani. Reshma ingin mengubah paradigma ini melalui Girls Who Code.
- Melalui kemitraan dengan perusahaan besar, Girls Who Code mengajarkan coding sebagai jalan menuju keberanian dan mencetak generasi perempuan yang tidak takut salah di dunia teknologi.
Dominasi perempuan memang belum banyak mendapat sorotan di ranah teknologi. Kamu mungkin sering mendengar nama-nama besar di bidang teknologi, seperti Elon Musk, Mark Zuckerberg, atau Sam Altman. Tapi, pernahkah kamu mendengar nama Reshma Saujani?
Dialah perempuan di balik gerakan Girls Who Code, organisasi nirlaba yang lahir dari keprihatinannya terhadap rendahnya jumlah perempuan di bidang teknologi. Reshma percaya, perempuan tidak harus menunggu jadi sempurna untuk memulai. 'Teach girls bravery, not perfection,' katanya. Mereka hanya perlu satu hal, yaitu keberanian.
Lewat gerakan ini, Reshma ingin menanamkan satu hal penting yaitu berani salah lebih baik daripada tak mencoba sama sekali. Reshma telah membuktikan bahwa perempuan bisa mendobrak benteng glass ceiling di dunia STEM. Simak kisah Reshma Saujani, seorang "Kartini" teknologi yang menyulap rasa takut menjadi barisan kode pemrograman.
1. Langkah nekat Reshma Saujani menjadi titik balik mengajarkan keberanian pada perempuan

"Perempuan itu nggak jago ngoding." Kalimat ini mungkin masih sering terdengar di banyak simposium, ruang diskusi, ruang kelas, bahkan di ruang kerja. Anggapan bahwa perempuan hanya duduk manis, berpangku tangan, dan siap menerima hasil kerja tim laki-laki masih mengakar di banyak tempat.
Tapi, tidak dengan Reshma Saujani, seorang perempuan berdarah India-Amerika, CEO Moms First, dan pendiri Girls Who Code. Ia berhasil membuktikan sebaliknya. Ia bukan hanya mendobrak stereotip, tetapi juga membabat alas bagi ribuan anak perempuan agar berani mencoba, gagal, dan bangkit kembali di dunia teknologi yang penuh tantangan.
Segalanya dimulai ketika Reshma memutuskan mengambil langkah besar dalam hidupnya. Sebelum dikenal sebagai sosok pahlawan bagi ribuan anak perempuan yang ingin belajar coding, Reshma terlebih dahulu menempuh jalan terjal di dunia politik. Siapa sangka, ia yang sebelumnya nyaman bekerja di balik layar sebagai penggalang dana dan organisator politik, justru nekat mencalonkan diri sebagai anggota Kongres?
Pada 2012, ia melakukan hal yang dianggap “gila” dengan menantang petahana yang tak terkalahkan sejak 1992. Reshma tahu peluangnya kecil. Bahkan, survei menunjukkan nyaris mustahil baginya untuk menang. Tapi, ia tetap melangkah. Baginya, keberanian adalah tujuan, bukan sekadar hasil.
Hasilnya? Ia kalah telak. Hanya meraih 19 persen suara dan dicibir media karena dianggap “membuang” lebih dari satu juta dolar. Tapi bagi Reshma, momen itu justru menjadi titik balik. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia tidak lagi berusaha tampil sempurna. Ia hanya ingin berani.
2. Ia berhasil menepis defisit keberanian perempuan lewat Girls Who Code

Reshma menemukan bahwa perempuan dibesarkan untuk menjadi sempurna, sementara laki-laki dibesarkan untuk menjadi berani. Inilah akar dari defisit keberanian yang membuat perempuan kerap absen di ruang-ruang penting seperti STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics), C-Suites, hingga Kongres. Bahkan ketika lowongan kerja terbuka, laki-laki cenderung melamar meski hanya memenuhi 60 persen kualifikasi, sementara perempuan baru melamar jika memenuhi 100 persen.
Reshma menyadari, banyak perempuan menghindari risiko karena sejak kecil mereka diajarkan untuk “main aman”, tampil sempurna, dan tidak membuat kesalahan. Bandingkan laki-laki yang sejak dini dibiasakan mengambil risiko, meski hasilnya gagal. Dalam riset psikolog Carol Dweck, anak perempuan ber-IQ tinggi justru lebih cepat menyerah saat menghadapi soal sulit. Sebaliknya, anak laki-laki menganggapnya sebagai tantangan. “Kita membesarkan anak perempuan untuk menjadi sempurna, dan anak laki-laki untuk menjadi berani,” kata Reshma ketika menjadi pembicara di TED Talk pada 28 Maret 2016.
Di usia 33, Reshma menyadari bahwa sepanjang hidupnya ia lebih sering bermain aman dan mengejar kesempurnaan. Namun saat mencalonkan diri, untuk pertama kalinya ia merasa benar-benar berani. Ia pun mulai bertanya. Kenapa banyak perempuan hanya memilih jalur yang mereka tahu akan sukses? Kenapa kita takut gagal, takut salah, takut mencoba hal baru?
Jawabannya? Karena para perempuan disosialisasikan untuk menjadi sempurna, bukan berani. Perempuan dibesarkan untuk berhati-hati, tersenyum manis, dan tidak mengambil risiko. Dari keresahan itu, Reshma membentuk Girls Who Code. Misinya sederhana, namun, berdampak besar. Ia mengajarkan coding sebagai jalan menuju keberanian. Karena dalam coding, kesalahan adalah bagian dari proses. Kesalahan satu semicolon bisa membuat sistem menjadi crash dan itu adalah hal yang wajar. Justru dari proses trial-and-error itulah keberanian mulai tumbuh.
Baginya, coding bukan hanya sekadar skill digital, melainkan juga alat untuk membentuk mental tangguh dan siap gagal. Dalam dunia pemrograman, satu titik koma bisa mengacaukan segalanya. Tapi, dari kesalahan berulang itulah lahir kreativitas dan solusi. Banyak guru dalam program ini menceritakan pola serupa. Murid perempuan lebih memilih menghapus seluruh kode karena takut salah ketimbang menunjukkan proses belajar yang belum sempurna. Perfection or bust.
“Kita harus mulai mengajarkan anak perempuan untuk nyaman dengan ketidaksempurnaan, karena dari situlah keberanian tumbuh,” ujar Reshma Saujani dalam TED Talk-nya yang berjudul "Teach girls bravery, not perfection" pada 28 Maret 2016.
Girls Who Code lahir dari semangat itu. Bukan sekadar organisasi, tetapi sebuah gerakan. Reshma ingin mencetak generasi perempuan yang tidak takut salah, tidak takut terlihat "tidak tahu", dan tidak takut dianggap "tidak cocok" di dunia teknologi. Baginya, coding hanyalah pintu masuk. Yang dia ajarkan jauh lebih besar, yakni keberanian, ketekunan, dan tekad untuk membuktikan bahwa perempuan juga bisa menjadi arsitek masa depan.
3. Saatnya perempuan jadi kreator, bukan hanya konsumen

Ironisnya, 85 persen keputusan belanja di dunia dibuat oleh perempuan. Bahkan, penggunaan media sosial didominasi oleh perempuan hingga 600 persen lebih aktif dibanding laki-laki. Namun, hanya sekitar 7.500 perempuan yang lulus dari bidang ilmu komputer pada tahun sebelumnya. Apa artinya? Perempuan masih lebih sering menjadi konsumen ketimbang kreator.
Reshma ingin mengubah itu. Melalui kemitraan bersama perusahaan-perusahaan besar, seperti Twitter, Facebook, Microsoft, Pixar, hingga Disney, Girls Who Code menghadirkan kelas coding langsung di ruang-ruang kantor teknologi. Bukan sekadar mengajar, tetapi juga menunjukkan bahwa keberagaman melahirkan inovasi. Reshma percaya bahwa perempuan bukan hanya pengguna teknologi, tetapi juga bisa menjadi penciptanya.
4. Girls Who Code sukses menghasilkan ide-ide segar dari perempuan muda

Di kelas-kelas Girls Who Code, sering kali muncul fenomena ini. Siswa perempuan menatap layar kosong dan berkata, “Aku nggak tahu harus ngoding apa.” Tapi jika gurunya menekan tombol undo, munculah baris-baris kode yang sebelumnya sempat ditulis… lalu dihapus. Mereka sudah mencoba, tetapi merasa gagal dan memilih untuk tidak menunjukkan apa-apa. Perfeksionisme itu merampas keberanian untuk mencoba.
Cerita menarik datang dari Lev Brie, dosen pemrograman di Columbia University, Amerika Serikat. Ketika mahasiswa laki-laki mengalami kesulitan, mereka berkata, “Ada yang salah dengan kode saya.” Tapi, mahasiswi berkata, “Ada yang salah dengan saya.” Ini bukan soal kemampuan, tetapi soal pola pikir yang tertanam sejak kecil.
Dari hanya 20 siswa di tahun pertama, kini Girls Who Code telah mengajarkan lebih dari 40.000 anak perempuan di seluruh 50 negara bagian AS. Mereka juga bekerja sama dengan lebih dari 80 perusahaan teknologi, seperti Twitter, Facebook, Microsoft, hingga Disney. Hasilnya? Hebat!
Ada yang menciptakan game Tampon Run untuk menghapus stigma menstruasi. Ada yang membuat aplikasi untuk membantu warga AS memilih dalam pemilu yang dirancang oleh anak pengungsi Suriah. Ada juga yang mengembangkan algoritma deteksi kanker demi menyelamatkan sang ayah tercinta.
Dari gerakan ini, lahirlah ide-ide segar dan berani dari para perempuan muda. Mereka belajar bahwa gagal itu tidak apa-apa. Yang penting, coba dulu, lalu perbaiki.
5. Gagal di Pemilu, Reshma Saujani justru menang di hati perempuan pemberani

Reshma Saujani memang kalah dalam pemilu. Tapi, ia memenangkan hati ribuan perempuan muda yang kini berani bermimpi lebih tinggi. Ia memperjuangkan narasi baru bahwa perempuan bisa ngoding, bisa berinovasi, dan bisa memimpin di dunia yang dulu didominasi laki-laki. Dari kekalahan itulah lahir keberanian kolektif yang mengubah masa depan.
Dalam masyarakat yang sering menuntut perempuan untuk selalu tampil sempurna, Reshma justru memilih untuk menjadi imperfectly brave. Ia meninggalkan zona nyaman sebagai penggalang dana politik dan melangkah ke dunia politik yang keras dan penuh risiko. Kekalahan itu bukan akhir, melainkan awal dari sebuah gerakan besar bertajuk Girls Who Code.
Apa yang dibawa Reshma bukan hanya bicara soal ruang kelas atau laptop, tetapi perubahan cara berpikir. Bahwa perempuan tidak harus sempurna untuk mulai. Bahwa keberanian adalah kunci inovasi. Apabila suatu saat perempuan diberi ruang dan kepercayaan, mereka bisa membangun dunia yang lebih baik.
Reshma Saujani adalah saksi hidup bahwa keberanian bisa dipelajari, bahkan dari kegagalan paling pahit sekalipun. Perempuan juga bisa ngoding. Tapi, lebih dari itu, perempuan bisa berani, bisa gagal, bisa mencoba lagi, dan bisa mengubah dunia.
Jadi, jika kamu seorang perempuan yang takut mencoba karena merasa belum sempurna, ingat kata-kata Reshma:
“Kita harus membesarkan anak perempuan untuk menjadi berani, bukan sempurna. Pada akhirnya, dunia tidak selalu butuh perempuan yang sempurna. Dunia butuh perempuan yang berani.”