Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Jepang Rayakan Natal dengan Meriah meski Bukan Negara Religius?

ilustrasi Natal di Jepang
ilustrasi Natal di Jepang (unsplash.com/Nagatoshi Shimamura)

Pernahkah kamu melihat dorama (drama Jepang), vlog, dan foto suasana bulan Desember di Tokyo yang penuh dengan lampu hias gemerlap dan pohon Natal raksasa? Pemandangan ini sering kali memancing rasa penasaran banyak orang asing, mengingat Jepang bukanlah negara dengan mayoritas penduduk Kristen.

Menurut World Values Survey tahun 2022, warga negara Jepang memiliki total ateis sebesar 19,1 persen dengan 55,7 persen gak beragama. Jadi, bisa dibilang fenomena ini memang cukup unik karena perayaan Natal di sana terasa sangat masif, bahkan terkadang lebih heboh dibandingkan negara-negara Barat. Lantas, kenapa Natal dirayakan meriah di Jepang, meski warganya gak religius? Kenapa mereka juga menganggap tanggal 25 Desember sebagai hari libur? Kalau kamu penasaran dengan penyebabnya, simak uraian berikut! 

1. Sejarah dan latar belakang perayaan Natal di Jepang

ilustrasi Natal di Jepang
ilustrasi Natal di Jepang (unsplash.com/Varun Goregaonkar)

Alasan kenapa Natal dirayakan secara spesial di Jepang adalah karena adanya prosesnya penuh asimilasi unik antara tradisi Barat dan budaya Jepang. Perkenalan Jepang dengan Natal bisa ditelusuri sejak kedatangan agama Kristen pada abad ke-16. Namun, pada masa itu perayaannya sangat terbatas karena Jepang menutup diri dari dunia luar selama berabad-abad.

Segalanya berubah pada era Meiji (1868–1912), ketika Jepang membuka diri terhadap dunia Barat dan mulai menyerap banyak pengaruh baru. Pada masa inilah Natal mulai dikenal masyarakat, meski awalnya hanya dirayakan oleh komunitas Kristen kecil dan para ekspatriat.

Awalnya, Natal dirayakan sederhana dengan didominasi kegiatan gereja dan kumpul kecil yang fokus pada sisi religius. Kemudian, memasuki abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia II, Natal mulai mengalami transformasi besar. Pengaruh budaya Amerika dan gaya hidup modern membuat Natal di Jepang kehilangan unsur religiusnya.

Perayaan ini kemudian berubah menjadi momen konsumtif yang meriah. Simbol-simbol khas seperti pohon Natal, Santa Claus, dan tukar kado diadaptasi sesuai selera lokal. Sejak itu, Natal berkembang menjadi hari yang sepenuhnya sekuler dan sangat "Jepang".

2. Natal di Jepang lebih bernuansa budaya pop, tidak ddominasi unsur agama

ilustrasi Natal di Jepang
ilustrasi Natal di Jepang (pexels.com/YIMING TANG)

Natal di Jepang berkembang bukan sebagai perayaan keagamaan, melainkan momen festival yang dipengaruhi budaya Barat. Media, iklan, dan industri hiburan Jepang menyulap Natal menjadi perayaan penuh dekorasi warna-warni, musik ceria, serta acara spesial yang membuatnya identik dengan kemeriahan. Kamu tak akan menemukan misa Natal sebagai fokus utama bagi masyarakat umum, melainkan atraksi lampu (illumination) yang tersebar di berbagai kota besar.

Seiring waktu, masyarakat Jepang melihat Natal sebagai kesempatan untuk menikmati kegiatan yang menyenangkan bersama orang terdekat. Bukan hanya anak-anak, tetapi juga pasangan muda dan bahkan perusahaan memanfaatkan suasana ini untuk menciptakan kegiatan akhir tahun. Inilah yang membuat Natal melekat kuat sebagai bagian dari budaya populer, tanpa harus memiliki makna religius.

3. Natal dianggap sebagai "Hari Valentine" kedua

ilustrasi Natal di Jepang
ilustrasi Natal di Jepang (pexels.com/Gu Ko)

Di Amerika atau Eropa, Natal adalah waktu sakral untuk berkumpul dengan keluarga besar di rumah. Namun lain halnya dengan di Jepang. Natal justru dianggap sebagai hari paling romantis dalam setahun bagi para pasangan. Malam Natal (Christmas Eve) memiliki status yang setara, bahkan mungkin lebih tinggi dibandingkan Hari Valentine. Jadi, gak mengherankan restoran-restoran mewah akan penuh sesak oleh pasangan yang sedang berkencan romantis.

Para pasangan di Jepang biasanya sudah merencanakan agenda malam Natal mereka sejak berbulan-bulan sebelumnya untuk memastikan momen tersebut berjalan sempurna. Kamu akan kesulitan mencari reservasi restoran atau hotel di kota besar seperti Tokyo atau Osaka jika baru mencarinya di bulan Desember, karena semuanya sudah habis dipesan demi malam romantis tersebut.

Sementara itu, bagi para lajang, Natal bisa menjadi momen yang sedikit memaksa mereka untuk segera mencari pasangan. Hal ini membuat mereka menghindari kuribocchi atau sendirian saat Natal. Alhasil, banyak orang berlomba-lomba mencari pasangan sebelum bulan Desember tiba.

4. Kekuatan marketing, awalnya dari restoran makanan cepat saji dan kue stroberi

ilustrasi kue stroberi Jepang
ilustrasi kue stroberi Jepang (pexels.com/Eva Bronzini)

Alasan lain mengapa Natal begitu meriah adalah keberhasilan kampanye marketing yang legendaris, salah satunya adalah tradisi makan ayam goreng KFC. Pada tahun 1974, KFC Jepang meluncurkan kampanye bertajuk "Kentucky for Christmas" (Kurisumasu ni wa Kentakkii) yang meledak di pasaran dan mengubah kebiasaan makan warga Jepang selamanya. Bagi kamu yang berada di Jepang saat Natal, jangan kaget melihat antrean mengular di depan gerai KFC, atau orang-orang yang sudah memesan paket ayam goreng spesial Natal sejak berminggu-minggu sebelumnya.

Selain ayam goreng, simbol Natal yang tak kalah penting di Jepang adalah Christmas Cake atau kue bolu stroberi (shortcake). Kue ini terdiri dari bolu spons yang ringan, dilapisi krim kocok putih, dan dihiasi stroberi merah segar di atasnya, yang secara simbolis menyerupai warna bendera nasional Jepang serta warna khas Natal.

Tradisi menyantap kue ini melambangkan kemakmuran ekonomi Jepang setelah masa perang, di mana bahan-bahan seperti gula, susu, dan stroberi dulunya merupakan barang mewah. Kini, berbagi kue stroberi telah menjadi ritual wajib yang dinikmati baik oleh keluarga maupun pasangan di seluruh penjuru Jepang saat Natal.

5. Fleksibilitas budaya dan agama di Jepang

ilustrasi Natal di Jepang
ilustrasi Natal di Jepang (unsplash.com/mos design)

Masyarakat Jepang dikenal memiliki pandangan yang sangat unik dan fleksibel terhadap agama, yang sering disebut sebagai sinkretisme. Sebagian besar orang Jepang menjalani ritual Shinto saat kelahiran, menikah dengan gaya Kristen (baju pengantin putih dan kapel), dan dimakamkan dengan cara Buddha, tanpa merasa ada pertentangan iman. Sikap terbuka inilah yang menjadi fondasi kenapa Natal dirayakan meriah di Jepang, meski warganya gak religius atau agnostik. Mereka memandang Natal bukan sebagai dogma agama, melainkan sebagai festival musiman (kisetsu no gyoji) yang menyenangkan untuk dirayakan bersama-sama.

Fakta ini membuat orang Jepang sangat antusias mengadopsi elemen-elemen festival asing yang dianggap menarik secara visual dan sosial, seperti Halloween dan Natal. Bagi kamu yang berkunjung ke sana, kamu akan merasakan bahwa Natal adalah omotenashi (keramahan) dan apresiasi terhadap keindahan musim dingin melalui iluminasi lampu yang spektakuler. 

Oh iya, karena gak adanya beban religius, mereka pun mereka bebas berkreasi menciptakan tradisi Natal versi mereka sendiri yang unik, selama fokus pada kebahagiaan, konsumerisme yang positif, dan kehangatan hubungan antarmanusia di tengah udara musim dingin.

Pada akhirnya, kenapa Natal dirayakan meriah di Jepang, meski warganya gak religius dijawab dengan pemahaman bahwa masyarakat setempat merayakannya sebagai bagian dari budaya pop, komersialisasi, dan gaya hidup modern. Bukan karena alasan keagamaan, melainkan karena masyarakatnya menikmati Natal sebagai momen yang romantis, dan menyenangkan. Unik banget, ya!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Izza Namira
EditorIzza Namira
Follow Us

Latest in Travel

See More

5 Destinasi Asyik untuk Bersepeda di Jepang, Pemandangannya Cantik!

26 Nov 2025, 18:29 WIBTravel