7 Alasan Banyak Orang Tetap Materialistis meski Gak Bikin Bahagia

Di zaman sekarang, gak bisa dimungkiri kalau gaya hidup konsumtif dan materialistis semakin merajalela. Banyak orang berlomba-lomba punya barang branded, gadget terbaru, atau rumah yang lebih besar dari tetangga. Padahal kalau dipikir-pikir, semua itu gak selalu bikin kamu bahagia dalam jangka panjang.
Mungkin kamu juga pernah merasa senang waktu beli barang impian, tapi perasaan itu cepat banget hilang. Lalu kamu mulai mencari hal baru lagi buat dibeli. Siklus ini terus berulang. Meski udah tahu kebahagiaan dari materi itu cuma sesaat, banyak orang tetap aja sulit melepaskan diri dari sikap materialistis. Kok bisa, ya?
Coba simak tujuh alasannya berikut ini. Siapa tahu kamu bisa lebih paham dan mulai mengubah cara pandang soal kebahagiaan.
1. Terjebak dalam sindrom "rumput tetangga lebih hijau"

Kamu mungkin pernah merasa hidupmu kurang oke gara-gara melihat orang lain yang kelihatannya lebih sukses. Mereka punya mobil mewah, rumah gede, dan selalu tampil fashionable. Padahal, belum tentu mereka benar-benar bahagia. Bisa jadi mereka sedang stres mikirin utang atau tagihan yang numpuk.
Sayangnya, otak kita cenderung menganggap apa yang gak kita miliki itu lebih baik. Inilah yang disebut sebagai sindrom “rumput tetangga lebih hijau”. Efek ini bikin kamu mudah merasa gak puas dan selalu ingin memiliki lebih banyak barang, meskipun sebenarnya gak terlalu butuh.
2. Barang lebih gampang dibeli daripada menerima kenyataan hidup

Beli barang itu praktis. Tinggal klik di e-commerce, barang langsung sampai. Bandingkan dengan usaha untuk menerima hidup apa adanya. Itu butuh waktu, refleksi diri, dan penerimaan yang gak instan. Makanya, banyak orang lebih milih mengejar materi karena kelihatan lebih “produktif”.
Tapi, lama-lama kamu jadi kayak terjebak dalam perlombaan tanpa garis finish. Selesai beli HP baru, muncul keinginan ganti laptop. Habis itu, tergoda renovasi kamar biar lebih estetik. Tanpa sadar, kamu terus merasa hidupmu belum lengkap tanpa barang A, B, atau C.
3. Naluri menimbun masih melekat

Menurut beberapa teori psikologi evolusioner, manusia punya naluri alami buat menimbun barang. Dulu, hal ini penting demi bertahan hidup. Orang zaman dulu biasa menyimpan makanan atau barang berharga untuk jaga-jaga kalau ada masa sulit. Tapi di zaman sekarang, naluri ini justru sering bikin kamu menumpuk barang-barang yang sebenarnya gak terlalu dibutuhkan.
Kebiasaan ini bikin kamu makin sulit merasa puas, karena kamu terus berpikir semua barang itu masih punya nilai. Padahal, banyak di antaranya cuma bikin sesak ruang dan bikin kamu susah move on. Jadi, kalau kamu masih suka mikir "sayang banget" buang barang lama, coba tanya ke diri sendiri: masih berguna gak, sih?
4. Dorongan untuk diterima bikin kamu ikut-ikutan tren

Kamu mungkin gak terlalu peduli sama tren fashion. Tapi begitu teman-teman kantor pada beli sepatu baru, kamu jadi kepikiran juga. Ini wajar, karena manusia pada dasarnya ingin diterima oleh kelompoknya.
Ketika orang-orang di sekitarmu punya barang tertentu, kamu bakal terdorong buat punya hal yang sama biar gak merasa “tertinggal”. Bahkan kadang kamu beli barang bukan karena butuh, tapi karena takut dikira gak gaul.
5. Pengaruh iklan dan media lebih besar dari yang kamu sadari

Iklan zaman sekarang pintar banget memainkan emosi. Gak cuma mempromosikan produknya, tapi juga memberi kesan seolah-olah kamu bakal lebih bahagia kalau punya barang itu. Bahkan sering kali, mereka sengaja bikin kamu merasa kurang atau gak cukup baik sebelum punya produknya.
Lama-lama, kamu jadi gampang merasa kurang puas sama diri sendiri. Semua karena terlalu sering lihat iklan atau konten viral yang nyuruh kamu beli ini-itu biar kelihatan lebih oke. Padahal, kebahagiaan sejati gak datang dari barang-barang baru doang.
6. Masyarakat memuja kepemilikan barang

Pernah dengar kalimat seperti, “Pantes dia bisa dapetin pasangan cakep, soalnya kaya”? Ini contoh gimana masyarakat sering menilai seseorang berdasarkan apa yang dia miliki, bukan siapa dirinya.
Gak heran kalau banyak orang akhirnya menjadikan kekayaan sebagai simbol kesuksesan. Semakin banyak barang mahal yang kamu punya, semakin tinggi juga status sosial kamu di mata orang lain. Tapi di balik itu, kamu bisa aja merasa kosong dan gak tahu apa tujuan hidupmu sebenarnya.
7. Butuh pengakuan dan rasa dihargai

Manusia secara alami butuh cinta, perhatian, dan validasi dari orang lain. Tapi ketika kamu gak mendapat itu secara emosional, kamu bisa aja ganti dengan mencari pengakuan lewat barang-barang mewah.
Kamu berharap orang lain melihatmu sebagai orang sukses karena punya mobil baru atau tas branded. Tapi sayangnya, pengakuan seperti itu sering kali dangkal dan gak bertahan lama. Begitu kamu terbiasa, kamu butuh barang yang lebih mahal lagi buat dapat validasi serupa.
Materialisme memang bisa memberikan rasa puas, tapi hanya sementara. Barang-barang yang kamu beli mungkin bikin kamu senang sesaat, tapi jarang memberi kebahagiaan jangka panjang. Justru, semakin kamu bergantung pada materi untuk merasa cukup, semakin rentan kamu merasa kosong saat hal itu hilang.
Daripada terus-menerus mengejar hal yang gak pernah cukup, mungkin sekarang saatnya belajar menikmati hal-hal sederhana. Waktu bareng orang terdekat, pengalaman baru, atau sekadar duduk santai tanpa beban bisa jadi sumber kebahagiaan yang lebih tulus.
Gak ada yang salah dengan punya barang bagus. Tapi pastikan itu bukan jadi satu-satunya sumber kebahagiaanmu, ya.