Anak Buah Sri Mulyani Sebut Kenaikan PPN Gak Terjadi Tiba-Tiba

- Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen mulai Januari 2025 telah diputuskan setelah kajian ilmiah dan penetapan dalam Undang-Undang HPP 3 tahun lalu.
- Penyesuaian tarif PPN sebelumnya pernah dilakukan dari 10% menjadi 11% pada April 2022, dan akan naik lagi menjadi 12% pada 2025, menuai kontroversi di masyarakat.
Jakarta, IDN Times - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) menegaskan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai Januari 2025 bukan suatu hal yang tiba-tiba.
Pemerintah banyak melakukan kajian ilmiah sebelum memutuskan untuk menaikkan tarif PPN dari 11 persen ke 12 persen.
"Kenaikan PPN ini yang sebesar 1 persen ini gak tiba-tiba gitu. Ini bukan kebijakan yang datang terus kemudian kita naikkan, tidak. Ini adalah kebijakan yang memang sudah didahului dengan kajian ilmiah, sudah dibahas secara komprehensif, dan bahkan penetapannya pun itu sudah lama, pada saat disahkannya Undang-Undang HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan) 3 tahun yang lalu," tutur Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, dikutip dari YouTube DJP, Selasa (26/11/2024).
1. Pro-kontra di kalangan masyarakat suatu hal bagus

Dwi menjelaskan, penyesuaian tarif PPN ini sebelumnya pernah dilakukan dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022. Pemerintah akan menaikkan lagi tarif PPN sebesar 1 persen menjadi 12 persen pada 2025.
Tak heran jika kemudian kebijakan tersebut menuai kontroversi di kalangan masyarakat. Terkait hal tersebut, Dwi menyebutkan bahwa pro kontra yang ada merupakan suatu hal baik dalam kehidupan bernegara.
"Kalau ada pro dan kontra tentunya ini bagus juga dalam kehidupan bernegara sebagai sebuah kontrol sosial, tapi tentunya tugas kami menjelaskan kepada masyarakat apa sebetulnya kenaikan PPN ini," kata Dwi.
2. Masyarakat diminta jangan hanya lihat kenaikan tarifnya

Dwi pun meminta masyarakat untuk tidak hanya melihat besaran kenaikan tarif PPN dalam penyesuaian terbaru ini. Pemerintah, kata Dwi, telah meluncurkan banyak program untuk memperkuat daya beli masyarakat sebelum kenaikan PPN 1 persen atau tepatnya ketika UU HPP ditetapkan.
Dwi pun mencontohkan adanya perluasan nominal penghasilan yang dikenakan tarif pajak terendah lima persen dari sebelumya Rp50 juta menjadi Rp60 juta. Lalu ada pula Wajib Pajak UMKM dengan omzet Rp500 juta tidak dikenakan pajak alias tarif 0 persen.
"Kemudian yang omzetnya Rp500 juta sampai dengan Rp4,8 miliar itu juga bayar pajaknya hanya 0,5 persen saja. Ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat daya beli," ujar dia.
3. Tidak semua dikenakan PPN

Dwi lantas menjelaskan, tidak semua hal dikenakan tarif PPN. Hal itu menurut dia perlu terus diulang-ulang agar masyarakat semakin paham dan mengetahui hal apa saja yang bebas pajak.
Barang-barang yang merupakan kebutuhan pokok seperti daging, sayur-sayuran, buah-buahan, telur, susu, jagung, gabah, beras, telur adalah sebagian dari barang-barang kebutuhan pokok yang tidak dikenakan PPN.
"Bagaimana kalau jasa? Jasa pendidikan, jasa kesehatan masa ke dokter harus bayar pajak? Tidak. Jadi jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa asuransi, jasa transportasi umum, dan ada lagi ya beberapa jasa lainnya itu adalah jenis-jenis jasa yang juga tidak dikenakan PPN," tutur Dwi.
"Artinya dalam hal ini pemerintah juga memikirkan bahwa diperkuat daya belinya dulu, kemudian jenis-jenis barangnya juga tidak semua dikenakan. Jadi artinya seperti yang juga selama ini disampaikan bahwa kenaikan ini atau penyesuaian tarif ini pasti didahului oleh sebuah kajian yang mendalam dan kemudian juga didahului dengan program-program atau inisiatif-inisiatif pemerintah yang tadi memperkuat daya beli masyarakat," sambung dia.