Belanja Pemerintah Seret, Target Ekonomi Terancam Meleset

- Peran fiskal sebagai motor pertumbuhan ekonomi belum optimal, defisit APBN baru 48,6 persen dari outlook. Belanja negara hingga Agustus hanya mencapai 54,1 persen dari pagu APBN.
- Pertumbuhan ekonomi kuartal III dan IV harus capai 5 persen, namun belanja tersendat mengancam target. Penerimaan negara juga lebih rendah dibanding tahun lalu.
- Menkeu Purbaya akan sambangi Kementerian/Lembaga lambat salurkan anggaran. Investor wait and see pantau kebijakan pemerintah. Stimulus ekonomi di kuartal IV berpotensi mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Jakarta, IDN Times – Mesin ekonomi Indonesia masih belum bekerja maksimal. Serapan belanja negara hingga akhir Agustus 2025, tercatat Rp1.960,3 triliun. Realisasi itu baru setengahnya atau tepatnya 54,1 persen dari pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun ini yang mencapai Rp3.621,3 triliun.
Ini artinya, nyaris separuh anggaran masih tertahan dan belum sepenuhnya mengalir ke masyarakat maupun dunia usaha. Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengkritisi soal serapan belanja negara tersebut.
Menurutnya, lambatnya penyerapan belanja pemerintah menghambat banyak program besar untuk memberikan dampak nyata ke masyarakat.
“Realisasi belanja yang seret membuat banyak program besar belum menetes ke masyarakat luas,” ujarnya kepada IDN Times, Jumat (27/9/2025).
1. Peran fiskal sebagai motor pertumbuhan ekonomi belum berjalan optimal

Yusuf menjelaskan, kondisi ini membuat peran fiskal sebagai motor pertumbuhan belum berjalan optimal. Padahal, defisit APBN per Agustus sudah menembus Rp321,6 triliun atau 1,35 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Laju defisit ini baru 48,6 persen dari outlook defisit 2025 sebesar Rp662 triliun atau 2,78 persen terhadap PDB.
“Transmisi fiskal ke konsumsi dan investasi domestik masih lemah, sehingga ekonomi belum menunjukkan akselerasi yang diharapkan,” ujarnya
Secara rinci, belanja negara hingga Agustus terdiri dari belanja pemerintah pusat (BPP) Rp1.388,8 triliun dan transfer ke daerah (TKD) Rp571,5 triliun. Di BPP, realisasi belanja Kementerian/Lembaga tercatat Rp686,0 triliun atau 59,1 persen dari pagu APBN, yang digunakan untuk penyaluran bantuan sosial berupa PBI JKN untuk 96,7 juta peserta, PKH untuk 10 juta KPM, kartu sembako untuk 18,3 juta KPM, PIP untuk 11,3 juta siswa, dan KIP Kuliah untuk 895,9 ribu mahasiswa melalui validasi Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional serta pelaksanaan program prioritas pemerintah.
Selain itu, realisasi belanja non-K/L sebesar Rp702,8 triliun atau 45,6 persen dari pagu APBN, antara lain untuk pembayaran manfaat pensiun dan subsidi tepat waktu agar masyarakat menikmati barang dengan harga bersubsidi. Ada peningkatan realisasi subsidi untuk BBM, LPG, listrik, dan pupuk dibandingkan 2024. BBM 3,5 persen lebih tinggi realisasinya, LPG 3 kg 3,6 persen lebih tinggi, listrik bersubsidi sekitar 3,8 persen lebih tinggi, dan pupuk 12,1 persen juta tonnya lebih tinggi.
Sedangkan realisasi TKD Rp571,5 triliun atau 62,1 persen dari pagu APBN. Realisasi ini lebih tinggi dari periode yang sama 2024 karena adanya perbaikan penyampaian dan pemenuhan syarat salur oleh pemerintah daerah. Belanja daerah terkontraksi 14,1 persen seiring pergantian kepemimpinan dan kebijakan efisiensi.
Sementara meski nilai serapan belanja negara per Agustus besar, namun belum cukup cepat untuk mendorong pertumbuhan. Di sisi lain, penerimaan negara hanya mencapai Rp1.638,7 triliun, lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu. Kendati keseimbangan primer masih surplus Rp22 triliun, ruang pemerintah untuk menjaga stabilitas fiskal tetap terbatas.
2. Pertumbuhan ekonomi kuartal III dan IV harus capai 5 persen

Dengan pola belanja yang tersendat, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen pada akhir 2025 terancam meleset. Yusuf pun memperkirakan ekonomi hanya akan bergerak kurang dari 5 persen.
“Tanpa percepatan belanja modal dan stimulus konsumsi, target 5 persen sulit tercapai,” katanya.
Namun, Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa sempat mengatakan, belanja negara harus dipercepat. “Harusnya sampai akhir tahun masih ada indikasi belanja pemerintah perlu dipercepat agar keseimbangan primer sesuai desain anggaran 2025,” ujar Purbaya dalam Konferensi Pers APBN KiTa, Senin (22/9).
Sementara itu, data menunjukkan, pertumbuhan ekonomi kuartal I-2025 sebesar 4,87 persen (year on year/yoy) dan kuartal II-2025 meningkat menjadi 5,12 persen. Untuk mencapai target tahunan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III dan IV tahun ini harus minimal 5 persen. Jika belanja negara kembali tertahan, risiko pencapaian target kian berat.
Purbaya sebelumnya optimistis ekonomi Indonesia bisa tumbuh mendekati target awal 5,2 persen pda akhir tahun ini. Untuk kuartal IV-2025, dia memperkirakan, ekonomi Indonesia akan tumbuh di atas 5,5 persen secara tahunan.
"Saya pikir triwulan III (2025) lebih lambat tapi triwulan IV, saya yakin akan lebih cepat dibanding triwulan-triwulan sebelumnya. Saya yakin di atas 5,5 persen triwulan IV ya," kata dia, Senin (29/9).
3. Sambangi Kementerian dan Lembaga yang realisasi belanjanya lambat

Demi mengejar target akhir tahun, Purbaya menegaskan bakal mengambil langkah tegas. Ia siap mendatangi langsung kementerian/lembaga (K/L) yang lambat menyalurkan anggaran.
“Kalau masih terkendala urusan surat-menyurat, kami akan kirim orang dari Kemenkeu untuk membantu. Kalau tetap lambat, saya sendiri yang akan datang dan rapat langsung dengan mereka,” ujarnya, Kamis (11/9).
Menurut Purbaya, masalah serapan bukan hanya teknis, tetapi juga terkait adaptasi, terutama di kementerian baru. Karena itu, Kemenkeu akan memberi pendampingan penuh.
“Pada akhirnya, masyarakat yang akan mempertanyakan hasil dari penggunaan APBN,” ujarnya.
4. Investor wait and see pantau kebijakan pemerintah

Sementara itu, analis kebijakan ekonomi dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Ajib Hamdani menilai, perlambatan ekonomi pada tahun pertama pemerintahan baru merupakan fenomena wajar. Menurutnya, secara siklus lima tahunan, investor cenderung mengambil sikap wait and see sehingga arus investasi melambat.
“Secara siklikal, setiap lima tahunan ekonomi memang akan mengalami perlambatan karena investor memilih wait and see. Fase ini biasanya berlangsung pada tahun pertama setelah pergantian pemerintahan,” ucap Ajib kepada IDN Times.
Meski demikian, Ajib optimistis fase tersebut tidak berlangsung lama. Begitu stabilitas sosial, politik, dan ekonomi kembali terjaga, laju pertumbuhan diperkirakan akan terdorong lebih kuat.
Ajib menambahkan, stimulus ekonomi yang dikeluarkan pemerintah pada sisa tiga bulan terakhir 2025 berpotensi menjadi penopang daya beli masyarakat. Hal ini penting untuk menjaga momentum pertumbuhan di tengah tekanan ekonomi global.
“Gelontoran stimulus ekonomi pada kuartal IV akan sangat menentukan. Dengan adanya dorongan tersebut, harapannya pertumbuhan ekonomi bisa mencapai level 5 persen di akhir tahun,” katanya.
Selain stimulus, program bantuan sosial (bansos) juga diyakini mampu memberi dorongan jangka pendek terhadap konsumsi masyarakat. “Bansos akan mendongkrak daya beli dalam jangka pendek. Kalau tren pertumbuhan tetap terjaga, secara agregat di akhir 2025 pertumbuhan ekonomi masih bisa di atas 5 persen,” tambahnya.