BI Diprediksi Tahan Suku Bunga di 6,25 Persen, Ini Alasannya

- BI umumkan hasil RDG Juli 2024 hari ini
- LPEM FEB UI: BI perlu tetapkan suku bunga di 6,25% untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan tingkat harga domestik
Jakarta, IDN Times - Bank Indonesia (BI) bakal mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Juli 2024 hari ini. Salah satu pengumumannya berkaitan dengan suku bunga BI atau BI rate yang saat ini di level 6,25 persen.
Berkaitan hal tersebut, peneliti Makroekonomi dan Pasar Keuangan di LPEM FEB UI, Teuku Riefky menilai BI tidak perlu menaikkan suku bunganya saat ini.
"Kami berpandangan BI perlu menahan suku bunga acuannya di 6,25 persen untuk bulan ini," kata Riefky dalam laporannya, dikutip Rabu (17/7/2024).
1. Stabilitas kurs rupiah perlu dijaga

Dalam laporan tersebut, LPEM FEB UI menyatakan bahwa Indonesia memasuki paruh kedua 2024 dengan kondisi inflasi dan eksternal yang relatif baik. Adapun dari aspek inflasi, Indonesia telah melewati tekanan besar pada tingkat harga yang diakibatkan oleh beberapa faktor musiman dan kemunculan El Nino.
Namun, beberapa lembaga iklim memproyeksi kemungkinan terjadinya La Nina pada kuartal III-2024. Hal tersebut dapat mengganggu produksi pertanian, sehingga berpotensi memicu tekanan harga pangan.
"Oleh sebab itu, BI perlu tetap waspada dalam merumuskan bauran kebijakannya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan tingkat harga domestik," kata Riefky.
2. Inflasi disebut bukan jadi isu mendesak bulan ini

Riefky menambahkan, inflasi pada saat ini cenderung bukan menjadi isu mendesak. Sebagai informasi, inflasi pada Juni 2024 secara tahunan atau year on year (yoy) tercatat pada level 2,51 persen.
"Untuk saat ini, inflasi cenderung bukanlah isu yang mendesak dan perbedaan tingkat suku bunga masih cenderung atraktif untuk menarik modal masuk dan menjaga stabilitas rupiah," kata dia.
3. BI diperkirakan tahan suku bunga

Senada, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede memperkirakan BI akan mempertahankan suku bunganya pada level 6,25 persen. Hal itu dilakukan dengan mempertimbangkan ketidakpastian global dan domestik yang sedang berlangsung meskipun indikator-indikator ekonomi Amerika Serikat (AS) menunjukkan pelemahan.
"Di dalam negeri, tingkat inflasi Indonesia cenderung terkendali karena peningkatan pasokan pangan setelah musim panen rata. Neraca perdagangan terus mencatat surplus, meskipun menyempit, sehingga mendorong berlanjutnya defisit transaksi berjalan (CAD) walau masih dalam level terkendali," tutur Josua.