5 Syarat Sebelum Redenominasi Mata Uang, Indonesia Punya Berapa?

- Kehati-hatian fiskal penting sebelum redenominasi mata uang
- Independensi bank sentral harus dipastikan sebelum redenominasi
- Pengelolaan ekspektasi inflasi dan stabilitas politik juga krusial sebelum redenominasi
Jakarta, IDN Times - Isu redenominasi rupiah kembali berembus untuk kesekian kalinya. Hal itu terjadi setelah Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengusulkan empat Rancangan Undang-Undang (RUU) untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah periode 2025–2029.
Pengusulan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 tentang Rencana Strategis Kementerian Keuangan Tahun 2025-2029.
Dokumen itu ditandatangani oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa. Salah satu dari empat RUU yang diusulkan adalah rancangan regulasi mengenai perubahan harga rupiah, atau yang lebih dikenal sebagai redenominasi.
"Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi)," demikian dikutip IDN Times dari PMK 70/2025 pada Jumat (7/11/2025).
Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi didefinisikan sebagai penyederhanaan nilai mata uang rupiah tanpa mengubah nilai mata uangnya.
Singkatnya, kebijakan ini akan menghilangkan digit nol pada rupiah. Misalnya, uang pecahan Rp1.000 menjadi Rp1 dan seterusnya.
Redenominasi bertujuan untuk menyederhanakan jumlah digit pada pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai rupiah terhadap harga barang dan/atau jasa.
Lantas, apa saja syarat yang dibutuhkan untuk melakukan redenominasi? Berikut ulasannya seperti dikutip dari orfonline.org, Kamis (13/11/2025).
1. Kehati-hatian fiskal

Kehati-hatian fiskal atau fiscal prudence merupakan syarat pertama yang tidak dapat dinegosiasikan sebelum sebuah negara melakukan redenominasi mata uangnya.
Sebelum melakukan redenominasi, negara harus mengelola pendapatan dan pengeluarannya secara kredibel. Hiperinflasi bisa menjadi fenomena fiskal utama imbas pengeluaran pemerintah yang berlebihan dan pencetakan uang berikutnya guna membiayai pengeluaran tersebut.
Sebagai contoh, sebelum menghilangkan enam angka nol dari lira pada 1 Januari 2005, Turki telah mendorong inflasi ke angka satu digit di bawah program stabilisasi dan konsolidasi fiskal, didukung oleh Dana Moneter Internasional (IMF) yang menjadi dasar rencana redenominasi.
Sebaliknya, Zimbabwe menghilangkan angka nol beberapa kali, tetapi dominasi fiskal tetap ada dan hiperinflasi kembali hingga mata uang lokal ditinggalkan.
Penelitian menunjukkan, negara-negara yang menerapkan redenominasi dalam kerangka ekonomi makro yang kredibel mengalami penurunan signifikan dalam estimasi inflasi dan peningkatan dalam estimasi PDB riil per kapita.
2. Independensi bank sentral

Syarat kedua yang harus dipenuhi sebuah negara sebelum melakukan redenominasi adalah memastikan independensi bank sentral.
Otoritas moneter harus otonom dan bebas dari campur tangan politik. Redenominasi berbagai mata uang di Argentina berulang kali berbenturan dengan tekanan fiskal dan siklus politik, yang melemahkan kredibilitasnya.
Contoh penting dari masalah ini adalah pada 2001, ketika gubernur bank sentral Argentina diganti karena alasan politik justru melemahkan independensi bank sentral.
3. Pengelolaan ekspektasi inflasi

Syarat ketiga, pemerintah harus mampu mengelola ekspektasi inflasi publik. Tak dapat dimungkiri, redenominasi mata uang memiliki komponen psikologikal yang penting, terutama di kalangan rakyat.
Dzokoto dkk. dalam penelitian mereka di Ghana menemukan, perubahan mata uang dari 'Cedi Baru' menjadi 'Cedi Ghana' memengaruhi persepsi publik, dengan adanya laporan bahwa mata uang baru terasa lebih aman dan lebih mudah digunakan.
Oleh karena itu, dampak psikologis penggunaan mata uang ini harus dipertimbangkan saat merancang rencana redenominasi.
Adapun kebanyakan redenominasi yang gagal disebabkan karena negara mengabaikan komponen psikologis tersebut.
4. Stabilitas politik

Syarat keempat, pemerintahan harus cukup stabil untuk menghadapi dampak redenominasi jangka pendek yang mungkin menyakitkan demi dampak jangka panjang lebih baik.
Kredibilitas terhadap kebijakan redenominasi bisa hancur seketiga akibat pembalikan kebijakan dan pertikaian politik. Segala tanda yang mengarah pada goyahnya komitmen pemerintah terhadap pengendalian fiskal mampu menyebabkan publik kehilangan kepercayaan terhadap mata uang baru.
Pada 2005, redenominasi di Turki didukung oleh bauran kebijakan yang stabil dan bertahan selama beberapa tahun, memperkuat kepercayaan publik dan investor terhadap mata uang baru tersebut.
Di Argentina, redenominasi mata uang tidak berhasil mengendalikan inflasi di tengah ketidakstabilan politik. Dengan pengunduran diri dua Menteri Ekonomi pada 2001 dan melemahnya koalisi pemerintahan, upaya stabilisasi pun terdampak.
Temuan ini juga direplikasi dalam studi lain, yang mengungkapkan bahwa dampak positif redenominasi terhadap inflasi dan PDB riil per kapita signifikan secara statistik di negara-negara dengan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan yang lebih tinggi.
5. Punya posisi eksternal yang kuat

Syarat terakhir, sebuah negara membutuhkan posisi eksternal yang kuat, arus masuk valuta asing yang stabil, dan utang luar negeri terkendali karena redenominasi sangat rapuh selama adanya tekanan neraca pembayaran.
Venezuela mengonversi kembali bolívar beberapa kali pada 2008, 2018, dan 2021, tetapi inflasi tetap tinggi karena cadangan devisa terkikis dan dolarisasi meningkat.
Keberhasilan redenominasi seringkali menggabungkan jangkar eksternal, seperti program IMF dan akses pasar, untuk memperkuat cadangan dan kredibilitas. Ketika cadangan devisa menipis dan kapasitas lindung nilai valuta asing terbatas, mata uang baru lebih rentan terhadap tekanan spekulatif.

















