Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Data Kemiskinan BPS Sudah Tak Relevan dengan Kondisi Terkini

Freepik
Freepik
Intinya sih...
  • Indonesia urutan keempat dengan penduduk miskin terbanyak
  • Data kemiskinan versi BPS berbeda jauh dengan World Bank

Jakarta, IDN Times – Center of Economic and Law Studies (Celios) mengkritisi data tingkat kemiskinan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), karena dinilai sangat berbeda dengan angka yang dipublikasikan oleh Bank Dunia (World Bank).

Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar menyampaikan kegelisahan sejumlah ekonom terhadap perbedaan signifikan antara data kemiskinan versi pemerintah dan versi Bank Dunia (World Bank).

Mengacu pada data Bank Dunia, sebanyak 60,3 persen atau sekitar 172 juta penduduk Indonesia dikategorikan miskin, yang berarti enam dari sepuluh orang berada dalam kondisi kemiskinan. Sementara itu, data BPS menunjukkan angka kemiskinan hanya sebesar 8 persen atau sekitar 24 juta orang, yang berarti kurang dari satu dari 10 penduduk Indonesia tergolong miskin.

“Kami melakukan studi analisis. Definisi dan metodologi pengukuran kemiskinan harus diubah karena kegagalan dalam mendefinisikan kemiskinan juga berdampak pada terhambatnya upaya pengurangan angka kemiskinan,” ujar Media dalam diskusi virtual bertajuk Sebenarnya Ada Berapa Juta Orang Miskin dan Menganggur di Indonesia,? yang diselenggarakan Celios, Rabu (27/5/2025).

1. Metodologi pengukuran kemiskinan sudah tidak relevan

Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti. (Dok/Istimewa).
Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti. (Dok/Istimewa).

Media mendorong BPS untuk memperbarui metodologi pengukuran kemiskinan karena metode yang digunakan sudah berusia hampir setengah abad atau tidak berubah signifikan sejak 1976.

“Metodologi kemiskinan yang digunakan BPS sudah hampir 50 tahun. Selama kurun waktu itu, praktis tidak ada perubahan besar, padahal banyak negara lain secara berkala melakukan peninjauan ulang berdasarkan dinamika pembangunan, percepatan program pengentasan kemiskinan, serta upaya mewujudkan keadilan sosial,” tuturnya.

2. Pendekatan BPS ukur kemiskinan masih pakai basis pengeluaran

ilustrasi sedang mencatat pendapatan (unsplash.com/Jakub Żerdzicki)
ilustrasi sedang mencatat pendapatan (unsplash.com/Jakub Żerdzicki)

Ia menyoroti, pendekatan BPS dalam mengukur kemiskinan masih menggunakan basis pengeluaran, bukan pendapatan. Padahal, menurutnya, keduanya merupakan pendekatan yang sangat berbeda.

“Saya memahami BPS punya alasan, yakni bahwa masyarakat enggan mengungkapkan pendapatannya sehingga data menjadi bias. Tapi pendekatan pengeluaran yang masih relevan di tahun 1970-an, sudah tidak memadai lagi digunakan hari ini,” ungkap Media.

3. Banyak kondisi nyata di masyarakat tidak tercatat BPS

Ilustrasi bisnis rumahan (IDN Times/Aditya Pratama)
Ilustrasi bisnis rumahan (IDN Times/Aditya Pratama)

Pendekatan BPS dalam mengukur kemiskinan hanya menghitung jumlah pengeluaran tanpa memperhatikan sumber dana dari pengeluaran tersebut. Akibatnya, banyak kondisi nyata di masyarakat yang tidak tercatat.

“Pengeluaran yang tinggi belum tentu mencerminkan kemampuan finansial yang sebenarnya. Ini adalah gambaran sederhana tentang bagaimana data kemiskinan kita saat ini bias dan tidak merepresentasikan kenyataan di lapangan,” ujarnya.

Tak hanya itu, kondisi ekonomi kelas menengah juga sering menghadapi tantangan berat, seperti kewajiban membayar cicilan rumah atau Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Cicilan ini dapat menyedot antara 10 hingga 50 persen dari total pengeluaran bulanan mereka.

“Masalahnya, hal ini sering kali tidak tercatat dalam data BPS karena yang dihitung hanya pengeluaran total. Bahkan, jika pendapatan dikurangi seluruh pengeluaran, hasilnya bisa minus tidak ada sisa sama sekali. Artinya, mereka sebenarnya termasuk dalam kategori masyarakat rentan atau bahkan miskin,” ujarnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Jujuk Ernawati
EditorJujuk Ernawati
Follow Us