Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ekonom Ungkap Dampak Bahaya Jika Cukai Rokok Terus Naik

ilustrasi rokok (IDN Times/Aditya Pratama)

Jakarta, IDN Times - Ekonom dari Universitas Brawijaya Malang, Chandra Fajri Ananda, mendukung keputusan pemerintah yang tidak akan menaikkan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 2025. Menurut dia, langkah pemerintah tersebut bisa jadi cara untuk memberikan ruang lebih bagi industri tembakau, untuk berkontribusi pada penerimaan cukai dan penyerapan tenaga kerja.

Di sisi lain, Chandra menyoroti kenaikan cukai rokok dalam beberapa tahun terakhir yang mencapai dua digit. Hal itu dianggapnya berlebihan dan berdampak negatif terhadap pertumbuhan penerimaan negara dari CHT.

"Dengan pendekatan Kurva Laffer, kenaikan cukai sudah melebihi ambang batas. Dengan kata lain, jika tarif cukai terus mengalami kenaikan, maka penerimaan negara dari cukai justru mengalami penurunan," ujar dia dalam keterangan tertulis, Kamis (3/10/2024).

Selain itu, Chandra juga menilai kebijakan cukai rokok yang terlampau tinggi juga berpotensi mengurangi penyerapan tenaga kerja di industri tembakau, termasuk pada rantai pasok dan distribusi.

1. Potensi kenaikan cukai secara drastis pada 2026

ilustrasi rokok (IDN Times/Arief Rahmat)

Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya tersebut juga menyebut terkait adanya potensi kenaikan cukai rokok yang drastis pada 2026, sebagai imbas tidak adanya kenaikan cukai rokok pada 2025.

“Kenaikan tarif cukai (hasil tembakau) di masa depan tentu harus mempertimbangkan variabel-variabel lain, tidak hanya dari sisi kesehatan saja. Variabel lain tersebut antara lain daya beli, pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pendapatan per kapita masyarakat,” ujar Chandra.

Chandra juga menggarisbawahi pentingnya percepatan pengesahan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), sebagai dasar pelaksanaan keputusan pemerintah yang sudah disepakati dalam UU APBN 2025 mengenai tidak adanya kenaikan CHT.

“PMK diharapkan dapat diterbitkan (segera) untuk untuk dasar pelaksanaan dan kepastian berusaha," katanya.

2. Kenaikan cukai rokok tidak efektif mengendalikan konsumsi rokok

Razia rokok ilegal di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (IDN Times/Hakim Baihaqi)

Sementara, Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah, turut menanggapi upaya pemerintah tidak menaikkan CHT pada 2025. Menurutnya, kebijakan kenaikan cukai secara eksesif itu tidak efektif dalam mengendalikan konsumsi rokok. 

"Karena yang terjadi adalah ketika pemerintah menaikkan cukai rokok, maka harga rokok jadi mahal, tetapi, jika pemerintah tidak melakukan langkah-langkah lainnya, maka masyarakat akan melakukan downtrading, mereka membeli rokok yang lebih murah atau rokok ilegal yang dalam tanda kutip tidak bercukai," jelasnya.

Oleh karena itu, Piter mengingatkan pemerintah bahwa kebijakan kenaikan cukai yang tidak disertai dengan pengawasan dan pengendalian yang bersifat edukatif, dapat semakin mendorong peralihan konsumsi ke rokok ilegal secara lebih cepat. Pemerintah pun disarankan untuk merumuskan kebijakan evaluasi yang lebih menyeluruh.

3. Sorotan terhadap kebijakan kemasan rokok polos

ilustrasi rokok (IDN Times/Aditya Pratama)

Bukan hanya soal cukai rokok, Chandra juga menyoroti adanya rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes). Menurut dia, kebijakan itu bisa berdampak negatif bagi industri rokok legal dan sektor terkait lainnya.

"Kemasan (rokok polos) tanpa merek dapat mengurangi daya saing produk dan menghilangkan identitas visual," kata dia.

Lebih lanjut, Chandra menambahkan, tanpa identitas merek yang jelas, konsumen akan lebih sulit membedakan antara produk legal dan ilegal. Hal itu kemudian dapat merugikan produsen resmi serta mengancam penerimaan negara.

"Kebijakan tersebut juga dapat berdampak pada industri terkait lainnya, seperti industri kemasan, percetakan, dan logistik, yang juga akan terkena dampaknya. Mereka akan kehilangan permintaan dari industri rokok, yang berujung pada menurunnya pendapatan dan potensi pemutusan hubungan kerja (PHK),” tutur Chandra.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us