Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Insentif Mobil Listrik CBU, Bikin Untung atau Rugi?

Proses pengisian daya Mobil Listrik di SPKLU PLN Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan Parepare (Dok. Istimewa)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah bertekad mempercepat peningkatan ekosistem kendaraan listrik berbasis baterai atau electric vehicle/EV.  Komitmen ini pun sudah dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2023. 

Dalam aturan ini, pemerintah menawarkan sejumlah insentif pajak bagi produsen EV yang berkomitmen untuk mendirikan pabrik manufaktur di Indonesia. Insentif ini termasuk penyesuaian batas waktu untuk Tingkat Konten Lokal (TKDN) hingga 80 persen pada 2030. 

Sementara itu, EV yang diimpor secara utuh (CBU) juga mendapatkan pembebasan pajak, dengan harapan dapat menarik pemain global ke pasar Indonesia.

Lantas, apakah kebijakan ini akan memberikan manfaat jangka panjang, atau justru menimbulkan kerugian di kemudian hari?

1. Investasi di sektor EV beri dampak signifikan ke pertumbuhan ekonomi

Penggunaan SPKLU PLN EYE tipe pole mounted charging di kantor PLN di Jalan KS Tubun, Jakarta Barat yang sudah beroperasi dan siap melayani pengguna electric vehicle (dok. PLN)

Direktur Utama Indonesia Battery Corporation, Toto Nugroho menyampaikan investasi berkelanjutan di sektor electric vehicle/EV, seperti pembangunan pabrik perakitan dan baterai bisa memberikan dampak signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia. 

"Investasi ini tidak hanya meningkatkan penerimaan pajak, tetapi juga memperkuat kemandirian energi nasional melalui pemanfaatan sumber daya nikel untuk baterai EV," tegas Toto dalam keterangannya, Jumat (26/1/2024). 

2. Demand baterai EV Indonesia hingga 2030 diperkirakan capai 60 GWh

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi. (IDN Times/Aditya Pratama)

Menariknya, aturan Perpres No. 79 2023, membuka kesempatan untuk untuk perusahaan lokal dengan para produsen otomotif bersinergi dan berkolaborasi untuk menciptakan ekosistem kendaraan listrik.

“Proyeksi demand baterai EV di Indonesia di 2030 diperkirakan mencapai hampir 60 GWh. Ini terdiri dari demand untuk roda 4 dan roda 2 EV. Dan juga salah satu yang sangat penting, ESS. Jadi ini adalah Energy Storage System,” ujar Toto

3. Kebijakan insentif EV harus seimbang dan berkelanjutan

Ilustrasi insentif. (IDN Times/Aditya Pratama)

Kebijakan insentif EV yang seimbang dan berkelanjutan adalah kunci untuk memastikan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi pasar bagi produk impor, tetapi juga pemain utama dalam revolusi industri EV global. 

Melalui pendekatan yang tepat, Indonesia dapat menghindari jebakan ketergantungan impor dan membangun fondasi yang kuat bagi ekosistem EV yang mandiri dan berkelanjutan.

Perlu diketahui, kebijakan pemerintah  dapat mendorong pertumbuhan pasar EV dalam jangka pendek, namun terdapat risiko bahwa ketergantungan pada mobil listrik impor (CBU) akan mengurangi daya saing industri lokal. 

Apalagi Thailand telah menjadi contoh nyata dari skenario ini, di mana pasar EV didominasi oleh kendaraan impor, mengurangi inisiatif untuk mengembangkan ekosistem EV domestik yang lebih mandiri.

Adapun serangkaian insentif yang menggiurkan bagi para investor EV, termasuk pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN), penghapusan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk kendaraan listrik domestik, dan bea masuk nol persen bagi kendaraan dalam kondisi terurai baik sebagian (IKD) maupun penuh (CKD). Regulasi ini bertujuan untuk meningkatkan daya tarik investasi dan percepatan adopsi EV di Indonesia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us