Kemenkeu Bakal Pungut Bea Keluar Emas hingga 15 Persen pada 2026

- Tarif bea keluar emas progresif, mengikuti harga dunia
- Optimalkan windfall profit dari kenaikan harga emas
- Susun Permendag dan harga patokan emas untuk implementasi tahun depan
Jakarta, IDN Times - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah merancang Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait pengenaan tarif bea keluar sebesar 7,5–15 persen untuk sejumlah jenis komoditas emas, seperti dore, granules, emas termasuk ingot atau cast bar, serta minted bar.
Kebijakan ini menjadi bagian dari strategi pemerintah dalam memperkuat hilirisasi serta mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor pertambangan emas.
1. Tarif bea keluar bersifat progresif

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal (SEF) Kemenkeu, Febrio Kacaribu menjelaskan, tarif bea keluar tersebut bersifat dinamis dan mengikuti pergerakan harga emas dunia atau Harga Mineral Acuan (HMA). Dengan mekanisme progresif ini, pemerintah berharap dapat menangkap potensi windfall ketika harga emas berada pada level yang tinggi.
“Dalam RPMK (Rancangan Peraturan Menteri Keuangan) yang akan ditetapkan Untuk memberikan konteks, apabila terjadi windfall ketika harga emas tinggi, maka tarif yang dikenakan juga akan lebih tinggi. Jadi, kolom tarif pertama berlaku ketika harga berada di bawah 3.200 dolar Amerika Serikat (AS) per troy ounce. Dalam kondisi itu, dore boleh diekspor dan kami terapkan tarifnya,” tutur Febrio dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Senin (17/11/2025).
Sementara itu, komoditas granules akan dikenakan tarif lebih tinggi dibandingkan komoditas yang sudah melalui lebih banyak proses pemurnian, seperti ingot. Sebaliknya, tarif bea keluar menjadi lebih rendah apabila emas telah berbentuk cast bar, dan menjadi yang paling rendah apabila telah diolah menjadi minted bar.
2. Optimalkan windfall profit dari kenaikan harga emas

Struktur tarif bertingkat ini menunjukkan keberpihakan pemerintah pada sektor hilir dan penguatan industri pengolahan emas di dalam negeri.
"Hilirisasi sangat kuat dalam konteks usulan dari Kementerian ESDM agar semakin hilir produknya semakin rendah bea keluarnya, sehingga kita meng-incentivise terjadinya hilirisasi penciptaan nilai tambah lebih banyak di Indonesia," ujar Febrio.
Dengan adanya kebijakan ini, maka tarif bea keluar emas akan bersifat progresif dan meningkat ketika harga emas dunia melonjak. Kebijakan tersebut dirancang untuk mengoptimalkan windfall profit dan memberikan tambahan penerimaan negara yang lebih besar saat harga komoditas berada di level tinggi.
“Sementara kalau kita pindah ke (data) berikutnya, itu dalam konteks kita ingin mendapatkan windfall profit juga ketika harganya naik cukup tinggi. Kita harapkan tarifnya lebih tinggi sehingga pendapatan negara bisa meningkat,” ujar Febrio.
3. Susun Permendag dan harga patokan emas

Ia menambahkan, pemerintah saat ini juga sedang menyiapkan regulasi lanjutan, yakni penyusunan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) dan Keputusan Menteri Perdagangan (KEP Mendag) yang akan mengatur harga patokan ekspor (HPE) emas. Penetapan HPE tersebut akan menjadi komponen penting dalam perhitungan tarif bea keluar.
“Nanti akan ditetapkan penyusunan Permendag dan KEP Mendag terkait harga patokan ekspor emasnya,” kata Febrio.
Harga patokan ekspor tersebut akan menjadi acuan bagi tim yang bertugas di lapangan dalam menetapkan besaran bea keluar untuk setiap jenis produk emas. Dengan adanya patokan yang seragam, pemerintah berharap mekanisme pungutan dapat berjalan lebih akuntabel dan konsisten.
4. Bea keluar emas diharapkan bisa diimplementasikan tahun depan

Di sisi lain, Febrio menjelaskan, soal Rancangan PMK (RPMK) terkait kebijakan ini telah memasuki tahap final. Setelah melalui proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM, regulasi tersebut diharapkan dapat segera diundangkan sehingga implementasinya dapat dimulai pada awal 2026.
“Ini sesuai dengan usulan dari Kementerian ESDM sebagai kementerian teknis. Aturan ini sudah melalui tahap harmonisasi dan akan segera kami undangkan, sehingga pada 2026 dapat memberikan sumbangan bagi pendapatan negara,” ujar Febrio.
Bea Keluar ini pun diprediksi akan memberikan tambahan penerimaan negara yang diperkirakan mencapai Rp2 triliun per tahun. Kebijakan ini juga dipandang sebagai bagian dari strategi besar hilirisasi yang terus didorong pemerintah. Dengan adanya bea keluar yang lebih rendah untuk produk yang lebih hilir, perusahaan tambang akan terdorong meningkatkan proses pemurnian sebelum ekspor.
Salah satu perusahaan yang akan terdampak adalah PT Freeport Indonesia (Persero), yang perlu memperpanjang rantai proses produksi untuk mendapatkan tarif lebih rendah.
“Ini tentu membutuhkan tambahan proses produksi, sehingga tarifnya lebih rendah. Sekali lagi, hilirisasi menjadi poin penting dalam usulan Kementerian ESDM jadi semakin hilir produknya, semakin rendah bea keluarnya. Dengan begitu, kami mendorong terciptanya nilai tambah yang lebih besar di Indonesia,” tutur Febrio.

















