Manfaatkan Jeda 90 Hari Tarif Resiprokal, Apa yang Harus Dilakukan RI?

- Pemerintah didorong untuk memaksimalkan strategi ekspor ke Amerika Serikat setelah tarif impor ditangguhkan selama 90 hari.
- Penurunan pesanan pabrik di Indonesia dikhawatirkan jika tarif impor kembali diberlakukan dengan nilai yang lebih tinggi.
- Negosiasi perjanjian jangka panjang dengan AS dan diversifikasi pasar ekspor ke Eropa, Kanada, Timur Tengah, dan Afrika penting dilakukan.
Jakarta, IDN Times – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mendorong pemerintah segera menyiapkan strategi yang bisa dimaksimalkan setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menangguhkan pemberlakuan tarif impor baru selama 90 hari bagi 75 negara, termasuk Indonesia.
Menurut Bhima, momentum ini sebaiknya dimanfaatkan untuk mendorong peningkatan ekspor nasional ke pasar Amerika Serikat. Saat ini, pangsa ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam baru menyentuh angka 10,5 persen dari total ekspor nonmigas.
Meski begitu, efek domino dari kebijakan ini bisa cukup signifikan terhadap performa ekspor Indonesia maupun negara lain.
“Pemerintah perlu mempercepat peningkatan volume ekspor ke AS, khususnya untuk produk pakaian jadi, alas kaki, serta produk olahan nikel dan tembaga,” ujar Bhima saat dihubungi IDN Times, Kamis (10/4/2025).
Ia menjelaskan, sepanjang tahun lalu, ekspor pakaian jadi ke Amerika tercatat menyumbang 61,4 persen dari total ekspor kategori tersebut, sementara alas kaki mencapai 33,8 persen.
Jika ke depan tarif impor kembali diberlakukan dengan nilai yang lebih tinggi, dikhawatirkan akan berdampak pada penurunan jumlah pesanan ke pabrik-pabrik di Indonesia.
1. Negosiasi tarif diharapkan untuk jangka panjang

Bhima meminta pemerintah melakukan negosiasi dengan Amerika Serikat terkait besaran tarif impor dalam jangka panjang, tidak hanya bersifat sementara. Hal ini bertujuan menciptakan kepastian pasar ekspor nasional.
Inisiatif ini juga dapat menjadi bagian dari strategi untuk memperkuat hubungan ekonomi bilateral dan memastikan keberlanjutan ekspor produk unggulan Indonesia.
"Negosiasi perjanjian jangka panjang dengan AS penting, agar ada kepastian setidaknya dalam lima tahun ke depan," ujar Bhima.
Untuk memperkuat posisi tawar dalam negosiasi, pemerintah dinilai perlu menempatkan duta besar Republik Indonesia di Washington yang memiliki kapasitas kuat dalam bidang geopolitik, negosiasi bilateral, dan memahami arah kebijakan tim ekonomi Presiden Trump.
2. Percepat diversifikasi pasar ekspor

Di sisi lain, pemerintah juga perlu mempercepat diversifikasi pasar ekspor ke kawasan Eropa, Kanada, Timur Tengah, dan Afrika. Hal ini penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap satu negara tujuan ekspor, serta membuka peluang pasar baru bagi industri nasional.
Sementara itu, penguatan perdagangan intra-ASEAN juga menjadi salah satu fokus, mengingat kontribusinya terhadap total ekspor non-migas Indonesia masih belum optimal.
Namun demikian, langkah pembukaan pasar juga dibarengi dengan kehati-hatian dalam mereformasi hambatan impor seperti Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan kuota impor.
"Salah ambil langkah maka Indonesia bakal dibanjiri produk impor yang rugikan ekonomi domestik," beber Bhima menegaskan.
3. Presiden Prabowo minta kuota impor dihapus

Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto meminta agar tidak ada lagi pemberlakuan sistem kuota dalam kebijakan impor.
Dia mendorong agar proses impor dibuka seluas-luasnya bagi siapa pun. Hal itu dia sampaikan dalam sesi tanya jawab bersama pelaku ekonomi dalam Sarasehan Ekonomi di Menara Mandiri, Sudirman, Jakarta, Selasa (8/4).
"Gak usah ada kuota-kuota-kuota apa lagi semua. Siapa mau impor daging silakan, siapa saja boleh impor. Mau impor apa? Silakan buka saja!" kata Prabowo.
Prabowo menegaskan pentingnya keadilan dalam kebijakan impor. Dia mengingatkan agar tidak ada lagi praktik penunjukan perusahaan tertentu untuk mendapatkan izin impor.
Dia juga meminta agar regulasi teknis yang berpotensi menghambat, seperti peraturan teknis atau pertek, tidak lagi diberlakukan tanpa alasan yang jelas.
"Jangan bikin kuota-kuota habis itu perusahaan A, B, C, D yang hanya ditunjuk, hanya dia boleh impor. Enak saja. Iya kan? Sudahlah," ujar dia.