Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Manufaktur Harus Digenjot, Kejar Target Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen

ilustrasi ekonomi (IDN Times)
Intinya sih...
  • Pertumbuhan industri manufaktur harus mencapai 8,5-9% per tahun untuk mendukung target pertumbuhan ekonomi 8%.
  • Kontribusi sektor industri terhadap PDB diharapkan naik menjadi 30%, namun saat ini masih sekitar 18,5-19%.
  • Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Oktober 2024 tetap berada di level kontraksi, dipengaruhi oleh penurunan permintaan pasar.

Jakarta, IDN Times - Institute for Development of Economics and Finance meminta pemerintah menggenjot industri pengolahan atau manufaktur demi mengejar target ambisius pertumbuhan ekonomi nasional 8 persen, year on year (yoy).

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus memaparkan, dalam skenario untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen, industri manufaktur harus tumbuh kisaran 8,5 persen hingga 9 persen per tahun dengan nilai produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga konstan sebesar Rp16.000 triliun.

“Industri pengolahan adalah kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB), pertumbuhan ekonomi selalu tergantung pada pertumbuhan industri. Biasanya kalau industrinya tumbuh, ekonominya tumbuh, kalau industri melambat ekonomi melambat,” tutur Ahmad dalam diskusi INDEF, Senin (18/11/2024).

1. Sulit kerek kontribusi sektor industri manufaktur hingga 30 persen

Pabrik Sritex (Instagram Sritex)

Menurutnya saat ini nilai PDB dari sektor industri atas harga konstan masih sekitar Rp2.200 triliun dengan porsi sekitar 18,5 persen hingga 19 persen terhadap PDB.  Namun dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) pemerintah ingin menaikkan kontribusi sektor industri PDB menjadi 30 persen. 

"Nah maka tahun depannya lagi harus lebih tinggi lagi. Pokoknya rata-rata selama 20 tahun, jadi harus kurang lebih (industri manufaktur) tumbuh 8,5 sampai 9 persen dan kontribusi industri dipaksa untuk sampai 30 persen terhadap PDB agak menyulitkan," tegasnya. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan industri manufaktur hanya sebesar 4,24 persen atau sebesar Rp242 triliun terhadap PDB atas dasar harga konstan pada kuartal III 2024. Sementara itu, Secara struktur, sektor manufaktur berkontribusi sebesar 19,02 persen dalam PDB harga berlaku.

2. ICOR masih terlalu tinggi untuk produksi barang

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Arief Rahmat)

Ahmad menjelaskan agar sektor industri dan pertumbuhan ekonomi bisa tumbuh sekitar 8 persen, maka semua sektor ekonomi dari pertanian hingga jasa produktivitas total faktor (PTF) harus tumbuh 3,20 persen. Sementara itu, ia mencatat, PTF dalam 10 tahun terakhir belum pernah tumbuh diatas 3,20 persen.

“Dalam 10 tahun terakhir PTF paling 1,5 persen ini sudah bagus. Nah kita harus mendongkrak ini. PTF itu isinya yang dominan adalah tenaga kerja dan capital atau modal,” ungkapnya.

Di sisi lain, kinerja investasi melalui Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) harus tumbuh sekitar 18 persen, dan kinerja ekspor rata-rata konsisten harus tumbuh 12 persen di 2025-2024.

Menurutnya, untuk meningkatkan PTF selama ini terkendala ICOR yang masih tinggi sekitar 6. Artinya untuk memproduksi satu barang, diperlukan modal lebih besar. Berbeda dengan negara lain yang ICOR nya kecil, untuk memproduksi satu barang hanya dibutuhkan sedikit modal.

“Nah ini menjadi tantangan, meski investasi yang datang banyak, tapi ternyata investasinya tidak efisien terlihat dari ICOR tinggi, harus ada perbaikan, seperti dari biaya logistik dan energi," imbuhnya. 

3. Kinerja purchasing manufacturing indeks Oktober kontraksi

Ilustrasi pekerjaan manufaktur(pexels.com/kateryna babaieva

Purchasing Manager’s Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Oktober 2024 berada pada posisi yang sama dengan bulan sebelumnya, yaitu 49,2, yang artinya masih berada di level kontraksi. 

Dalam laporan S&P Global, penurunan permintaan pasar menjadi salah satu penyebab kontraksi manufaktur. Hal ini biasa terjadi di pasar domestik maupun internasional, dengan ketidakpastian geopolitik yang menyebabkan penurunan permintaan ekspor selama delapan bulan berturut-turut.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Triyan Pangastuti
EditorTriyan Pangastuti
Follow Us