Penyeragaman Kemasan Rokok Dinilai Tabrakan dengan Kebijakan Prabowo

- Kebijakan penyeragaman kemasan rokok dinilai melanggar HAKI.
- Penyeragaman bungkus rokok dianggap intervensi asing melalui FCTC.
- Penyeragaman kemasan rokok kontradiktif dan merugikan bagi Indonesia.
Jakarta, IDN Times - Kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) dinilai telah menyalahi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Adapun ketentuan tersebut telah dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek).
UU Merek menyatakan bahwa merek dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, dan susunan warna untuk membedakan antara satu merek dengan merek lainnya.
Namun, Rancangan Permenkes yang diinisasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) justru membuat seluruh kemasan rokok yang dipasarkan harus memiliki fitur kemasan seragam tanpa pembeda apapun.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani Hikmahanto Juwana pun mempertanyakan poin dalam Rancangan Permenkes tersebut. Sebab, menurut dia pemuatan identitas merek merupakan hak pemilik usaha untuk menjadi pembeda dengan kompetitor.
"Tentu pelaku usaha ingin bersaing dengan pelaku usaha lainnya dengan memunculkan apa sih perbedaan dari mereknya dengan merek pesaingnya," ujar Hikmahanto dalam diskusi bertajuk 'Mengejar Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen: Tantangan Industri Tembakau di Bawah Kebijakan Baru' di Jakarta, dikutip Jumat (8/11/2024).
1. Intervensi asing

Selain itu, Hikmahanto menilai wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek juga dinilai sarat intervensi asing. Menurut dia, tekanan terhadap industri hasil tembakau, termasuk penyeragaman bungkus rokok ditengarai melibatkan intervensi asing melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Bahkan, Hikmahanto menyebut bahwa dalam salah satu pasal FCTC menuding jika tampilan di bungkus rokok memberi sumbangsih atas kenaikan jumlah perokok. Tudingan itu kemudian dinilai Hikmahanto tidaklah benar dan harus dipertanyakan kembali.
"Pengaturan penyeragaman bungkus rokok yang membuat kehilangan identitas merek ini sebagai agenda pemaksaan asing terhadap pasar Indonesia," kata dia.`
2. Indonesia pernah menentang aturan penyeragaman kemasan rokok

Hikmahanto menyatakan, Rancangan Permenkes untuk mengatur kemasan rokok tanpa identitas merek ini menjadi paradoks di Indonesia. Ketika Australia pertama kali menjalankan aturan penghilangan identitas merek di bungkus rokok pada 2012, Indonesia menjadi salah satu negara yang melawannya.
Namun, Indonesia kini justru berupaya menerapkan kebijakan kontradiktif dengan melakukan langkah serupa. Padahal tindakan tersebut telah memberikan gangguan yang terasa oleh tenaga kerja hingga produk ekspor Indonesia, khususnya produk hasil tembakau.
Australia tidak memiliki industri ataupun ekosistem pertembakauan yang memberikan kontribusi terhadap pendapatan negara, penyerapan tenaga kerja, hingga hilirisasi ekspor produk tembakau manufaktur seperti di Indonesia.
"Negara yang mampu melakukan ekspor ke luar negeri seperti Indonesia telah memperoleh pendapatan dari sana. Kita juga pernah melawan kebijakan-kebijakan negara untuk mengenakan plain packaging itu, tetapi sekarang mau menerapkan di Indonesia," ujar Hikmahanto.
3. Bertentangan dengan kebijakan Presiden Prabowo Subianto

Hikmahanto melihat bahwa agenda-agenda yang dibawa Kemenkes melalui PP 28/2024 maupun Rancangan Permenkes berkiblat pada FCTC yang telah dipelajar secara seksama oleh Indonesia dan memilih untuk tidak meratifikasinya. Hal ini menunjukkan, Indonesia seakan tidak berdaulat dalam menentukan arah kebijakan.
"Kita tidak dan jangan pernah tunduk dengan FCTC, tapi mereka memaksa lewat Kemenkes supaya ketentuan-ketentuan yang ada dalam FCTC itu diadopsi. Jadi bukan diratifikasi, diadopsi ke dalam hukum Indonesia," kata Hikmahanto.
Tindakan diam-diam mengadopsi ketentuan FCTC ke dalam kebijakan dinilai Hikmahanto tidak sesuai dengan pandangan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto. Hikmahanto mengatakan, dalam berbagai kesempatan, Prabowo telah menegaskan melawan berbagai macam bentuk intervensi dari luar negeri dan berkomitmen menjadikan Indonesia lepas dari segala intervensi asing.
"Jadi jangan kita mau percaya dengan apa yang disampaikan dari luar negeri. Pak Prabowo menegakkan hal itu. Kita negara besar. Kita harus tegak mempertahankan kedaulatan. Apa yang terbaik untuk Indonesia, itulah kebijakan yang harus diambil," tutur Hikmahanto.