Bank Dunia: Pandemik COVID-19 Buat Negara Berkembang Menderita

Ada lebih banyak tantangan yang dihadapi negara berkembang

Jakarta, IDN Times - Direktur Pelaksana Kebijakan Pembangunan dan Kemitraan Bank Dunia Mari Elka Pangestu mengatakan, tahun ini dunia mulai mengalami pemulihan dari kekacauan ekonomi dan resesi yang terjadi akibat pandemik COVID-19 pada 2020.

Ia menyebut pemulihan ini utamanya didorong Amerika Serikat (AS) dengan program stimulusnya yang besar, dan juga tingkat vaksinasi yang tinggi. Selain itu juga didorong pertumbuhan di Tiongkok.

“Apa yang menjadi proyeksi ke depan memang sudah ada tanda-tanda pemulihan, bahkan proyeksi untuk ekonomi dunia juga mengalami pemulihan pesat,” ujarnya dalam acara Congress of Indonesian Diaspora (CID) 6 secara virtual, Sabtu (14/8/2021).

Baca Juga: Mengenal Mari Elka Pangestu, Bos Bank Dunia Asal Tanah Air

1. Pemulihan tidak merata

Bank Dunia: Pandemik COVID-19 Buat Negara Berkembang MenderitaGedung Bank Dunia di Washington DC. (Wikimedia.org/Shiny Things)

Namun, Mari mengatakan, tingkat pemulihan ini tidak merata di seluruh negara. Di mana negara berkembang masih banyak yang akan tetap mengalami pertumbuhan yang lambat.

Mari bahkan menyebut dua pertiga dari negara berkembang tidak akan mencapai tingkat pendapatan per kapita hingga 2022. “Di 2022 pun belum mencapai kembali situasi sebelum pandemik,” katanya.

“Jadi keadaan ekonomi negara sedang berkembang, belum lagi tingkat kemiskinan dan dampak dari sistem kesehatan yang terkena disrupsi, education yang terkena disrupsi, itu semua mempunyai dampak kepada human capital yang akan akhirnya juga memperlambat pembangunan dan juga peningkatan pertumbuhan dan productivity dan seterusnya,” lanjutnya.

2. Tantangan terbesar untuk negara berkembang

Bank Dunia: Pandemik COVID-19 Buat Negara Berkembang MenderitaIlustrasi pandemik COVID-19. (ANTARA FOTO/M. Risyal Hidayat)

Mari menjelaskan hal yang menjadi tantangan terbesar untuk mencapai pemulihan ekonomi di negara-negara berkembang adalah, tidak meratanya akses pada vaksin COVID-19, yang menyebabkan ketimpangan besar dalam tingkat vaksinasi global. Selain itu, pertumbuhan juga akan dipengaruhi bagaimana negara-negara menerapkan stimulus masing-masing dengan tepat.

“Tentunya negara sedang berkembang di situasi yang tidak menguntungkan. Kalau rata-rata negara sedang berkembang hanya bisa mempunyai kekuatan 4 sampai 5 persen dari PDB untuk melakukan fiscal stimulus, termasuk social protections untuk masyarakatnya, di negara maju itu bisa sampai 10-20 persen,” kata dia.

“Di situ perbedaan utamanya. Vaksinasi juga perbedaan utama. Belum lagi kita bicara potensi vulnerability dari sektor finansial, sektor usaha, dan juga belum lagi keadaan geopolitik dan food insecurity dan finance,” sambung Mari.

Baca Juga: World Bank Soroti Kasus Kematian COVID-19 di RI Tertinggi di Dunia

3. Tantangan pemerataan vaksinasi global

Bank Dunia: Pandemik COVID-19 Buat Negara Berkembang MenderitaPetugas kesehatan menyuntikan vaksin kepada relawan saat simulasi uji klinis vaksin COVID-19 di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Kamis (6/8/2020). ANTARA FOTO/M Agung Rajasa

Mari menekankan vaksinasi merupakan hal penting untuk mendorong pertumbuhan suatu negara. Ia juga menyebut pemerataan distribusi vaksin tidak mungkin akan terwujud, tanpa adanya kerja sama global untuk memastikan ketersediaan pasokan, pembagian yang rata, dan sebagainya.

“Saat ini Afrika hanya 1 persen dari vaccination rate dibanding 60-70 persen di negara maju. Produksi juga masih terkonsentrasi di negara maju,” ujarnya.

Mari juga menekankan pentingnya menghapuskan aturan yang bisa menyusahkan ekspor-impor vaksin, serta tantangan dalam harga yang bisa memperlambat vaksinasi. Selain itu, negara-negara juga diminta memastikan kesiapan dalam menerima dan mendistribusikan vaksin di dalam negeri masing-masing.

“Dari sini, kesiapan dari sistem kesehatan, training of the workers, supply, dan juga komunikasi dan pendekatan ke masyarakat untuk mengurangi vaksin hesitancy,” ujarnya.

“Dan ternyata kita melakukan vaccine readiness di 140 negara, dua hal yang paling besar gap-nya adalah kecukupan dari tenaga medis untuk melakukan vaksinasi, dan kedua komunikasi yang tepat oleh negara maupun oleh komunitas ke masyarakat supaya vaksinasi itu terjadi,” imbuh Mari.

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya