RI Doyan Terapkan Proteksi Perdagangan, Lebih Ketat dari AS-Eropa!

Jakarta, IDN Times - Center for Market Education (CME) bersama Tholos Foundation merilis laporan International Trade Barrier Index 2025. Dalam laporan itu, skor Trade Barrier Index (TBI) Indonesia mendekati 7,5 poin, yang menduduki ranking ke-122 dari 122 negara.
Data itu menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang paling tinggi dalam penggunaan proteksi untuk hambatan perdagangannya, baik dengan tarif, kebijakan non-tarif, kandungan lokal (local content), dan sebagainya.
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) berada di peringkat ke-61, dengan skor TBI di sekitar 5 poin. Adapun negara-negara Uni Eropa seperti Jerman di peringkat ke-15, Spanyol ke-16, Prancis ke-35, Belgia ke-38, Italia ke-50, dan sebagainya.
Laporan itu diluncurkan dalam Innovation Summit Southeast Asia (ISSA) 2025, yang menggandeng Universitas Prasetiya Mulya, Provalindo Nusa, dan Ecolex.
1. Soroti larangan penjualan iPhone 16 di Indonesia

Peluncuran TBI 2025 juga mengangkat studi kasus kontroversi pelarangan penjualan Apple iPhone 16 di Indonesia, yang akhirnya dibuka sejak Maret 2025. Menurut peneliti, proteksionisme yang terlalu ketat akan menghambat kemajuan. Sebab, daya saing muncul dari keterbukaan dan inovasi, bukan isolasi.
Direktur Tholos Foundation dan penulis laporan International TBI 2025 mengatakan, hanya sedikit kelompok barang/jasa yang mendapatkan bebas bea masuk dari Indonesia. Penggunaan trade barrier tertinggi di Indonesia adalah pembatasan layanan (services restriction), peraturan daerah, dan sebagainya. Begitu juga dengan penggunaan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) atau safeguard yang diterapkan dalam jangka panjang.
“Ada banyak perlindungan yang saya pikir itu seharusnya bersifat sementara, tetapi itu bertahan selamanya,” kata Philip dalam ISSA 2025 di Energy Building, Jakarta, Selasa (6/5/2025). Proteksionisme perdagangan paling ketat diterapkan di industri tekstil dan pakaian jadi, ubin, perdagangan digital, dan sebagainya.
2. Pemerintah buka isolasi perdagangan yang hambat kemajuan

Alih-alih terus melindungi industri lewat tarif dan pembatasan kandungan lokal, ISSA 2025 mendorong Indonesia untuk mengandalkan inovasi dan persaingan sehat. Sebab, isolasi dilihat sebagai penghambat kemajuan, sementara keterbukaan memicu produktivitas dan ketahanan.
Selain itu, pemerintah juga didorong meningkatkan kinerja sektor lain, tak hanya sektor tradisional seperti pertanian, komoditas, dan sumber daya alam. Country Manager CME, Alfian Banjaransari mengatakan inovasi harus dilakukan pada sektor lain, seperti sustainable farming, sistem logistik modern, hingga ekspor berbasis added-value.
Pada 2024, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang 12,61 persen terhadap PDB Indonesia. Perkebunan sendiri berkontribusi 4,17 persen. Kelapa sawit tetap menjadi andalan ekspor, di mana Indonesia merajai sektor ini. Industri tembakau juga memberikan sumbangan besar terhadap penerimaan negara, mencapai lebih dari Rp150 triliun per tahun.
Di saat bersamaan, sektor energi terbarukan, perumahan, dan industri kreatif terus menunjukkan pertumbuhan—dan berpotensi menjadi penopang ekonomi masa depan.
“Pemerintah perlu membiarkan sektor-sektor ini tumbuh dengan organik. Dengan insentif yang tepat dan iklim usaha yang sehat, bukan intervensi atau regulasi berlebihan, sektor lama dan sektor baru, the overlooked and the underrated, dapat tumbuh berdampingan,” ujar Alfian.
Sementara itu, Senior Partner Roland Berger, Ashok Kaul menyarankan agar pemerintah mengurangi hambatan perdagangan, dengan menerapkan kebijakan proteksionisme dalam jangka waktu pendek.
“Jika Anda membutuhkan perlindungan, lakukan untuk jangka waktu yang sangat terbatas. Jika Anda membutuhkan persyaratan konten lokal, lakukan dengan cara lain. Jangan terapkan dalam jangka waktu yang panjang, tetapi dalam jangka waktu yang pendek dan kemudian tingkatkan dalam jangka waktu yang panjang,” tutur Ashok.
3. Banyak PR buat dongkrak pertumbuhan ekonomi 8 persen

Di sisi lain, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Pembangunan Nasional (Bappenas), Effendi Andoko mengatakan, pemerintah punya target pertumbuhan ekonomi 8 persen.
Untuk mencapai target tersebut, Indonesia perlu meningkatkan kinerja perdagangan dan investasi. Bahkan, untuk mencapai target tersebut, Indonesia perlu investasi sebesar Rp48 ribu triliun selama 5 tahun ke depan, alias sampai 2029.
“Jadi sekitar rata-rata per tahun sekitar Rp9 ribu-an triliun,” ucap Effendi.
Menurutnya, untuk mencapai nilai investasi tersebut, tak hanya investasi dari dalam negeri yang harus ditingkatkan, tapi juga dari luar negeri.
“Betul, makanya kita harus selalu membuka banyak pintu dan memfasilitasi banyak investasi baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri untuk berada di Indonesia,” ucap Effendi.