Rusia Tantang Barat Buktikan Keseriusan soal Kesepakatan Biji-bijian

- Rusia ingin hidupkan kembali Black Sea Grain Initiative dalam negosiasi dengan AS di Arab Saudi
- Rusia menilai Barat gagal memenuhi komitmen terkait kesepakatan biji-bijian Laut Hitam
Jakarta, IDN Times – Rusia membuka peluang untuk menghidupkan kembali Black Sea Grain Initiative dalam negosiasi dengan Amerika Serikat (AS) di Arab Saudi pada 24 Maret 2025. Diskusi ini berlangsung di tengah upaya mencapai gencatan senjata dengan Ukraina.
Kesepakatan yang awalnya dimediasi oleh PBB dan Turki ini memberikan jalur aman bagi ekspor biji-bijian Ukraina melalui Laut Hitam selama konflik dengan Rusia. Namun, perjanjian tersebut terhenti pada 2023 setelah Moskow menilai ada sejumlah komitmen yang tak terealisasi.
1. Rusia soroti kegagalan kesepakatan sebelumnya

Kesepakatan biji-bijian Laut Hitam pertama kali diteken pada pertengahan 2022 setelah ekspor Ukraina terhambat selama lima bulan. Namun, Rusia memilih hengkang dari perjanjian itu pada 2023, dengan alasan bahwa distribusi pangan dan pupuknya masih menemui berbagai kendala.
Moskow menekankan bahwa ekspor biji-bijiannya sendiri sebenarnya tetap mengalir ke pasar global melalui Laut Hitam. Namun, mereka menilai ada sejumlah kewajiban yang tak dipenuhi, termasuk janji PBB untuk membantu memperlancar penyaluran pangan dan pupuk Rusia ke berbagai negara.
Walaupun komoditas pangan dan pupuk Rusia secara teknis tak masuk dalam daftar sanksi Barat, pembatasan dalam sistem pembayaran, rantai logistik, serta asuransi disebut menjadi batu sandungan utama. Selain itu, Rusia juga mendorong agar ekspor amonia kembali beroperasi dan akses bank pertanian negara, Rosselkhozbank, ke sistem pembayaran SWIFT dipulihkan guna menunjang kelancaran transaksi global.
2. Ukraina andalkan jalur alternatif untuk ekspor

Setelah Rusia menarik diri dari perjanjian, Ukraina mencari strategi lain guna memastikan pasokan biji-bijiannya tetap beredar di pasar internasional.
“Sejak itu, Ukraina telah menghindari blokade Rusia dengan menggunakan jalur laut alternatif serta meningkatkan pengiriman internasional melalui sungai, kereta api, dan jalan raya,” ungkap Arvin Donley dari World-Grain, dikutip dari Successful Farming, Kamis (27/3/2025).
Kapal-kapal dagang kini memanfaatkan jalur di perairan dekat negara-negara NATO seperti Bulgaria dan Rumania, yang dinilai lebih aman dari ancaman intervensi Rusia. Keberadaan kapal-kapal ini di wilayah tersebut turut mempersempit ruang gerak armada laut Rusia. Selain itu, aktivitas pengiriman yang berlangsung di jalur dekat NATO meningkatkan potensi ketegangan geopolitik di kawasan tersebut.
Namun, menurut Andrey Sizov dari Sovecon, sebuah lembaga konsultasi pertanian, kesepakatan baru ini mungkin tak akan membawa dampak signifikan.
“Kesepakatan Laut Hitam yang baru hanya akan menjadi ‘bisnis seperti biasa — dengan PR yang lebih baik,’” tulisnya di platform X.
Ia menilai bahwa ekspor biji-bijian Ukraina tetap berjalan tanpa perlu restu Kremlin, sehingga perjanjian baru ini hanya akan “meresmikan status quo” sambil diklaim sebagai pencapaian bagi ketahanan pangan global.
3. Rusia ajukan syarat ketat untuk kesepakatan baru

Dalam negosiasi di Arab Saudi, Rusia kembali menyampaikan alasan mereka menarik diri dari perjanjian sebelumnya dan menekankan bahwa mereka membutuhkan kepastian yang lebih konkret.
“Kami membutuhkan jaminan yang sangat jelas, dapat diverifikasi, dan benar-benar berfungsi,” ujar Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dalam wawancara dengan Channel One, dikutip TASS, Kamis (27/3/2025).
Ia juga mengatakan bahwa Ukraina kerap berubah sikap setelah kesepakatan tercapai.
Moskow menekankan bahwa keputusan untuk mengaktifkan kembali perjanjian harus datang langsung dari Washington.
“Inisiatif Laut Hitam adalah topik utama dalam diskusi di Riyadh. Posisi kami sederhana: Kami tidak bisa mempercayai orang ini begitu saja,” kata perwakilan Rusia, merujuk pada Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.
Selain itu, Lavrov mengungkapkan bahwa Rusia telah menyetujui semua permintaan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan terkait kesepakatan ini. Namun, pada akhirnya, keputusan tetap berubah di menit-menit terakhir.
“Kami sudah mengatakan ‘ya,’ lalu Erdogan menelepon (Presiden Rusia Vladimir) Putin dan berkata, ‘Zelensky berubah pikiran',” ujarnya.
Sementara itu, Kremlin menekankan bahwa keselamatan navigasi bukanlah satu-satunya aspek yang dipertimbangkan dalam perjanjian ini.
“Ini terutama tentang keamanan navigasi, tetapi jika Anda ingat, dalam bentuk sebelumnya, ada banyak kewajiban kepada negara kami yang tak dipenuhi,” kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov.
Pembahasan mengenai kelanjutan Black Sea Grain Initiative masih berlangsung, sementara Rusia tetap menuntut kepastian agar semua komitmen yang telah disepakati benar-benar diwujudkan sebelum mereka bersedia kembali bergabung dalam kesepakatan ini.