Siapa Pemilik Sritex? Raksasa Tekstil RI yang Dinyatakan Bangkrut

- Sritex membantah kabar pailit dan tetap beroperasi meski kinerja keuangan menurun serta melakukan PHK.
- Sritex didirikan oleh H.M Lukminto pada 1966, mencatatkan saham di BEI pada 2013, dan mengalami penurunan kinerja akibat pandemik COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina.
Jakarta, IDN Times - PT Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex yang merupakan perusahaan tekstil terkemuka di Indonesia dinyatakan kolaps alias bangkrut berdasarkan putusan perkara dengan nomor 2/Pdt.Sus- Homologasi/2024/PN Niaga Smg oleh Hakim Ketua Moch Ansor padai Senin 21 Oktober 2024.
Berdasarkan sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Semarang, pemohon menyebut termohon telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada pemohon berdasarkan Putusan Homologasi tertanggal 25 Januari 2022.
Kemudian, pemohon meminta Putusan Pengadilan Niaga Semarang Nomor No. 12/ Pdt.Sus-PKPU/2021.PN.Niaga.Smg tanggal 25 Januari 2022 mengenai Pengesahan Rencana Perdamaian (Homologasi) dibatalkan. Pemohon meminta para termohon dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya.
Lantas, siapa pemilik Sritex? Ketahui sejarah dan susunan pengurusnya saat ini di bawah ini.
.
1. Siapa pemilik Sritex?

Sritex awalnya dimiliki sepenuhnya oleh pendirinya, yakni H.M Lukminto. Namun setelah perusahaan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada 2013, kepemilikannya berubah. Lukminto tidak lagi menjadi pemegang saham pengendali.
Dikutip dari data BEI, pemilik mayoritas saham perusahaan saat ini adalah PT Huddleston Indonesia, dengan porsi saham mencapai 59,03 persen. Sementara publik mengantngi 39,89 persen saham, dan anak-anak H.M Lukminto masing-masing memiliki saham kurang dari 1 persen.
Adapun Iwan Kurniawan Lukminto saat ini menjabat direktur Utama. Sedangkan kakaknya atau putra sulung H.M Lukminto, yakni Iwan Setiawan Lukminto sebagai komisaris Utama.
Pada 2020 lalu, Iwan Setiawan Lukminto masuk dalam daftar 50 orang terkaya versi Forbes. Dia berada di peringkat 49, dengan kekayaan mencapai 515 juta dolar AS. Berikut ini susunan pengurus Sritex saat ini:
- Direktur Utama: Iwan Kurniawan Lukminto
- Direktur Operasional: Mira Christina Setiady
- Direktur Keuangan: Welly Salam
- Direktur Independen: Regina Lestari Busono
- Direktur Umum: Supartodi
- Direktur Bisnis Benang: Karunakaran Rama Moorthy
- Direktur Bisnis Kain: Sandeep Kr Gautam
- Direktur Bisnis Garmen: Teo Khek Thuan
2. Sejarah Sritex

Dikutip dari laman resmi perseroan, Sritex didirikan oleh H.M Lukmito sebagai perusahaan perdagangan tradisional di Pasar Klewer, Solo pada 1966. Dua tahun kemudian atau pada 1968, Sritex membuka pabrik cetak pertama di Solo. Pabrik ini menghasikan kain putih dan berwarna.
Kemudian pada 1978, Sritex terdaftar sebagai perseroan terbatas (PT) di Kementerian Perdagangan. Selanjutnya, peseroan mendirikan pabrik tenun pertama pada 1982.
Sepuluh tahun kemudian atau pada 1992, Sritex memperluas pabrik dengan empat lini produksi, yakni pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, dan busana dalam satu atap. Pada 1994, Sritex menjadi produsen seragam militer untuk NATO dan tantara Jerman.
Sritex pada 2013 mencatatkan saham perdana di BEI, dengan kode SRIL. Setelahnya, perseroan mencapai masa kejayaan, dengan banyak pelangan internasional, dan meraih sejumlah penghargaan. Namun kinerjanya memburuk, terutama akibat pandemik COVID-19, dan perang antara Rusia-Ukraina.
Sritex baru-baru ini mengakui mengalami penurunan kinerja keuangan, dan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) ribuan karyawan. Kendati demikian, manajemen membantah tengah di ambang kebangkrutan karena perusahaan hingga saat ini masih beroperasi.
3. Penjualan Sritex turun drastis pada 2023

Penjualan perseroan pada tahun lalu tercatat turun drastis. Penjualan konsolidasi sepanjang 2023 sebesar 325 juta dolar AS, merosot 38 persen dibandingkan 2022.
Namun rugi bersih menyusut menjadi 174,8 juta dolar AS pada tahun lalu dari tahun sebelumnya sebesar 395,6 juta dolar AS.
Adapun penyebab menurunnya penjualan karena terdampak menyusutnya permintaan di tingkat global maupun domestik. Di tingkat global terjadi penurunan penjualan yang hampir merata, baik di Kawasan Eropa, Asia, Amerika Serikat dan Amerika Latin, Uni Emirat Arab (UAE), dan Afrika.
Dampak makro ekonomi seperti suku bunga dan inflasi tinggi serta kondisi geopolitik terkait perang Rusia-Ukraina serta perang Israel-Palestina menyebabkan penurunan tingkat permintaan, di mana masyarakat global lebih mengutamakan kebutuhan pangan dan energi.
Selain itu, jalur pengiriman juga mengalami gangguan karena biaya pengiriman meningkat akibat jarak tempuh lebih jauh untuk menghindari Terusan Suez.
Meski demikian, Iwan Kurniawan mengatakan, perseroan optimistis bisa memperbaiki dan meningkatkan kinerjanya, dengan melakukan rencana-rencana dalam memperkuat strategi bisnis, yakni review dan evaluasi secara berkala strategi perseroan sehingga efektif terhadap perubahan-perubahan global.
Selain itu, strategi pengadaan tepat waktu dan transparan serta optimalisasi supply chain management; reorganisasi SDM untuk meningkatkan efisiensi operasional dan fleksibilitas dalam menghadapi dinamika pasar; dan implementasi anggaran yang efisien dengan prioritas pada produk yang mendukung tujuan bisnis yang berkelanjutan dan memaksimalkan imbal hasil.
"Revitalisasi sumber daya keuangan secara efektif dan efisien," ujarnya.
Di samping itu, melakukan ekspansi pasar serta inovasi dan penyesuaian produk sesuai dengan perkembangan permintaan dan kebutuhan pasar.