Tax Amnesty Terlalu Sering, Kepatuhan Wajib Pajak Bakal Susut

Jakarta, IDN Times - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan melaksanakan program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III.
Rencana ini pun kian menguat, pasca RUU pengampunan pajak masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas pada tahun depan karena telah direstui dalam Rapat Paripurna.
Bagaimana, dampaknya terhadap kepatuhan wajib pajak bila ini kembali diimplementasikan?
1. Tax amensty terbukti tidak kerek rasio pajak

Direktur Eksekutif Center Of Economic And Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai kebijakan tax amnesty jilid III bisa menjadi keputusan yang blunder (tidak jelas) jika pemerintah menargetkan peningkatan penerimaan pajak.
“Rasio pajak sudah terbukti tidak naik setelah tax amnesty jilid I dan II. Apa pengaruhnya tax amnesty? Jelas tidak ada,” kata Bhima kepada IDN Times, Kamis (21/11/2024).
Adapun program tax amnesty sudah 2 kali dilakukan di Indonesia, rinciannya jilid I berlangsung pada 28 Juni 2016 sampai 31 Desember 2016, dan jilid II atau yang disebut Program Pengungkapan Sukarela (PPS) berlangsung pada 1 Januari 2022 sampai 30 Juni 2022.
2. Kepatuhan wajib pajak bisa merosot

Menurut Bhima, pengampunan pajak yang terlalu sering dilakukan bisa membuat kepatuhan pajak orang kaya dan pajak korporasi dari wajib pajak badan justru turun. Hal itu membuat pengemplang pajak berasumsi setelah tax amnesty III akan ada program serupa.
"Pastinya pengemplang pajak akan berasumsi setelah tax amnesty III akan ada lagi," ungkap Bhima.
3. Tax amensty jilid III jadi ironi di saat PPN 12 persen naik tahun depan

Menurut Bhima tax amensty jilid III akan menimbulkan moral hazard yang besar sekali. Lantaran, bukannya mengejar kepatuhan pajak dan pencocokan data aset dari hasil tax amnesty sebelumnya, ini malah membuat tax amnesty jilid III.
Pemerintah sudah menebar banyak insentif untuk pengusaha yakni, tarif pajak penghasilan atau PPh badan yang terus menurun. Belum lagi, pada tahun depan tarif PPh badan dari 22 persen akan turun ke 20 persen.
Namun ironinya, di saat yang sama beban kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 perssn akan menjadi beban tambahan bagi masyarakat dan menciptakan pelemahan daya beli kelas menengah ke bawah, pelaku usaha juga terpukul.
"Tak hanya itu, dampak kenaikan PPN ini bisa menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal baik, di sektor ritel dan industri pengolahan. Di mana letak keadilan pajaknya?” kata Bhima.