Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Tidak Takut Krisis Energi, Jerman Akan Segera Tutup PLTN Terakhir

Ilustrasi fasilitas nuklir (Pexels.com/Markus Distelrath)

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Jerman dikabarkan menolak penundaan penutupan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) terakhir di negara itu. Penolakan itu disampaikan pada Rabu (12/4/2023). Para politisi dari oposisi sebelumnya meminta penutupan PLTN ditangguhkan.

Berlin telah memiliki rencana untuk menghapus PLTN secara bertahap sesuai dengan agenda transisi energi hijau. Masih ada tiga PLTN yang berfungsi dan awalnya akan ditutup pada 31 Desember 2022. Penutupan sempat ditunda karena Jerman khawatir mungkin kekurangan energi akibat perang di Ukraina.

1. Berlin secara bulat akan tutup PLTN pekan ini

Kanselir Jerman Olaf Scholz (Twitter.com/ Bundeskanzler Olaf Scholz)

Transisi energi hijau Jerman telah menjadi salah satu agenda utama negara itu. Karena alasan berbahaya, mereka juga akan menutup PLTN yang telah hidup selama sekitar 30 tahun, menyuplai setrum untuk negara ekonomi terbesar di Eropa tersebut.

Namun penutupan PLTN telah diminta untuk ditunda oleh politisi oposisi serta beberap anggota partai yang merupakan aliansi pemerintahan Kanselir Olaf Scholz. Dilansir ABC News, Berlin menolak seruan tersebut.

"Penghapusan (tenaga) nuklir pada 15 April, Sabtu ini, adalah kesepakatan yang sudah selesai," kata juru bicara Christiane Hoffmann.

PLTN yang rencana akan ditutup tahun lalu, telah diperpanjang untuk beroperasi akibat kekhawatiran krisis energi di tengah perang Ukraina. Anggota parlemen saat itu sepakat memperpanjang operasional PLTN dan akan ditutup pada pertengahan April tahun ini.

2. Penutupan PLTN akan jadi kesalahan dramatis Jerman

Seruan penundaan penutupan PLTN tidak hanya dari politisi oposisi, tetapi juga dari politisi partai aliansi pemerintah, Freie Demokratische Partei (FDP). Wolfgang Kubicki, wakil FDP menilai PLTN Jerman memiliki teknologi paling aman di dunia.

Dilansir CTV News, Kubicki mengatakan penutupan PLTN akan menjadi kesalahan dramatis dengan konsekuensi ekonomi dan ekologi yang menyakitkan. Anggota dari FDP lainnya juga berpendapat agar PLTN setidaknya dipertahankan sebagai cadangan jika diperlukan di kemudian hari.

Bastian Zimmermann, juru bicara Kementerian Lingungan Jerman yang mengawasi keselamatan nuklir, mengatakan bahwa merawat PLTN sebagai cadagan adalah ilegal dan bakal mengeluarkan biaya mahal. Ini karena PLTN memerlukan pemeriksaan keamanan yang komprehensif.

3. Jerman bisa bertahan tanpa PLTN

Ilustrasi (Unsplash.com/Lukas Lehotsky)

Jerman masih memiliki tiga reaktor PLTN, yakni Emsland, Neckarwestheim dan Isar II. Terakhir kali menjalani pemeriksaan keselamatan pada 2009 dan pemeriksaan semacam itu perlu dilakukan setiap 10 tahun.

Meski nuklir dinilai memiliki emisi rendah karbon, tapi Berlin menilai itu berbahaya. Jerman saat ini masih bingung mencari lokasi untuk menyimpan hampir 2.000 kontainer limbah radioaktif tinggi secara permanen, yang akan tetap berbahaya bagi ribuan generasi selanjutnya.

Dilansir Associated Press, Kementerian Ekonomi Jerman menepis kekhawatiran pemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan energi tanpa nuklir. Saat ini, nuklir hanya menyuplai sekitar 5 persen setrum yang dibutuhkan.

Beate Baron, juru bicara Kementerian Ekonomi, menjelaskan bahwa dalam studi terbaru, Jerman akan dapat mempertahankan pasokan listrik dengan pembangkit listrik batu bara dan gas serta energi terbarukan seperti angin dan matahari. Ini pun, Berlin masih tetap bisa mengekspor listrik ke negara lain.

Bahan bakar hidrogen juga jadi solusi lain yang dapat diproduksi tanpa emisi gas rumah kaca, serta dapat terbakar dengan cepat saat hanya ada sedikit sinar matahari atau angin untuk energi terbarukan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us