UE Protes Keras AS Naikkan Tarif Impor Baja hingga 50 Persen

- Komisi Eropa menyesalkan kenaikan tarif baja AS dari 25 persen menjadi 50 persen, mengancam balasan tegas dan memicu ketegangan perdagangan.
- Donald Trump dalihnya untuk melindungi industri baja domestik AS, namun keputusan ini menuai kritik dan merugikan industri Kanada.
Jakarta, IDN Times - Komisi Eropa menyatakan penyesalan mendalam atas keputusan Amerika Serikat (AS) menaikkan tarif impor baja dari 25 persen menjadi 50 persen pada Sabtu (31/5/2025). Langkah ini dinilai merusak proses negosiasi perdagangan yang tengah berlangsung antara Uni Eropa (UE) dan AS, serta memicu ancaman balasan dari pihak Eropa.
Presiden AS Donald Trump mengumumkan kebijakan tersebut dalam kampanye di Pittsburgh, Pennsylvania. Ia berdalih kebijakan ini diperlukan untuk melindungi industri baja domestik AS, namun keputusan itu memperburuk ketegangan perdagangan transatlantik di tengah perang tarif global yang memanas.
1. Kenaikan tarif baja AS picu ketegangan

Trump menyampaikan, tarif baja dan aluminium akan naik menjadi 50 persen mulai Rabu (4/6), dalam pidatonya di pabrik US Steel Mon Valley Works-Irvin, Pittsburgh.
Ia menyebut kebijakan ini memperkuat industri baja dan menjaga pasokan nasional, serta menyinggung investasi kemitraan dengan Nippon Steel Jepang senilai 14,9 miliar dolar AS (Rp242,7 triliun). Namun, keputusan ini menuai kritik, termasuk dari serikat pekerja baja AS yang menilainya merugikan industri Kanada.
Komisi Eropa menyatakan, tarif baru tersebut mengganggu proses negosiasi menuju solusi perdagangan yang adil.
“Langkah ini menambah ketidakpastian global dan membebani konsumen serta pelaku usaha di kedua belah pihak,” ujar juru bicara Komisi Eropa, dikutip dari CNBC International.
UE kini menyiapkan langkah balasan, termasuk kemungkinan mengenakan tarif terhadap produk-produk AS. Dampak langsung terlihat di pasar keuangan. Indeks saham utama seperti Dow Jones dan DAX masing-masing turun 2,2 persen dan 1,6 persen pada Jumat (30/5).
Ketidakpastian diperparah oleh keputusan pengadilan perdagangan AS yang sempat memblokir kebijakan tarif, sebelum akhirnya ditangguhkan oleh pengadilan banding.
2. Upaya negosiasi UE-AS terganggu

Sebelum tarif diumumkan, UE dan AS terlibat dalam negosiasi intensif. Pada Minggu (25/5), Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen sempat berbicara dengan Trump, menghasilkan penundaan tarif hingga 9 Juli 2025 untuk memberi ruang dialog. Namun, keputusan AS menaikkan tarif lebih awal dinilai merusak kepercayaan.
“Kami telah menahan diri sejak 14 April demi memberi ruang negosiasi, namun keputusan ini justru memperburuk situasi,” kata Komisioner Perdagangan UE Maroš Šefčovič, dikutip dari Euronews.
UE mempertimbangkan daftar retaliasi senilai 95 miliar euro (Rp1,7 kuadriliun), menargetkan produk-produk AS seperti otomotif dan pertanian.
Ketegangan juga berdampak pada negara lain. Inggris, yang baru menyepakati pengurangan tarif baja dan aluminium dengan AS, kini berupaya mengecualikan diri dari tarif baru melalui perundingan pekan depan. India juga sedang menyiapkan opsi pemangkasan tarif agar terhindar dari dampaknya.
3. Dampak ekonomi dan ancaman balasan

Kebijakan tarif AS dinilai akan memberi tekanan besar pada ekonomi Eropa, terutama Jerman yang mengandalkan ekspor baja. UE kini menyusun strategi mitigasi untuk menyeimbangkan dampak tersebut.
“Kenaikan biaya produksi ini mengancam sektor manufaktur dan lapangan kerja di Eropa,” ujar Matthias Jørgensen, Kepala Hubungan Perdagangan UE-AS, dikutip dari Politico.
Selain risiko ekonomi, kebijakan ini juga menambah ketegangan geopolitik. Kanada menyebut tarif Trump tidak sah dan bertentangan dengan putusan pengadilan perdagangan sebelumnya. Perdana Menteri Mark Carney menyatakan siap membalas jika diperlukan.
Ketidakpastian tarif juga memengaruhi kebijakan moneter AS. Dengan negosiasi yang belum menemukan titik temu dan ancaman balasan dari UE, ketegangan perdagangan global diperkirakan terus berlanjut dalam waktu dekat.
“Situasi ini menghambat penurunan suku bunga oleh Federal Reserve,” kata Austan Goolsbee dari The Fed, dikutip dari Yahoo Finance.