Apakah Pasar Saham Global Sedang Mengalami Gelembung AI?

- Valuasi pasar menunjukkan lonjakan CAPE ratio pada indeks S&P 500 kini berada di level 38,55, menggambarkan ekspektasi pasar yang berlari terlalu cepat.
- Kelompok Magnificent Seven, termasuk perusahaan teknologi besar seperti Nvidia, menjadi poros utama penguatan pasar sepanjang sepuluh tahun terakhir.
- Investasi ke sektor AI kini tercatat 17 kali lebih besar daripada pendanaan perusahaan internet sebelum gelembung dot-com pecah, mencerminkan laju ekspansi yang luar biasa.
Jakarta, IDN Times - Pasar saham global sedang mengalami perhatian besar akibat lonjakan valuasi yang didorong oleh antusiasme terhadap kecerdasan buatan (AI), biasa disebut AI Bubble atau gelembung AI. Kenaikan drastis ini membuat sejumlah pengamat melihat kembali apakah harga yang melejit dapat mengikuti kinerja perusahaan yang sebenarnya. Fenomena tersebut memantik perdebatan luas mengenai ekspektasi yang semakin menguat di sektor AI.
Banyak analis menilai gejolak kali ini mengingatkan pada masa sebelum gelembung teknologi pecah, terutama ketika optimisme investor menutup risiko yang mungkin muncul. Berbagai data menunjukkan bahwa kondisi sekarang melibatkan lebih dari sekadar tren pertumbuhan, melainkan juga pertanyaan tentang ketahanan pasar menghadapi tekanan. Dengan konteks itu, lima indikator berikut memperlihatkan tanda-tanda munculnya ketidakwajaran dalam euforia AI.
1. Valuasi pasar menunjukkan lonjakan CAPE ratio

Rasio harga terhadap pendapatan (P/E) yang disesuaikan secara siklis, atau CAPE ratio, pada indeks S&P 500 kini berada di level 38,55. Posisi ini menggambarkan semakin lebarnya jarak antara harga saham dan pendapatan perusahaan, menandai valuasi yang melompat jauh di atas kondisi normal. Angka tersebut membuat banyak pihak menilai bahwa ekspektasi pasar tampak berlari terlalu cepat.
Dilansir dari USA Today, kondisi seperti ini hanya tercatat pada dua fase penting, yakni saat puncak gelembung dot-com dan menjelang krisis 1929. Kedua peristiwa itu sering dijadikan rujukan untuk memahami risiko ketika harga saham melonjak terlalu tinggi. Situasi tersebut juga memperkuat kekhawatiran bahwa pasar sedang berada dalam fase yang sensitif.
Pasar biasanya bergerak naik seiring pertumbuhan pendapatan sehingga rasio P/E ekstrem jarang ditemui. Ketika ketimpangan semacam ini terjadi, potensi gesekan antara keyakinan investor dan performa nyata semakin besar.
2. Magnificent Seven menggerakkan kenaikan pasar

Kelompok Magnificent Seven, yang mencakup perusahaan teknologi besar seperti Nvidia, menjadi poros utama penguatan pasar sepanjang sepuluh tahun terakhir. Menurut perusahaan konsultan keuangan dan investasi, The Motley Fool, saham-saham di kelompok ini mencetak pertumbuhan 698 persen dari 2015-2024, sedangkan S&P 500 hanya naik 178 persen pada periode yang sama. Perbedaan besar tersebut memperlihatkan konsentrasi pertumbuhan yang sangat berat pada sedikit perusahaan.
Optimisme terhadap AI menjadi pendorong utama lonjakan ini, terutama karena perusahaan seperti Nvidia mencatat peningkatan nilai pasar hingga 300 persen dalam dua tahun. Aliran sentimen positif tersebut memperlihatkan bagaimana ekspektasi terhadap AI memengaruhi arah indeks secara keseluruhan. Kenaikan tajam tersebut juga memberi sinyal bahwa pasar sangat dipengaruhi oleh perkembangan di sektor teknologi.
Dominasi segelintir perusahaan menimbulkan pertanyaan tentang ketergantungan pasar terhadap mereka. Ketika hanya beberapa pemain besar yang menggerakkan indeks, risiko gejolak juga ikut membesar.
3. Pendanaan AI melampaui puncak era Dot-com

Dilansir dari Nature, investasi ke sektor AI kini tercatat 17 kali lebih besar daripada pendanaan perusahaan internet sebelum gelembung dot-com pecah. Skala tersebut memperlihatkan betapa derasnya arus modal menuju teknologi AI, membuat banyak pihak menyebut fase ini sebagai salah satu lonjakan terbesar dalam sejarah industri.
Nilai pasar Nvidia yang kini mencapai 4,6 triliun dolar AS (setara Rp76.783 triliun) setara nilai ekonomi beberapa negara besar, kecuali Amerika Serikat, China, dan Jerman. Perbandingan ini kerap digunakan untuk menggambarkan seberapa cepat aset terkait AI menguat. Gambaran tersebut memperlihatkan besarnya bobot industri AI dalam pasar global saat ini.
Rencana pengeluaran OpenAI sebesar 1,4 triliun dolar AS (setara Rp23.368 triliun) untuk pembangunan pusat data selama delapan tahun juga mencerminkan laju ekspansi yang luar biasa. Di sisi lain, Amazon, Google, Meta, dan Microsoft mengalokasikan 400 miliar dolar AS (setara Rp6.676 triliun) tahun ini untuk inisiatif AI, terutama infrastruktur pusat data.
4. Tokoh teknologi memunculkan pandangan berbeda soal risiko AI

Beberapa pimpinan perusahaan teknologi menyampaikan bahwa mereka tidak melihat adanya tanda gelembung pada situasi saat ini, termasuk Jensen Huang, chief executive Nvidia. Pandangan senada juga disampaikan oleh David Sacks, White House AI czar dan venture capitalist, yang menilai tren yang sedang berlangsung masih berada dalam batas yang wajar.
“Saya tidak berpikir ini adalah awal dari siklus kehancuran,” katanya, dikutip dari NPR.
Setelah pernyataan tersebut, diskusi tentang arah pasar AI kembali mencuat dan menyita perhatian para investor. Respons tersebut menunjukkan bahwa opini para pemimpin masih cukup optimistis terhadap prospek sektor ini.
Namun, sejumlah pakar justru menyuarakan kehati-hatian. Paul Kedrosky, venture capitalist dan peneliti di MIT’s Institute for the Digital Economy, menilai bahwa perkembangan AI memang bermanfaat tetapi kecepatannya mulai melambat. Daron Acemoglu, ekonom MIT dan penerima Nobel Memorial Prize in Economic Sciences 2024, menyebut sejumlah klaim industri terlalu dilebih-lebihkan.
Sam Altman dari OpenAI menegaskan bahwa antusiasme investor sudah melewati batas, meski AI tetap penting bagi masa depan. Sundar Pichai dari Google menyoroti adanya unsur irasional dalam pergerakan pasar. Jerome Powell, Fed Chair, mengingatkan bahwa valuasi saham saat ini cukup tinggi, sementara Jamie Dimon dari JPMorgan Chase mengatakan sejumlah aset mulai memasuki wilayah gelembung.
5. Infrastruktur AI meningkatkan potensi utang dan kapasitas berlebih

Perusahaan teknologi hyperscaler mencatat kenaikan utang sebesar 121 miliar dolar AS (setara Rp2.019 triliun) sepanjang tahun terakhir, atau naik lebih dari tiga kali lipat dari beban biasanya. Dana ini digunakan untuk pembangunan pusat data berskala besar demi menopang pertumbuhan layanan AI. Situasi tersebut menimbulkan kekhawatiran tentang keberlanjutan finansial sektor ini dalam jangka panjang.
Sebagian perusahaan memanfaatkan kendaraan tujuan khusus (SPV) untuk mendanai fasilitas tersebut sehingga tidak langsung tercatat di neraca. Contoh nyatanya terlihat dalam kerja sama antara Blue Owl Capital dan Meta yang menghasilkan pinjaman 27 miliar dolar AS (setara Rp450 triliun) untuk pusat data di Louisiana. Skema ini membuat Meta mendapatkan kapasitas komputasi tanpa menambah catatan utang konvensional.
Gil Luria dari D.A. Davidson investment firm memperingatkan risiko ketika ekspansi AI tidak berjalan sesuai perkiraan. Menurutnya, perusahaan bisa menanggung biaya miliaran dolar AS jika pusat data tersebut tidak digunakan secara maksimal, setara potensi kerugian besar dalam waktu singkat. Morgan Stanley memperkirakan pengeluaran Big Tech untuk infrastruktur AI mencapai 3 triliun dolar AS (setara Rp50.076 triliun) hingga 2028, sementara arus kas hanya mampu menutupi setengahnya.
Tekanan finansial seperti ini berpotensi menciptakan kelebihan kapasitas yang sulit diserap jika permintaan tidak tumbuh. Dalam kondisi tersebut, nilai utang dapat merosot drastis dan memicu kerugian bagi lembaga keuangan yang terlibat.

















