Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mengenal Jenis Perjanjian KPR, Ada Konvensional dan Syariah

ilustrasi investasi syariah (Freepik.com/Drazen Zigic)

Jakarta, IDN Times - Dalam setiap pengajuan kredit pemilikan rumah (KPR), ada perjanjian kredit atau perjanjian pembiayaan yang harus disepakati oleh pemberi kredit dan penerima kredit.

Ada dua jenis perjanjian kredit dalam KPR, yakni konvensional dan syariah. Yuk simak perbedaan keduanya. Mana yang cocok untuk kamu?

1. Perbedaan perjanjian KPR konvensional dan syariah

ilustrasi seseorang yang sedang menjelaskan suku bunga (pexels.com/RDNE Stock)

Dikutip dari buku panduan Kajian Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan: Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang diterbitkan oleh Departemen Perlindungan Konsumen, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), perbedaan pokok antara KPR dengan sistem konvensional dan PPR dengan sistem syariah terletak pada dasar perjanjian atau prinsipnya.

Pada bank konvensional, perjanjian KPR didasarkan pada suku bunga tertentu yang sifatnya fluktuatif atau mengikuti kebijakan otoritas dan kebijakan internal bank.

Sementara itu, perjanjian PPR (Pembiayaan Pemilikan Rumah) syariah bisa dilakukan dengan beberapa pilihan perjanjian alternatif sesuai dengan kebutuhan nasabah.

2. Mengenal perjanjian KPR dengan sistem konvensional

Mengajukan KPR butuh persiapan yang matang. (Freepik.com/Freepik)

Perjanjian KPR dengan sistem konvensional adalah perjanjian konsensuil berdasarkan ketentuan dalam KUHPerdata antara debitur dengan kreditur (dalam hal ini bank) yang melahirkan hubungan utang piutang.

Dengan dasar tersebut, debitur berkewajiban untuk membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh kreditur berdasarkan pada syarat dan kondisi yang telah disepakati oleh para pihak.

3. Perjanjian PPR dengan sistem syariah

ilustrasi seorang pria sedang menjelaskan keunggulan produk syariah (pexels.com/Edmond Dantès)

Perjanjian PPR dengan sistem syariah juga didasarkan pada ketentuan terkait perjanjian di dalam KUHPerdata. Selain itu, perjanjian PPR dengan sistem syariah juga didasarkan pada prinsip yang telah diatur didalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait perjanjian pembiayaan.

Adapun perjanjian yang digunakan untuk KPR syariah, di antaranya adalah murabahah, istishna, mudharabah, dan musyarakah mutanaqisah. Berikut penjelasannya:

  1. Skema jual-beli murabahah adalah perjanjian jual-beli antar bank dan nasabah, di mana bank membeli rumah yang diperlukan nasabah, lalu menjualnya kepada nasabah sebesar harga beli ditambah dengan marjin keuntungan yang disepakati oleh bank dan nasabah.
  2. Skema jual-beli istishna berbentuk pemesanan rumah dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati, serta pembayaran dengan nilai tertentu yang disepakati pula.
  3. Skema sewa (ijarah) adalah skema yang memberi pilihan kepada nasabah untuk menyewa rumah yang akhirnya dapat dimiliki hingga akhir masa sewa. Nantinya, harga sewa ditentukan secara berkala berdasarkan kesepakatan antara bank dengan nasabah. Pada umumnya skema ini digunakan untuk PPR berjangka waktu panjang misalnya 15 tahun. Pada akhir tahun jatuh tempo, nasabah dapat membeli rumah yang disewa.
  4. Skema sewa beli (Ijarah Muntahia Bittamlik/IMBT) adalah skema PPR kepemilikan bertahap. Bank dan nasabah berserikat dalam kepemilikan rumah. Secara bertahap nasabah akan menambah porsi kepemilikannya melalui angsuran setiap bulannya, sementara bank secara bertahap mengurangi porsi kepemilikannya, sehingga di akhir periode rumah menjadi milik nasabah.
  5. Skema Kepemilikan Bertahap (musyarakah mutanaqisah/MMQ), yakni bank syariah dan nasabah berkontribusi modal dengan prosentase tertentu dan nasabah kemudian membeli ‘bagian’ yang menjadi milik bank secara bertahap sampai kepemilikan rumah tersebut sepenuhnya berada di tangan nasabah.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us