[CERPEN] Lebaran Tahun Ini Ibu Pulang

Seorang remaja laki-laki duduk termenung di tepi pantai dekat dermaga tempat kapal-kapal besar berhenti. Menurunkan penumpang dan mengangkut penumpang baru untuk diberhentikan di pelabuhan lain. Sepuluh tahun hal itu menjadi pemandangan sehari-harinya. Saat akan berangkat sekolah, pulang sekolah, dan hari libur. Namun, yang didapatkan tetap sama. Sosok yang ditunggunya tidak juga muncul. Hingga kini usianya sudah 17 tahun.
"Ibu harus pergi, San," kata perempuan usia 30-an dengan wajah sendu beberapa tahun lalu.
"Pergi ke mana, Bu?" tanya bocah laki-laki bernama Ihsan.
"Mencari kebahagiaan untuk masa depan Ihsan." Tangannya membelai lembut wajah mungil putranya. Mata perempuan cantik itu seakan-akan menandakan akan turun hujan. Sebisa mungkin ia menahan tidak keluar dari kelopak.
"Lama perginya?"
Segaris senyum melengkung. "Ibu akan cepat pulang."
Begitulah katanya. Namun, kenyataannya hingga detik ini perempuan cantik itu tidak juga pulang. Tidak ada satupun yang tau di mana keberadaannya. Bagaimana kabarnya. Dan, berada di belahan bumi bagian mana dia menjalani hidup.
"Ibu itu sebenarnya ke mana sih, Nek?" tanya Ihsan yang saat itu baru lulus sekolah dasar.
"Ibu lagi kerja. Cari biaya sekolah Ihsan."
"Tapi kenapa enggak pernah pulang?"
"Yang paling penting, Ihsan sekolahnya yang rajin. Jangan kecewakan ibu yang sudah banting tulang demi Ihsan."
"Tapi, Nek..."
"Sudah," kata neneknya dengan senyum kecil.
Masih banyak pertanyaan yang dimiliki Ihsan saat itu. Tapi setiap bertanya, tidak pernah mendapat jawaban memuaskan. Akhirnya anak itu memilih menanti dalam diamnya hingga saat ini. Walau yang ditunggu belum juga kembali.
Ihsan anak tunggal yang sudah ditinggal ayahnya sejak dalam kandungan. Kata sang nenek, ayahnya pamit pergi kerja untuk mencari biaya kelahiran Ihsan. Namun, kepergiannya juga berakhir tanpa kabar. Tidak pernah ada kiriman uang atau sepucuk surat memberitahukan kabar serta posisinya berada di mana. Hilang begitu saja. Seperti daun yang hanyut ke sungai. Terus terbawa arus ke depan, tanpa tau bagaimana cara kembali ke muasal.
"Kenapa ibu enggak pulang sampai sekarang, Nek?" tanya Ihsan dua minggu lalu. "Toh, ibu enggak pernah mengirimi uang buat nenek. Selama ini, untuk makan sehari-hari dan biaya sekolah, hasil kerja keras nenek bekerja di tempat Koh Yuan."
Tidak ada jawaban dari si nenek.
"Ihsan berhenti sekolah aja, Nek." Matanya menatap serius perempuan keriput di hadapannya. "Biar Ihsan yang gantikan Nenek cari uang. Ihsan sudah besar. Sudah seharusnya hidup mandiri."
Neneknya menggeleng tegas. "Tinggal satu tahun lagi, San. Udah enggak usah mikirin biaya. Nenek masih sanggup untuk bekerja. Sejak kamu kecil, Nenek melarang Ihsan bekerja agar Ihsan fokus sama sekolah. Tugas Ihsan belajar, belajar, belajar. Soal biaya itu jadi tanggung jawab Nenek."
"Nek..."
"San. Kalau kamu berprestasi, kamu bisa lanjut ke perguruan tinggi, nanti akan ada beasiswa buat kamu."
"Ihsan enggak berharap sekolah sampai perguruan tinggi. Yang Ihsan harap, Ihsan bisa ketemu Ibu. Cuma itu keinginan Ihsan saat ini."
"Ibumu pasti akan pulang. Doakan dia semoga selalu diberikan kesehatan."
Tanpa diminta pun, setiap lima waktu, setiap sepertiga malam, sebelum melelapkan mata, remaja itu selalu mendoakan ibu juga ayahnya. Hanya dengan doa yang dapat menjembatani keinginan Ihsan, semoga sampai pada Sang Pencipta.
*
Satu minggu berlalu setelah obrolan itu, saat Ihsan dan neneknya sedang duduk di teras menanti buka puasa, Pak RT datang membawa sebuah amplop coklat kecil. Katanya kiriman dari Jepang.
'Lebaran tahun ini ibu pulang...'
Kalimat itu bukan hanya membuat keduanya bahagia. Satu kampung yang mendengar juga turut lega dan bahagia. Bayangan lebaran menyenangkan dan akan menjadi lebaran pertama setelah 10 tahun terakhir lebaran yang dilalui terasa datar, labaran ini akan hadir pembeda. Dua insan itu menangis haru. Berterimakasih pada Sang Pencipta atas jawaban dari doa-doa yang dipanjatkan selama sepuluh tahun.
Satu minggu sebelum lebaran Ihsan bersemangat membantu neneknya membuat kue untuk jamuan para tamu saat lebaran. Lalu malam takbiran, lontong sudah matang. Opor ayam dan sayur nangka kesukaan Asih—ibu Ihsan dibuat khusus oleh nenek. Keduanya menanti. Mempersiapkan segalanya sepenuh hati.
Bahkan pada malam takbiran itu, Ihsan menanti kedatangan ibunya di dermaga sampai waktu mendekati fajar. Menahan kantuk yang mendera luar biasa. Untung saja ada suara deburan ombak pantai yang memecah setiap hening. Menurutnya penyiksaan itu akan segera berakhir. Jadi, tidak ada salahnya menyiksa diri pada hari terakhir penantian.
Paksaan dari neneknya yang membuat laki-laki itu menyerah pada penantian. Dia pulang untuk melelapkan mata sebentar. Tiga puluh menit kemudian matanya terbuka. Waktu subuh tiba. Kembali doa-doa menembus langit.
"Apa kapal ibu salah tujuan?" tanya Ihsan pada neneknya sebelum menuju masjid untuk salat idul fitri.
Neneknya tidak memberikan jawaban apapun.
"Atau surat itu yang palsu, Nek?" Ihsan kembali mengajukan tanya. "Sepertinya, lebaran tahun ini tetap sama seperti lebaran sebelumnya. Mungkin kita terlalu berharap pada kepulangan sosok yang kabarnya enggak pernah terdengar. Kita bodoh, Nek. Menanti hal yang enggak pasti."
Kebodohan itu tetap dilanjutkan Ihsan. Setelah salat idul fitri, dia melangkahkan kaki menuju dermaga yang sunyi itu. Tidak ada kapal yang singgah. Kapal terakhir yang melakukan pemberhentian dua hari lalu masih berada di sana.
Helaan napas panjang terdengar. Hari menjelang siang. Seharusnya dia keliling kampung untuk bermaafan. Ah, bahkan dia pun belum meminta maaf pada neneknya. Penantian benar menguras waktu, pikiran, serta tenaga. Maka janganlah biarkan waktu terbuang percuma. Isilah waktu dengan sesuatu yang berguna.
"Ihsan...." teriakan itu berasal dari kejauhan.
Setelahnya langkah tergopoh-gopoh menjadi bahan pendengaran. Semakin dekat suara itu berganti menjadi napas yang naik-turun.
"Ada apa, Mal?" tanya Ihsan.
Anak laki-laki seusianya itu menatap mata Ihsan dalam. "Ibumu sudah pulang."
Mendengar kalimat yang terlontar dengan serius itu, tanpa memperlama waktu Ihsan langsung berlari menuju jalan pulang. Sesekali meneriakman kata ibu dengan nada riang. Sesekali dua tangannya mengepal ke udara. Mulutnya mengucapkan terima kasih pada Sang Pencipta. Telah mempertemukan kembali dua insan yang sudah saling merindukan.
Teman Ihsan menatap dengan kasihan tubuh kurus yang berlari meninggalkan seluruh luka.
*
Beberapa meter dari tepi jalan, dilihatnya warga kampung berkerumun di rumahnya. Ihsan tersenyum untuk pertama kalinya setelah beberapa tahun terakhir dia lupa cara menarik sudut bibirnya.
Anak itu berlari sekuat tenaga. Meluruhkan di sepanjang jalan segala luka yang selama ini membebaninya. Penantian benar-benar berakhir.
Tangannya menyibak kerumunan orang-orang yang menghalangi jalan mencapai pusat keramaian. Saat dia berhasil menyibak kerumunan dan sampai di pusatnya, tubuhnya kaku di tempat melihat neneknya menangis sejadi-jadinya di samping tubuh yang ditutupi kain.
Pak RT mendekati Ihsan. Mengelus punggungnya. Menyalurkan rasa simpati pada remaja itu.
Senyuman yang beberapa menit lalu sempat merekah, kini berganti menjadi guratan kesedihan. Air mata tak lagi tertahankan untuk bertahan. Tangis remaja itu pun pecah sejadi-jadinya. Tangannya mengepal dan memukul-mukul lantai.
"Bus yang ditumpangi ibumu kemarin malam mengalami kecelakan tunggal. Ada belasan orang yang meninggal. Salah satunya ibumu, San," jelas Pak RT.
Lutut Ihsan lunglai. Tubuhnya ambruk di tempat itu. Iya, lebaran tahun ini ibunya pulang. Namun, keadaannya sudah tak bernyawa. Ibunya pulang, pulang pada Sang Pencipta.Dunia hanya persinggahan. Setiap yang bernyawa akan kembali pada pencipta-Nya. Suka atau tidak suka, orang-orang yang menyayangi harus mengikhlaskan. Karena suatu ketika mereka juga akan kembali. Tinggal menunggu giliran saja.
Apa yang paling menyakitkan, selain sudah belasan tahun tak bertemu, lalu ketika terpetik kabar akan ada pertemuan, nyatanya yang datang adalah raga yang sudah tak bernyawa. Sedih. Begitulah yang dialami Ihsan.
Titik paling menyakitkan dalam hidupnya adalah saat ini. Kehilangan orang yang disayang. Bukan hilang karena diambil orang lain, tapi meninggalkan bumi untuk selama-lamanya.
Penantian itu selesai. Selesai dengan lebih memilukan.
***