[Cerpen] Lelaki yang Ingin Bunuh Diri

Aku tak bermaksud bergosip, tetapi sungguh. Aku benar-benar tak tega melihat Yasin. Semenjak ditinggal Rahma, sudah dua kali dia mencoba mengakhiri hidup. Dua hari pasca istrinya itu pergi, dia mengikat gendongan anaknya ke tiang dapur. Beruntung ibunya yang baru selesai kerja di gudang, datang dan berteriak kencang. Yang terakhir, setelah mendapati ibunya sakit stroke dan tak bisa bangun dari ranjang. Dia membeli racun tikus seharga empat ribu lima ratus, lalu disisipkan ke tahu yang sudah direbus. Kali ini, giliran Mastur yang kebetulan melihat Yasin di pasar dan penasaran, lalu membuntutinya sampai ke rumah.
Orang-orang tak ada yang menyalahkan sikap Yasin yang memilih ingin bunuh diri. Sebab perlakuan Rahma memang benar-benar bejat. Seandainya kepergian Rahma tak meninggalkan jejak sekalipun bekas lipstik di cermin, tak apa. Sebaliknya, justru perempuan ini meninggalkan hutang sebesar delapan puluh juta tanpa sepengetahuan Yasin, suaminya.
Aku yang kebetulan bertempat tinggal di samping rumahnya, masih mengingat saat Rahma tak pulang seharian. Berulang kali Yasin menitipkan anaknya yang berusia dua tahun itu, demi mencari jejak Rahma. Aku yang belum diberi momongan, senang-senang saja dititipkan Riza. Baru keesokan hari, semua orang sudah paham kalau Rahma minggat. Dan sehari setelah itu, Yasin baru tahu kalau istrinya punya hutang delapan puluh juta. Sialnya, ibunya yang tak sanggup menerima kenyataan, kena serangan stroke dan sampai sekarang tak bisa bangun dari ranjang. Jadilah Yasin mengurus dua bayi. Satu bayi besar sedangkan satunya bayinya sendiri.
“Urus saja ibumu, Sin. Biar aku yang jaga Riza. Kalau butuh bantuan buat sehari-hari, katakan saja. Jangan ditutup-tutupi,” kataku yang tak tega melihat tubuh Yasin semakin ceking.
“Iya, Mbak. Terima kasih banyak sudah mau menolong.”
Aku mengangguk. Sengaja tak mau banyak cakap, sebab yang dibutuhkan orang seperti Yasin bukanlah percakapan tak jelas atau ucapan belas kasih, tetapi sokongan agar terus menjalani hidup. Itu saja.
Baru aku menggendong Riza yang tengah menangis, Misni datang dengan wajah sangar. Tatapannya sangat tajam. Tanpa salam, dia langsung mencecar Yasin yang masih mengenakan sarung kusut.
“Sebentar lagi sudah bulan puasa, Sin. Aku bakal ditagih orang-orang. Kamu mau aku giring ke polisi?”
“Bukan begitu. Seandainya aku bisa membayar hutang dengan dihukum, aku ikhlas di penjara.”
“Enak saja! Rahma itu punya hutang lima puluh juta, dan kamu mau bayar pakai hukuman? Kamu pikir orang-orang yang menabung seribu dua ribu setiap hari itu tak pakai uang?”
Misni pergi. Sepertinya, ini sudah kelima kalinya dia menagih uang tabungan lebaran. Di kampungku, orang-orang menabung ke Misni selama sepuluh bulan. Misni pun dengan rajin mengunjungi warga yang ingin menabung, kendati yang ditabung hanya seribu dua ribu. Sang pemilik tabungan nantinya bisa mengambil pada tanggal lima belas bulan Ramadhan. Umumnya, ibu-ibu akan meminta minyak goreng, gula, biskuit untuk lebaran, dan sedikit uang untuk membeli daging.
Aku memaklumi bagaimana orang-orang di kampung sangat geram melihat kelakuan Rahma yang menggunakan uang tabungan. Sebab harapanku merayakan lebaran, juga berada di tabungan itu. Beruntung suamiku selalu membesarkan hati. Katanya, aku tak perlu marah-marah karena masih memiliki Tuhan. Justru aku harus berempati melihat Riza yang hidupnya sudah malang sedari kecil. Tetapi aku penasaran. Penasaran uang yang dipinjam Rahma digunakan untuk hal apa. Mengingat, dia tak punya toko kelontongan dan tak bekerja. Hanya Yasin yang bekerja sebagai tukang las.
“Tak baik bergosip aib orang lain, Bu,” tegur Mas Herman saat kutanyakan perihal hutang Rahma.
“Bukan bergosip, Mas. Tapi Mas Herman tahu sendiri, delapan puluh juta itu tak sedikit. Iya kalau dibuat bangun rumah atau usaha. Tapi, ini?”
Suamiku geleng-geleng. Dia tetap memapah Riza yang mulai belajar berjalan.
“Atau sebenarnya Yasin sudah tahu hutangnya Rahma dan pura-pura melas?”
“Kalau Yasin tahu, buat apa dia mau bunuh diri?”
Benar juga yang dikatakan Mas Herman. Percobaan bunuh diri yang dilakukan Yasin bukan hal remeh. Tetapi aku tetap penasaran, uang tersebut digunakan untuk apa. Dan rasa penasaran ini, ternyata bukan aku saja. Orang-orang juga ingin tahu uang yang dipinjam Rahma itu digunakan untuk apa.
Setelah pamit membeli gula di toko Mak Ju, aku melihat kerumunan ibu-ibu di depan toko. Sesuai dugaanku, mereka lagi menggunjing hutang Rahma. Sepertinya, istri Yasin itu sudah terkenal sekarang.
“Tak mau nimbrung, Bu?” tanya Mak Ju sambil mengulurkan sekilo gula. “Lagi cerita Rahma yang katanya tak pergi ke Malaysia.”
Aku yang tengah merogoh uang di saku daster, penasaran dengan yang disampaikan Mak Ju. “Yang benar, Mak?”
“Iya, Bu. Barusan Narti melihat Rahma di pesisir selatan. Katanya, Rahma berjalan sambil menutupi mukanya takut ketahuan Narti.”
Aku hanya tersenyum lalu pamit pulang. Aku tak mau berlama-lama. Bisa-bisa, Mas Herman marah kalau tahu aku ikut bergosip. Belum sampai di pintu depan, Yasin datang memanggil.
“Saya nitip Riza sama Ibuk, ya, Mbak. Tolong dijaga baik-baik.”
Aku yang merasa keanehan dengan pembicaraan Yasin, tak jadi masuk rumah.
“Kamu mau kemana? Kayak yang mau pergi ke luar negeri saja.”
“Saya cuma ke rumah Jumarto, Mbak. Mau jual rumah.”
Aku yang tersekat mendengar penuturan Yasin, berusaha mencegah lelaki itu. Tetapi Yasin hanya tersenyum dan berjalan dengan menunggangi sepeda bututnya. Cepat-cepat aku berjalan ke dalam rumah, dan memanggil Mas Herman.
“Kita juga tak bisa bantu, Bu. Seandainya rumahnya dijual, paling hanya laku lima sampai enam puluh juta.”
Riza yang mulai rewel, sengaja kugendong agar tak terus menangis. “Masak iya, Mas hanya segitu?”
“Lah, luasnya kan memang segitu, Bu?”
Dipikir-pikir, memang benar tafsiran harga Mas Herman. Rumah dan pekarangan Yasin memang tak seberapa luas. Itupun, bersebelahan dengan bekas penambangan batu. Pasti harga jualnya tak semahal tanah yang memiliki tekstur tanah rata.
Tetiba, Riza tak mau berhenti menangis kendati sudah kutimang keluar masuk rumah. Mas Herman bahkan ikut bingung. Tak biasanya bayi yang suka ceria ini menangis lama. Biasanya dia akan berhenti menangis setelah Mas Herman berlagak seperti badut. Sayangnya, usaha mas Herman sia-sia. Riza semakin lancang menangis. Aku kebingungan mencari cara mendiamkan tangisannya. Tetiba, saat aku berusaha mendiamkan tangisan Riza, Mistor datang dengan muka pucat. Dia memberi kabar kalau Yasin mati tertabrak mobil. Aku tak kuasa mendengar penuturan Mistor. Sebab sebelum Yasin menuju ke sepeda bututnya, dia berbisik ke telinga. Katanya, sisa hutang setelah menjual tanah dan rumahnya, akan dibayar Jasa Raharja.