[CERPEN] Mendung

Mendung, langit kelabu, matahari hanya muncul sebentar di pagi hari tadi. Malu-malu dan kemudian hilang lagi bersembunyi. Hujan hanya rintikan-rintikan kecil dan kemudian sama sekali kering menghilang.
Hari ini hari yang nyaman untuk hanya berkurung di rumah bagi orang-orang yang sudah hidup berkecukupan. Tapi untuk orang-orang dengan wajah penuh jelaga dan keringat tiada pilihan lain selain bekerja atau berbuat sesuatu lainnya.
Tahun baru, ya sekarang tahun telah berganti. Bertambah lagi satu tahun usia kemiskinan dan kelaparan. Tiada sama sekali yang berganti, malah semakin banyak wajah-wajah murung kehitaman, kelaparan…
Di salah satu sisi kota, hari ini jalanan telah macet! Ribuan manusia berwajah penuh jelaga dan lumuran keringat, menegang! Campuran perasaan sedih dan tidak puas akan kehidupan yang sudah semakin mencekik leher.
Mereka digusur!
Dipaksa menyingkir dari tempat mereka biasa mencari makan untuk kebutuhan perut sehari-hari. Kesedihan akibat kelaparan yang tiada kunjung berakhir ditambah penggusuran ini, membuat mereka marah. Tidak terima pada keadaan yang menyingkirkan mereka. Pemerintah, adalah pihak yang bertanggung jawab atas semua ini. Atas kelaparan! Atas penggusuran! Ini.
Sejak dari tadi pagi, ribuan kere dari berbagai tempat telah berkumpul di lapangan parkir dekat pusat pertokoan kota ini. Tadi malam semua rencana telah disusun, yaitu mereka akan menduduki kantor pemerintah kota, yang dalam hal ini adalah Gubernuran.
Tukang becak, tukang parkir, pedagang kaki lima, preman, tekyan (sithik tur lumayan/istilah masyarakat jalanan Jogja untuk rakyat kecil pencari recehan), pelacur, pengamen. Mereka-merekalah yang tertimpa kesengsaraan selama ini dan mencoba untuk melawan semua nasib dan takdir yang dibuat sesama manusia ini.
Jam 09.00 mereka mulai berbaris rapi untuk berjalan kaki menuju kantor Gubernuran yang terletak tidak jauh dari parkiran ini. Suara dan asap knalpot kendaraan bermotor bersahut-sahutan di jalanan sebelah parkiran, seperti biasanya jalanan ini selalu dipenuhi oleh kendaraan-kendaraan dengan orang-orang yang menuju ke pusat pertokoan kota.
Dengan suara-suara membahana memenuhi udara dari kerongkongan pemimpin aksi massa, seorang lelaki bertubuh tinggi besar dengan garis-garis wajah tegas, yang menandakan ia tidak suka mengalah dan memilih untuk berseberangan dengan penindasan.
“Rakyat bersatu tak bisa di kalahkan! Rakyat bersatu tolak penggusuran!” berulang kali yel-yel itu diteriakkan ke udara dan seiring dengan itu wajahnya yang keras itu bertambah keras dan semakin tegas. Wajah yang merindukan kedamaian tapi dipaksa keras oleh keadaan. Lagu-lagu dinyanyikan, semua orang mengikuti bait-bait yang dinyanyikannya. Ia berusaha untuk membakar semangat orang-orang yang tersingkir ini, dengan yel-yel dan lagu-lagu.
Naiknya harga bensin hari ini membuat mereka tidak sungkan-sungkan lagi untuk melawan. Kemarahan dan ketidak puasan tergambar dari wajah-wajah mereka yang semakin kehitaman dan berjelaga terkena semburan asap hitam knalpot buangan pembakaran solar.
***
Bergerak dengan langkah-langkah serentak menumpukan tubuh di atas kaki-kaki kokoh yang telah terbiasa ditempa kerasnya kehidupan. Para pelacur yang biasa menjajakan tubuhnya demi sesuap nasi dan menerima semua perlakuan laki-laki hidung belang yang memberi uang sebagai ganti dari beberapa jam tindihan pada setiap sendi-sendi tulang, tubuh mereka. Hari ini dengan berani berjalan bersama para kere lainnya. Siap menerima akibat apa pun dari perlawanan mereka ini.
Seorang pengamen muda usia dengan celana sobek-sobek kumuh berlumuran debu jalanan. Berjalan mengiringi mereka.
Seorang lelaki brewokan, ubanan, berkepala setengah botak. Mengamati, barisan ribuan manusia ini. Wajahnya memancarkan kelicikan dan kebusukan, terbiasa bergembira di atas penderitaan orang lain. Biasanya ketika para anjing penjaga, memukuli manusia-manusia yang tidak puas, ia akan ikut serta. Sebelumnya dengan menggunakan telpon seluler dipanggilnya anjing-anjing penjaga agar segera datang. Dengan itu segepok uang didapatnya, yang berakhir di kamar pelacuran dan meja judi. Itulah kehidupan mata-mata sialan, parasit nya kaum miskin.
Sementara itu kaki-kaki kokoh barisan manusia tadi, melewati Lumpur-lumpur kehitaman yang bau, pinggir jalanan aspal. Seorang lelaki muda bertubuh tegap, matanya nyala memandangi semua kejadian ini. Ia berjalan di belakang si pengamen muda. Kulitnya yang gelap, terlihat berseri-seri, wajahnya yang keras semakin menegang, menyimpan kebahagiaan terpendam. Berkali-kali suaranya yang lantang mengeluarkan kata-kata pemberi semangat dan peringatan pada barisan manusia itu.
“Hari ini rakyat sendiri yang berhak menentukan nasibnya! Beratus tahun kita dijajah! kita miskin dan sebagian dari kita mati. Hari ini lah kita merebut kembali apa-apa yang pernah mereka rampas dari kita! Hati-hati jangan mau dibodohi sama mereka-mereka di sana itu! Mereka punya mobil, bisa makan enak tapi kita?! Kita tidak punya apa-apa selain tenaga dan semangat kita!”
Orang-orang yang mendengarnya semakin semangat dan meningkat kemarahannya. Semakin tidak terima, tidak puas akan nasib yang tidak pernah berpihak pada mereka semua.
Seorang pelacur tua, berambut kriting kusut masai. Berjalan di depan ikut serta memimpin para pelacur. Dengan pedih ia berkata lantang.
“Saya ini sudah tua! Seharusnya saya tidak lagi jual daging ke mana-mana, tapi kenyataannya saya tetap jual daging ini untuk makan! Tidak ada keadilan bagi penjual daging seperti saya ini”.
Anjing-anjing penjaga berseragam hanya bisa memandangi kejadian ini. Tidak mampu berbuat apa-apa untuk menghalanginya. Mereka hanya sibuk berpangku tangan, termangu saja, tidak seperti biasanya ketika yang protes ratusan maka mereka berani untuk memukulkan senjata-senjata yang mereka punyai pada orang-orang yang protes. Ketika itu biasanya darah mengucur dan membuat mereka memukul kesetanan.
***
Langit masih mendung ketika mereka sampai di Kepatihan Gubernuran. Ruangan tanpa dinding dengan pilar-pilar kayu dan beratapkan genteng tanah liat, lantainya ubin yang terasa dingin ketika diduduki. Biasanya yang bisa duduk di pendopo ini hanya orang-orang yang punya uang dan pangkat saja, di sini mereka bertemu merumuskan pemerasan demi pemerasan terhadap rakyat.
Kali ini kaki-kaki kokoh berlumuran Lumpur dan debu jalanan menginjak-injak tempat ini. Mereka mendudukinya, tak seberapa lama lantai tengah-tengah pendopo tak kelihatan lagi diduduki ribuan manusia. Lelaki bertubuh tinggi besar tadi, memberikan pengarahan pada ribuan manusia itu. Dengan tegas ia memimpin ribuan kere yang diikuti dengan sorakan pertanda setuju oleh mereka.
“Sekarang kita telah sampai di tempat yang selama ini selalu menjadi penyebab dari semua kesengsaraan yang menimpa kita. Sekarang kitalah, rakyat miskin yang seharusnya menentukan nasib kita sendiri. Tidak ada gunanya percaya pada pemerintah yang tidak pernah memperhatikan nasib kita! Hidup rakyat miskin!”
“Hidup!!!” teriak ribuan kere itu serentak, suara mereka yang bergemuruh seolah akan meruntuhkan semua bangunan di Kepatihan ini. Menyurutkan nyali, para pejabat berperut buncit yang tidak terbiasa berhadapan dengan orang-orang miskin sebanyak ini.
Nyanyi-nyayian dan yel-yel perlawanan, disuarakan oleh mereka dengan semangat. Dua orang anjing, terlihat berdiri tak seberapa jauh dari kerumunan itu. Seperti seekor hyena mereka memandangi tanpa berkedip buruannya, para kere. Kalau mereka melihat gelagat bahwa kerumunan para kere itu tercerai-berai, seperti elang mereka akan meyanbar dengan kejam mangsanya. Tapi siang ini para kere sangat solid, beberapa orang pengaman aksi, berjalan berkeliling, mengawasi penyusup-penyusup yang dianggap membahayakan.
Pelacur tua tadi menyanyikan tembang ande-ande lumut, berkisah tentang perkawinan antara penguasa dengan rakyat tapi setelah selesai nembang ia berkata dengan kesal:
“Kalau sekarang penguasa hanya mau memperkosa rakyat! Tapi setelah itu ditinggalkan dengan perut bunting! Daging pesing ini adalah saksi hidup dari kekejaman mereka yang punya uang dan kekuasaan! Sekarang daging ini sudah tua tidak ada lagi yang mau menyantapnya…” katanya getir, kerumunan kere hanya membisu, prihatin bercampur geram terhadap mereka-mereka yang telah menyengsarakan mereka.
Mereka terus bernyanyi dan menggemuruhkan udara dan bangunan dengan nyanyian serentak mereka. Tidak ada penguasa atau pun para anjing yang berani mendekat, ciut nyalinya melihat kerumunan kere yang tidak kenal takut ini.
Pengamen muda usia tadi tiba-tiba berjalan ke tengah-tengah mereka, disambarnya pengeras suara dan ia bernyanyi lantang tanpa alat musik.
Mengapa harus ada yang digusur
Sementara mereka juga punya hak
Apakah ini namanya pembangunan
Kalau rakyat kecil selalu jadi korban
Haruskah untuk keindahan kota
Penguasa korbankan mereka yang lemah
“Rakyatlah seharusnya yang punya kuasa! Bukan mereka-mereka yang hanya bisa memberikan kelaparan dan kemiskinan!” ucapnya dengan lantang dan singkat. Yang bersambut dengan tepukan riuh para kere.
Seorang bapak berperut buncit dan wajah yang jarang terkena sinar matahari, berjalan dengan pengawalan dua orang anjing penjaga ke tengah-tengah kerumunan. Ia membawa kertas yang berisikan tuntutan.
Para kere menyoraki dan memakinya.
“Ini bajingan yang menyengsarakan kita!” kata salah seorang kere. Yang disambut oleh kere-kere lainnya.
“Gantung saja!”
“Ya gantung saja!”
“Telah hadir bapak pejabat di sini, yang merupakan kepanjangan tangan dari penguasa yang tidak pernah berpihak pada rakyat miskin! Tidak ada gunanya untuk mempercayakan nasib kita rakyat miskin pada mereka semua! Kita sengsara dan mereka menari di atasnya!” kata pemimpin aksi dengan suara lantang lewat corong pengeras suara.
Bapak berperut buncit itu gemetaran dan menggigil, takut menghadapi manusia-manusia ini.
Dicobanya untuk menenangkan tapi para kere malah semakin geram, tak henti-hentinya memaki.
“Tenang-tenang, saudara-saudara nanti kita pertimbangkan nasib saudara. Perda penggusurannya akan kami tunda pelaksanaannya” katanya dengan nyali yang sudah semakin ciut.
“Tidak bisa pak! Kami tidak mau ditunda, tapi kami menolak perda itu! Salah seorang kere berkata marah.
Seorang tukang becak yang sudah tua, wajah terbakar, berkata menyambut.
“Jangan asal gusur saja pak. Kami di sini cari makan, tidak baik asal gusur seperti itu”.
Hampir semua kere, merubungi pejabat itu, layaknya ribuan lalat mengerumuni bangkai. Mereka membantah setiap kata-katanya, tidak ada yang setuju, menolak dengan tegas.
Akhirnya ia mengalah dan berkata bohong:
“Baiklah, saya akan mengabulkan semua tuntutan anda”.
“Kami tidak butuh janji pak! Tapi bukti!” teriak pelacur setengah umur di depannya.
Kemarahan membara dan lelaki gendut berkulit bersih itu hanya bisa melihat sekelilingnya dengan cemas. Pimpinan aksi, memerintahkan agar barisan kaum miskin segera meninggalkan kepatihan. Pejabat tadi pergi dengan lesu dan lunglai. Ia tidak bisa berbuat apa-apa di tengah ribuan orang miskin.
Gegap gempita, dengungan dari pengeras suara, menghiasi siang yang masih mendung dan enggan disinari matahari. Para pelacur, tukang becak, pedagang kaki lima, tukang parkir, copet dan tekyan berbaris menjadi satu, melewati penginapan-penginapan kumuh dan lokalisasi, tempat di mana mereka ketika malam harinya mencari nafkah.
Para penduduk di pinggir jalan Pasar Kembang memandangi barisan itu dengan wajah senang. Mereka juga sebenarnya ingin ikut bergabung, mereka juga tidak ingin digusur, kehidupan yang sudah semakin parah, naiknya harga, mereka tidak tahu lagi ke depannya mereka mau makan apa.
Langit masih mendung, semendung suasana hati mereka semua, kelaparan dan kemiskinan seperti mendung yang tak kunjung berakhir, akankah hujan suatu kali menyirami bumi mereka dan mereka tidak lagi berada dalam kegelapan mendung? hanya mereka semua para kere yang bisa menghilangkan semua mendung itu dengan darah dan denyut nadi perlawanan mereka, suatu masa ketika kegelapan mendung hilang, masa ketika para kere berkuasa, mereka yang tidak punya apa-apa lagi selain tenaga dan semangat.