[CERPEN] Menunggu

Angin berhembus dengan bebas di taman kota. Suasana terlihat sendu didominasi warna jingga dedaunan yang berguguran. Dedaunan itu berkejaran diterpa angin, menambah pilu hati yang sedang menunggu. Di bangku taman kota itu, selalu ada seorang gadis yang berdiam diri tanpa kata. Di sebelahnya terdapat sepeda putih pucat dengan keranjang hitam berisikan bunga segar warna – warni. Orang-orang lalu lalang acuh melewatinya. Seakan ia tak ada. Lagipula, gadis itu terlihat tak peduli. Sejak lama ia di sana. Entah menunggu siapa.
***
Luar biasa. Rey telah bekerja keras untuk Tugas Akhir kuliahnya kali ini. Ia puas dengan hasil jerih payahnya beberapa bulan terakhir. Ia akan segera resmi menjadi seorang lulusan terbaik yang berkualitas. Bagaimana tidak, Rey telah menempuh masa perkuliahannya dengan hasil indeks prestasi cumlaude dan telah diterima di sebuah perusahaan IT ternama bahkan sebelum dia diwisuda. Betapa bangganya ia. Selain itu, ada satu hal yang paling membuatnya bahagia. Bahwa tepat hari ini, July, wanita yang ia sayangi sejak 3 tahun yang lalu, akan menjawab ungkapan perasaan yang diutarakannya tempo hari. Ia berdebar menunggu July di bangku taman kota, tempat mereka akan bertemu sekaligus pertama kali mereka bertemu.
Sembari menunggu July, Rey sibuk mengetuk layar smartphonenya. Bukan ada hal khusus. Hanya untuk membunuh waktu saja. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh datangnya seorang gadis suram dengan sepeda kayuh warna putihnya. Tanpa suara ia duduk di samping Rey perlahan. Rey bingung. Bagaimana ini? Ini kan tempat pertemuan kami? Pikirnya.
“permisi.. Apa kamu menunggu seseorang?” tanya Rey sambil mencari tahu seberapa lama gadis itu duduk di sisinya. “iya. Aku sedang menunggu,” ujarnya singkat. Alamak! Tentu akan lama. Sepertinya gadis ini bernasib sama dengannya. Menunggu seseorang yang dicintai. Rey segera beranjak ke bangku sebelahnya untuk memberikan gadis itu privasi.
Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Tidak ada tanda – tanda July akan muncul. 13 panggilan telepon telah diluncurkan Rey secara bertubi-tubi, tetapi tidak ada jawaban. Apa July lupa? Tetapi apa mungkin untuk hal sepenting ini? Ia melihat menerawang. Di depannya terdapat hamparan rumput luas tempat para mahasiswa bersendau gurau dan berdiskusi. Hal yang biasa ia lakukan dengan July dulu. Di sisi lain terdapat seorang anak yang sedang mengejar kupu-kupu. Di bagian tengah terdapat air mancur sedang yang gemericik airnya begitu syahdu. Tak sengaja, tepi mata Rey menangkap bayangan si gadis suram tadi. Rupanya, sama seperti Rey, ia masih menunnggu seseorang. Ia penasaran. Siapa yang ditunggu gadis itu?
***
“menyebalkan!!!”
“ada apa Rey? Udah malam nih!” gerutu Ardy, teman sekamar asramanya.
“gara-gara ini!!” ujar Rey gusar.
maaf Rey. aku tidak akan datang.
***
Pesan singkat dari July kemarin sore membuat Rey sebal. Bagaimana tidak, ia sudah menunggu hampir 3 jam untuk bertemu dan mendengar jawaban darinya. Dan dia hanya mengucapkan maaf tanpa ada usaha untuk membuat janji bertemu lagi.
“masih marah?” tanya Ardy keesokan harinya.
Rey diam saja. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan July. Sejak kemarin ia tidak bisa terhubung dengan July. Bahkan hari ini pun ia belum bertemu dengan July. Sahabatnya pun tidak dapat ia temui. Semua seperti menghindar ketika Rey bertanya tentang July. Padahal mereka semua tahu kalo Rey dekat dengan July sejak dulu.
“terus kamu mau apa?” ulang Ardy. Ia belum puas dengan reaksi dari Rey.
“apalagi Ar? Ya balik lagi nanti ke taman kota nunggu July.”
“Sakit lo ya?” jawab Ardy sambil menggeleng-geleng.
Rey tidak peduli. Bahkan, walaupun teman dekatnya merasa ada yang tidak beres dengan July, ia tetap optimis bahwa July juga menyukainya. Ia telah bersama dengan Rey sejak mahasiswa baru. Ketika July ada masalah, orang pertama yang dicarinya adalah Rey. Begitupun sebaliknya. Dan tidak ada alasan apapun untuk July menolaknya. Memikirkan itu membuatnya semakin percaya diri.
***
Rey sedikit terlambat hari ini karena hujan. Baru setelah reda ia berlarian menuju taman kota. Angin dingin berhembus seakan tak mengerti keadaan. Tetapi Rey acuh. Selama apa yang dilakukannya berhubungan dengan July, hatinya akan selalu hangat.
Rey mendapati gadis kemarin duduk di bangku taman lengkap dengan sepedanya. Dia terlihat basah kuyup. Bahkan bunga-buga dikeranjangnya terlihat lepek. “kamu lagi!” sapa Rey. Gadis itu hanya menoleh. Rey tak ragu duduk disampingnya. Toh dia kan masih menunggu July. “kamu nunggu siapa? Pacar ya?” tanya Rey.
“Bukan.”
“terus siapa?”
“kamu nunggu siapa?” tanya gadis itu tanpa menjawab pertanyaan Rey.
“aku lagi nunggu temanku. Sebenarnya teman yang aku sayangi. Dan dia akan memberikan jawaban dari perasaanku kemarin. Tetapi ia tidak datang. Maka dari itu hari ini aku kembali lagi untuk menunggunya.” Ujar Rey riang.
“siapa nama kamu?”
“o iyaa.. kita belum kenalan ya? Namaku Rey. Kamu?”
“aku Dinda.”
Beberapa menit berikutnya mereka kehilangan kata. Rey sibuk dengan smartphonenya. Dinda sibuk dengan lamunanya. Pertanyaan Dinda tiba-tiba memecahkan keheningan di antara mereka. “kamu mau nunggu sampai kapan?”. Rey terkejut. Ia tak pernah mendapat pertanyaan sejurus itu. “apa?” tanyanya. “seseorang yang kamu tunggu. Apakah pasti akan datang?”ulangnya. Rey tertegun. “apa maksudmu berkata seperti itu?”
***
Hampir dua minggu. Setiap sore, Rey selalu menunggu July. Tanpa kabar dan pesan, July menghilang begitu saja. Sejak hari di mana seharusnya ia mengungkapkan semuanya. Hari di mana ia mengirim pesan singkat untuk terakhir kalinya. Setelahnya, July bagai ditelan bumi, entah ada di mana dan bagaimana kabarnya.
Gadis itu, selalu duduk dengan anggun di samping sepeda putihnya, menunggu. Ditemani Rey yang sesekali mengajaknya bicara. Cukup canggung karena gadis itu memiliki kebiasaan melamun. Namun, beberapa hari terakhir, perbincangan mereka mulai cair. Walaupun Dinda selalu menghindari pertanyaan mengenai siapa dan mengapa ia menunggu. “bagaimana Din, apakah orang yang kau tunggu akan datang hari ini?”.”Mungkin,” jawabnya singkat. “bagaimana denganmu, Rey?”.”Tentu. dia pasti akan datang. Aku memiliki feeling positif hari ini.” Ujarnya sambil tertawa.
Hari berganti hari. Minggu berganti bulan, dan waktu terus bergulir, tetapi July tidak pernah datang. Rey yang optimis mulai ragu. Ia ragu akan janji July untuk membalas perasaan yang ia miliki padanya. Ia telah menunggu berbulan-bulan, setiap sore, di bangku taman yang sama, tetapi gadis yang ia cintai tak pernah datang. Akhirnya,
“aku menyerah,” ucapnya lirih.
“Rey?”
“aku menyerah, Din. Sudah cukup. Tak mungkin dia datang. Harusnya aku sadar dari awal sejak dia membatalkan pertemuan kita dulu. begitulah caranya menjawab perasaanku,” jelasnya dengan perih.
“Jika ia memang bermaksud untuk menemuimu, dia akan segera menghubungimu sejak dulu. Bukannya malah meninggalkanmu tanpa jejak seperti ini.”
“kamu benar, Din. Aku tidak akan keras kepala lagi. Aku menyadari dan mengakui apa yang terjadi. Aku tidak bisa pura-pura tidak tahu akan hal ini. Dinda, aku akan menyerah seutuhnya kali ini.” Dinda terdiam. “Din, aku sudah menyerah. Bagaimana denganmu?apakah kamu akan menyerah?” lanjutnya.
Dinda menatap Rey. Matanya yang sayu membuat setiap orang yang melihatnya menjadi iba. Tetapi di dalam matanya yang paling dalam, Rey bisa melihat jiwa yang tenang dan kuat. “Rey, aku dan kamu berbeda. Selama ini kamu menunggu kepastian semu dari seseorang. Sedangkan, selama ini aku berhadapan dengan kepastian yang tidak pernah datang.”
Dinda tersenyum geli dan menerawang langit cerah yang muncul di atas mereka. “menyerah? Jika aku menyerah maka aku kalah, Rey. Selama ini, aku sama sekali tidak bermaksud menunggunya, karena aku telah menyadari kenyataan yang ada. Tetapi rupanya aku telah jatuh cinta terlalu, sehingga aku tak mampu melupakannya. Aku terlalu lelah untuk mencoba melupakan kenangannya. Kali ini, aku menunggu kelelahan yang tidak berujung ini berhenti.”
Rey bungkam. Dinda kembali melamun. Untuk beribu kalinya, mereka kembali kehilangan kata.