[CERPEN] Mortal Kombat dan Kenangan

Bagi Usman, game Mortal Kombat adalah nostalgia masa lalu, semasa SMP, di Kampuang, tepatnya di sebuah ruko temaram, yang terletak di dalam kompleks ruko di tengah pasar Kampuang. Seingat Usman, tempat perangkat video game yang biasa dioperasikan dengan koin seratus rupiah itu telah berpindah beberapa kali. Sebelumnya di belakang gedung sebuah Bank Pemerintah di Kampuang. Setelah itu di samping kedai lontong “Sakato”.
Ia dan temannya, menyebutnya dengan "Dingdong". Jadi kalau mau mengajak teman bermain ke tempat itu, mereka biasanya akan berkata, “Main dingdong yuk”. Biasanya semua anak kecil dan remaja sudah mengerti kata itu.
Mortal Komnat, adalah salah satu game dingdong, yang menarik perhatian Usman, selain Street Fighter. Berbeda dengan Street Fighter yang grafisnya berupa animasi seperti gambar komik, Mortal Kombat menampilkan grafis yang berwujud seperti manusia nyata. Walaupun hanya sekedar menonton orang main dingdong Mortal Kombat, Usman dan kawan-kawan, sudah senang, dan biasanya akan membicarakannya sampai berhari-hari.
Yusuf si raja dingdong Mortal Kombat, adalah orang yang sering ia lihat memainkan game itu. Kebetulan perangkat dingdong yang berisikan game Mortal Kombat hanya satu, sehingga orang yang bermain harus mengantre. Antrean akan semakin panjang, jika Yusuf bermain. Ia biasanya akan bermain lama, dengan modal satu koin 100 rupiah. Terkadang bahkan, Yusuf berhasil memainkannya sampai tamat, dan mengalahkan bos terakhir, Shao Kahn.
Gosip yang berkembang, dari Imran, Yusuf biasanya selalu membawa lima puluh hingga seratus koin seratus rupiah sampai menguasai cara bermain suatu game tertentu. Setelah menguasainya, barulah Yusuf bermain dengan menggunakan satu koin saja.
Usman kala itu, memercayai begitu saja gosip itu, sembari membayangkan kantong celana pendek Yusuf yang menggembung, karena dipenuhi koin.
Kadangkala, Usman memberanikan diri untuk bermain melawan Yusuf di game Mortal Kombat. Ia biasanya memilih karakter Scorpion, yang bersenjatakan tombak berantai yang disebut Kunai. Sementara, Yusuf selalu memilih Karakter Sub-Zero, yang bisa mengeluarkan es dari telapak tangannya yang membekukan lawan-lawannya jika terkena.
Setelah game Mortal Kombat, bisa dimainkan dengan perangkat video game yang bisa disambungkan ke televisi di rumah, seperti SEGA dan Playstation, Usman sudah jarang sekali mengunjungi tempat dDingdong itu. Bahkan Yusuf, yang biasanya menghabiskan waktunya bermain di dingdong, malah sering ke rumah Usman, untuk bermain game Mortal Kombat di perangkat video game milik adik Usman. Terkadang, untuk itu, pada akhir minggu, sekitar hari Sabtu, Yusuf berada di rumah Usman dari pagi sampai malam.
Pada tahun 1999, Usman pindah kuliah ke Jogja, di sana ia bertemu kembali dengan Yusuf, yang bernama lengkap Yusuf Al Masih, tersebut. Mereka memang tidak pernah memainkan game Mortal Kombat di Jogja, akan tetapi, game itu masih menjadi topik perbincangan mereka, ketika bertemu dan mengobrol di tempat kos Yusuf.
Hubungan Usman dan Yusuf pun sempat renggang, ketika Usman, yang terlalu hanyut dalam organisasi dan ideologi kekiri-kirian, seringkali mendebat Yusuf yang anti-komunis. Puncaknya, adalah suatu kali di kos Usman, yang terletak di dekat perempatan Kentungan.
“Hari ke hari, ideologi dan orang-orang komunis kelihatannya makin bebas di Indonesia”, ucap Yusuf.
Usman meradang, ia kemudian berkata menanggapi, “Maksudnya bagaimana Suf? Komunis atau sosialis itu kan tujuan mereka adalah untuk mewujudkan keadilan sosial, apa salahnya para penganutnya hidup bebas?”.
“Mereka anti agama, para komunis itu”, jawab Yusuf dengan begitu yakin.
“Ah tidak juga Suf, makanya baca dulu sejarah Indonesia, apakah betul semua orang komunis itu anti agama? Padahal, dalam sejarahnya, para pendiri Partai Komunis Indonesia, sebagian adalah para tokoh dan aktivis Syarikat Islam, bahkan di antara mereka juga ada para haji, seperti Haji Misbach dari Solo!”, ucap Usman menanggapi dengan nada tinggi.
“Bagiku tetap Man, komunis itu anti agama, dan aku tidak terima mereka bisa hidup bebas di Indonesia!”, jawab Yusuf dengan nada tinggi juga.
“Kau salah Suf, kapitalisme lah yang harus dibasmi, paham itu yang bikin Indonesia krisis dan sebagian besar rakyat Indonesia miskin!’.
Setelah mendengar perkataan Usman tersebut, Yusuf pun pergi begitu saja tanpa pamit. Padahal beberapa bulan sebelumnya, mereka berpergian berdua dari Kampuang ke Jogja, naik bus bersambung kereta api.
Hampir setahun, Usman tidak bertemu Yusuf, baru pada pertengahan 2001, Usman sempat lewat di kos-kosan Yusuf, dan ia hanya melambaikan tangan saja, menyapa Yusuf yang sedang berdiri di depan pagar kos.
Tahun 2003, saat Usman mengalami mental breakdown, akibat terlalu serius berpikir dan mempraktekkan pandangan kekiri-kirian, ia memutuskan meninggalkan kuliahnya, menenangkan diri di Kampuang. Tubuh Usman saat itu kurus kering, ia kehilangan selera makan, lebih banyak merokok dan minum kopi saja.
Suatu siang, sehabis bersepeda keliling Kampuang, Usman pulang ke rumah, tanpa disangka, di ruang tamu lantai dua, ternyata Yusuf tengah mengobrol dengan kedua orang tuanya. Usman tidak tahu, apakah mereka menceritakan kondisinya pada Yusuf atau tidak, yang jelas, setelah itu mereka bermain game Mortal Kombat di kamar Usman.
Yusuf sama sekali tidak menyinggung terkait kondisi Usman, ia terlihat bersikap biasa, seolah tidak terjadi apa-apa. Saat itu, Yusuf sudah lulus kuliah di jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), dan sudah bekerja di salah satu perusahaan otomotif besar di Indonesia.
“Bagaimana kerja Suf, seru?”, tanya Usman tiba-tiba pada Yusuf yang tengah memainkan karakter Sub-Zero melawan bos pertama, yaitu Goro, raksasa bertangan empat dengan wajah menyeramkan.
“Biasa saja Man, seperti praktik kerja lapangan, bedanya kta dibayar lebih banyak, he-he-he”, jawab Yusuf singkat, sembari tetap berkonsentrasi penuh mencoba mengalahkan Goro.
Usman hanya manggut-manggut mendengarnya, ia mencoba membayangkan bagaimana Yusuf bekerja di bengkel dan di balik meja.
Kata-kata Yusuf tentang pekerjaannya tersebut, tanpa disadari Usman telah membuat dirinya berkeinginan lagi untuk melanjutkan kuliahnya yang terbengkalai. Tak berapa lama, ia pun kembali ke Jogja, mencoba menata kembali kuliahnya yang berantakan.
Setelah itu, lama ia tidak memainkan Mortal Kombat. Ingatannya hampir melupakan game tersebut, sampai suatu kali, saat bekerja menjadi seorang guru di sebuah sekolah internasional di Jakarta, muridnya yang bernama Alexander, terobsesi dengan game perang, Call of Duty dan game dunia gangster, Grand Theft Auto, yang penuh kekerasan.
Usman mencoba mengomentari penggambaran Alexander terhadap game-game yang dimainkannya tersebut, “Jangan main game kekerasan ya, main Mortal Kombat saja”.
“Hahh, Mortal Kombat itu kan lebih parah Sir”, jawab Alexander menanggapi.
Usman hanya tersenyum menanggapi perkataan muridnya tersebut. Ingatannya kembali melayang ke game Mortal Kombat yang telah dikenalnya empat belas tahun sebelumnya.
Sekitar pertengahan tahun 2017, saat tinggal di Inggris, Usman yang tengah dilanda kesulitan hidup, harus beradaptasi dengan kehidupan dan kondisi alam Inggris yang dingin, dengan biaya hidup yang tinggi. Ia bertemu lagi dengan game Mortal Kombat terbaru, yang ternyata bisa diakses dari perangkat telepon pintar.
Latar cerita game tersebut, sudah banyak berkembang. Berbagai karakter baru bermunculan, seperti Cassie Cage, yang ternyata adalah anak Johny Cage dan Sonya Blade. Selain itu, ada karakter Jacqui Briggs, yang merupakan anak hasil pernikahan Jax Briggs, tentara bertangan bionik, teman seperjuangan Sonya Blade, dengan Vera.
Mulailah Usman memainkan kembali game tersebut. Di atas bis, ketika akan pergi ke tempat kerja, atau menjemput anaknya, di dalam toilet, atau di rumah, ketika anaknya Ali dan istrinya, Annie telah tertidur lelap.
Suatu kali difotonya karakter Scorpion di layar telepon selulernya, dan dikirimkannya ke Yusuf. Akan tetapi, entah karena sibuk, atau kurang paham, Yusuf tidak menanggapi pesan gambar yang dikirimkan Usman tersebut.
Ketika pulang ke Indonesia, setahun berikutnya, Usman mencoba mengunduh lagi game Mortal Kombat yang sudah dihapurnya, sebelum pulang ke Indonesia. Akan tetapi, karena koneksi internet yang tidak stabil, dan memory perangkat telepon seluler yang dimilikinya, sudah hampir penuh, Usman tidak berhasil mengunduh game tersebut.
Enam tahun kemudian, pada tahun 2024, Usman akhirnya berhasil mengunduh dan memainkan game Mortal Kombat di tablet yang dimilikinya. Ruko temaram di Kampuang, tempat perangkat dingdong Mortal Kombat, Yusuf yang tengah memainkan dingdong, jalanan di sekitar ruko tersebut, yang berbatu, sedikit becek dan berlumpur. Dua adik laki-lakinya, yang tengah menonton Usman dan Yusuf memainkan game itu. Itulah beberapa kenangan masa lalu yang tergambar dalam ingatan Usman. Hal-hal yang sepertinya sudah tidak bisa ditemuinya lagi.
Karena tinggal dan menetap di Jogja, yang sangat jauh dari Kampuang, maka Usman harus mengeluarkan uang jutaan untuk pulang ke Kampuang. Yusuf sepertinya juga sudah tidak mungkin ke rumah Usman yang dulu lagi untuk memainkan game Mortal Kombat, karena rumah tersebut sekarang sudah menjadi rumah sakit.
Adik Usman, seorang dokter yang bernama Bambang, memutuskan untuk mengubah rumah tersebut menjadi rumah sakit ibu dan anak atau RSIA. Semenjak ayah mereka meninggal dunia pada tahun 2016, Bambang kemudian mengambil alih pengelolaan klinik bersalin yang sudah dirintis ayah Usman dua puluh satu tahun sebelumnya.
Adik laki-laki Usman, yang satunya lagi, sudah tinggal dan menetap di Amerika Serikat, ia menikahi warga negara sana, dan memutuskan untuk pindah kewarganegaraan.
Setelah memainkan beberapa pertarungan di game Mortal Kombat, suatu malam, Usman terdiam menatap layar tablet yang dimilikinya itu. Ia hanyut dalam kenangan, mengingat masa lalu, yang sudah tak mungkin terulang kembali.