[CERPEN] Pengkhianatan Bambang

Di sore hari yang kelabu namun sejuk, Usman membara dalam kemarahan. Mengapa demikian? Baru saja ia menerima pesan singkat dari adik laki-lakinya, seorang dokter kandungan di Kampuang.
Adiknya yang bernama Bambang ini, melanjutkan mengelola Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) yang telah dirintis oleh ayah mereka dulu, seorang dokter kandungan, sekitar pertengahan 90-an. Usman lah yang sebenarnya dulu diproyeksikan menjadi pelanjut RSIA ini, sebagai dokter kandungan. Akan tetapi, karena ia tidak berminat sama sekali menjadi dokter, dan lebih memilih berkuliah di jurusan filsafat Universitas Gadjah Mada, maka orangtuanya terpaksa mewajibkan, dengan setengah memaksa adik-adiknya, yang tiga orang itu untuk menjadi dokter kandungan.
Yang pertama diwajibkan, adalah Nurhayati, adik perempuan Usman yang telah diterima berkuliah di jurusan teknik industri pada salah satu universitas negeri di Padang. Awalnya ia mau ikut UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) lagi, atas saran ayah mereka. Akan tetapi, setelah diterima, di fakultas kedokteran Unand, Nurhayati ternyata menolak mendaftar ulang, walaupun ayah mereka memintanya.
Nurhayati memilih protes dengan cara mengurung diri di kamarnya, dan mengguntingi semua baju yang dimilikinya. Ayahnya kemudian menyerah, dan mengalihkan kewajiban pada dua orang adik laki-laki Usman, yaitu Bambang dan Nassar.
Bambang awalnya menolak, ia memilih berkuliah di jurusan teknik mesin salah satu universitas negeri di Medan. Akan tetapi, karena memang dasarnya anak manja yang tidak bisa hidup mandiri, Bambang akhirnya menyerah dan bersedia mengikuti permintaan kedua orangtuanya untuk berkuliah di jurusan kedokteran di sebuah universitas negeri di Padang.
Saat itu, ada jalur mandiri untuk masuk fakultas kedokteran universitas negeri tersebut. Perbedaannya, jalur mandiri ini biayanya jauh lebih mahal daripada jalur biasa. Akan tetapi, karena memang ayah mereka sangat ingin anaknya menjadi dokter, maka biaya mahal tersebut tidak jadi soal baginya.
Suatu kali, ketika pulang ke Padang dan menginap di rumah orangtua mereka di sana, Usman bertanya kepada Bambang, “Mengapa kau tinggalkan kuliah di jurusan teknik mesin di Medan, Mbang?” tanya Usman, di kamar Bambang.
“Cari masakan Padang yang enak, susah di sana Bang,” jawab Bambang singkat.
“Kan, bisa kau beli di warung Padang atau di Ampera, di sana, kan, banyak kayaknya,” ucap Usman menanggapi.
Malamnya, Usman bertanya pada ibunya, terkait mengapa si Bambang mau pindah kuliah ke fakultas kedokteran. Ibunya kemudian menjelaskan, “Kami sebenarnya tidak begitu meminta dia kuliah di kedokteran, Man. Ibu dan Ayah paham bahwa otaknya tidak sepintar kalian bertiga. Dia yang minta ke Ibu untuk pindah kuliah ke Padang, katanya tidak mau tinggal sendirian di Medan”.
“Oo... begitu rupanya, kupikir karena disuruh Ibu dan Ayah,” ucap Usman menanggapi.
Dalam hati Usman berkata, “Dasar anak manja!” ia kemudian tertawa terbahak-bahak, sampai ibunya heran mengapa dia bisa tertawa seperti itu.
“Kenapa kau, Man, kok, tertawa-tawa seperti orang gila?” tanya ibunya.
“Ah, tidak apa-apa Bu, itu film kartunnya lucu sekali, hahaha,” jawab Usman sekenanya.
Beberapa tahun kemudian, Nassar juga diarahkan oleh kedua orangtua mereka untuk kuliah di jurusan kedokteran. Ia kemudian mendaftar dan diterima di jurusan kedokteran umum, salah satu universitas negeri kenaman di Surabaya. Karena otaknya memang encer, ia tidak perlu mendaftar lewat jalur mandiri, seperti Bambang. Sehingga biaya kuliahnya juga jauh di bawah biaya kuliah Bambang.
Sayangnya setelah lulus kuliah dan menjadi seorang dokter, Nassar memutuskan pindah dan studi lanjut ke Amerika Serikat, dengan dukungan biaya sepenuhnya dari kedua orangtua mereka. Setelah 12 belas tahun di sana, ia pun akhirnya memutuskan menikah dengan seorang laki-laki di sana, dan pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Amerika Serikat. Hal yang tidak mungkin dilakukannya di Indonesia karena Indonesia bukan termasuk negara yang melegalkan pernikahan sejenis.
***
Usman masih menahan marah di atas kursi ruang tamu rumahnya. Tangannya gemetar membalasi pesan singkat adiknya, Bambang.
Awalnya, Usman yang mendapat kabar dari kenalannya di Kampuang, bahwa Lampir sedang mengumpulkan aset-aset ibu Lia untuk dijual, meminta saran pada istrinya, Annie terkait hal itu. Annie kemudian menyarankan Usman untuk mengirim pesan singkat ke Bambang, yang intinya adalah supaya Bambang tidak menjuali aset-aset ibu mereka, untuk membiayai penyelesaian kasus penggelapan ratusan juta yang dilakukan oleh istri kedua Bambang.
“Mbang, aku tidak rela, ya, kalau kau juali aset-aset ibu, untuk menyelesaikan kasus penggelapan si Lampir,” begitu bunyi pesan Usman ke Bambang.
“Abang kalau tidak tahu apa-apa, tidak usah kasih saran!” balas Bambang lewat pesan singkat.
“Karena aku tahu makanya kukirimi kau pesan ini, Mbang,” balas Usman.
“Aku ingin berkelahi dengan Abang, kalau kita ketemu!” balas Bambang dengan kasar.
“Silakan saja, kalau ketemu suatu hari nanti, ayo, kita berkelahi! Dasar kurang ajar kau, Mbang! Semoga Allah memberi balasan yang setimpal padamu!” jawab Usman marah besar.
Si Lampir, istri kedua Bambang memang telah menjadi tersangka penggelapan ratusan juta rupiah, teman arisannya lah yang melaporkannya ke polisi.
Istri keduanya ini dulunya adalah mahasiswa Bambang di jurusan kedokteran pada salah satu perguruan tinggi swasta di Padang. Lampir, begitu namanya, seringkali menggoda Bambang dengan genit, tak peduli dia kalau Bambang adalah suami orang. Setiap ketemu, ia selalu menyapa Bambang, dengan sebutan “Pak dokter ganteng”. Bambang yang LDR-an (Long Distance Relation), dengan istrinya, Sumarni, lama-lama tergoda dan mengajak Lampir berkencan. Mereka kemudian berpacaran dan menikah siri.
Sumarni yang mengetahui pengkhianatan dan perselingkuhan Bambang, marah besar dan melaporkannya ke polisi. Ayah Sumarni kebetulan juga adalah seorang polisi dengan pangkat Kompol (Komisaris Polisi). Ia selalu mendampingi Sumarni saat melakukan pelaporan ke Polres Kampuang.
Bambang memang tinggal di Kampuang, menjalankan RSIA rintisan ayah mereka, sejak tahun 2016. Istrinya, Sumarni, tidak mau ikut ke Kampuang dan memilih tinggal di Batam bersama kedua orangtuanya karena tidak cocok dengan Ibu Lia, ibunya Usman dan Bambang. Penyebabnya adalah karena Bambang selalu menyampaikan semua kata-kata istrinya ke mertua istrinya, atau ibunya, begitu juga sebaliknya, tanpa di-filter terlebih dahulu.
Akibatnya, ibu Lia menjadi tidak simpati sama sekali dengan Sumarni dan keluarganya. Ia berpandangan bahwa mereka ingin merebut RSIA dari tangannya.
Suatu kali, sehabis Lebaran tahun 2016, ibu Lia mengadu ke Usman sambil menangis. Ia ingin supaya Bambang tidak bersama Sumarni lagi.
“Ibu sudah tidak kuat lagi, Man, pokoknya ibu ingin mereka pisah! Bagaimanapun caranya”.
Usman bingung menanggapinya. Ia paham bahwa komunikasi antara Sumarni dan ibunya tidak baik, dan Bambang malah memperburuk komunikasi tersebut, entah sengaja, entah tidak, dengan kepolosannya.
Akhirnya, dibawanyalah ibunya ke tempat seniornya semasa kuliah dulu. Seorang keturunan kiai, Gus Ramzy. Di sana, ibunya menyampaikan semua keluh kesahnya pada Gus Ramzy. Gus Ramzy lalu meminta si ibu untuk berdoa kepada Allah SWT dan mengikhlaskan Bambang jika ingin semua rasa yang membuatnya stres dan tertekan itu hilang.
Setahun setelah itu, Bambang dipertemukan dengan mahasiswi genit yang bernama Lampir. Mereka kemudian menikah secara resmi, setelah proses cerai Bambang dan Sumarni selesai di pengadilan.
Sebelumnya, untuk mengambil hati ibu Lia, yang sudah terkena dementia, Bambang memperdayai ibunya sendiri itu untuk menjual satu kilogram perhiasan emas miliknya. Setelah itu, Bambang mengatakan pada ibunya yang sudah terperdaya, bahwa uang hasil penjualan perhiasan emas itu sudah dikirimkan ke Usman sebanyak tiga ratus lima puluh juta rupiah dan ke Nassar sebanyak seratus lima puluh juta rupiah. Padahal, uang itu dibawa oleh Lampir, ditaruh di dalam sebuah koper. Koper ini kemudian dibawa ke rumah ibunya Usman dan Bambang yang terletak di lantai dua RSIA. Uang lima ratus juta dalam koper itu, kemudian diperlihatkan pada ibu Lia.
Bambang bilang pada ibunya bahwa uang itu adalah sumbangan dari Lampir untuk pembangunan RSIA. Ibunya yang sudah linglung, hanya bisa percaya pada Bambang yang telah memperdayainya dengan licik. Selanjutnya, Usman yang dituduh telah menerima transferan ratusan juta rupiah dari ibunya. Usman yang tengah melanjutkan studi di Inggris, sebenarnya butuh uang itu untuk membayar uang kuliah selama satu tahun. Persoalannya, ia tidak menerima transferan uang sama sekali dari ibunya saat itu.
Hal inilah yang membuat Usman pulang ke Indonesia untuk mencari tahu apa sebenarnya yang telah terjadi, siapa yang telah memperdaya ibunya. Dari hasil investigasinya terhadap para pegawai yang juga orang-orang terdekat ibunya, Usman mengetahui bahwa ternyata ini semua adalah permainan Bambang dan selingkuhannya, istri sirinya, si Lampir.
Usman marah besar terhadap Bambang dan semua orang yang membelanya. Akibatnya, ia dimusuhi oleh banyak orang. Ibunya bahkan tidak mau menerima telepon Usman yang ingin berbicara dengannya. Hal ini berlangsung sampai 2019.
Istrinya, Annie kemudian menyarankan Usman untuk pulang ke Kampuang, meminta maaf dan mencuci kaki ibunya. Air cucian kaki itu kemudian harus digunakan Usman untuk membasuh wajahnya.
Setelah itu semua dilakukan Usman, ibunya menjadi berbalik sayang pada Usman. Komunikasi mereka jadi lancar kembali. Di sisi lain, Usman, atas permintaan ibunya, harus menerima pernikahan Bambang dan Lampir. Hal yang dilakukan oleh Usman dengan berat hati.
Lampir kemudian secara perlahan menguasai RSIA milik ibunya Usman. Para saudara dan orang terdekatnya, ditempatkan oleh Lampir pada berbagai posisi penting di RSIA.
Lampir memilih tidak frontal dengan ibu Lia, ia sadar bahwa ia akan kalah jika begitu. Permainannya yang halus ini, membuat ibunya Usman itu tidak antipati padanya. Hal ini berlangsung sampai 2025. Ketika pengacara mantan rekanan bisnis si Lampir memberinya somasi dan meminta Lampir mengembalikan uangnya ratusan juta, yang telah dibayarkannya ke Lampir, untuk membuka bisnis karaoke di Kampuang.
Puncaknya adalah ketika Usman mengirimkan pesan singkat terkait kasus penggelapan yang dilakukan Lampir ke Bambang. Bambang yang angkuh meminta Usman untuk tidak ikut campur dan menantangnya berkelahi.
***
Malam harinya, Usman termenung sendirian, di ruang tamu rumahnya. Ia sudah berusaha sedari tadi untuk menghalau rasa marah dari dadanya. Tak lupa ia berdoa kepada Tuhan, supaya diberi jalan yang terbaik untuk menghadapi ini semua.