Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Sebelum Bulan Berakhir

ilustrasi siluet pasangan berdansa (pexels.com/Josh Hild)

Rumput-rumput hijau menghiasi taman, sungai meliuk-liuk mengikuti tepi tanah dan ditemani oleh beberapa pohon yang sibuk mengeluarkan karbon dioksida karena tidak mampu melakukan fotosintesis di malam hari. Bulan yang pucat dibantu oleh lentera-lentera yang menggantung di pucuk tiang yang melengkung, di setiap rumput berpijak dan gelap untuk memberikan sinar kehidupan. Sadara duduk menyandar kepada salah satu pohon hanya untuk menatap sungai yang diam, beristirahat di malam hari layaknya manusia. Ia tidak sendirian di sini, tetapi entah kemana temannya menjelajah di taman yang luas ini, mungkin ia sedang mendengarkan musik jazz di radio tuanya dan memutuskan untuk membaca buku atau sekedar memakan keripik kentang yang ia bawa di sini seraya melihat taman yang dipenuhi dengan hijau untuk menyegarkan matanya.

Lamunan menghampiri ia dengan bayang-bayang yang selama ini menghantuinya disetiap dirinya atau bahkan disetiap matanya menyadari keberadaan taman ini. Sebuah taman yang penuh dengan kenangan, apalagi kenangan ia dengan temannya, Brama. Sekarang tidak seperti dulu dan hal itu yang membuatnya ingin memutar balik roda kehidupan dan abadi dalam masa lampau. Sadara ingin jadul dan terus menua di masa lalu, tetapi ia tahu itu mustahil, amat mustahil.

Jam menunjukkan pukul satu pagi, harusnya ia sudah beristirahat di atas ranjang dan pergi menyapa bunga-bunga tidurnya. Namun, ia mulai tersadar bahwa istirahat bukan hanya tidur, melainkan lepas dari masalah dunia yang sedang menimpanya. Ia mulai berpikir bahwa keputusan ini adalah keputusan tepat, di malam hari yang sepi hanya ada dia dan temannya yang abadi di sini, berdua, menghadapi sunyinya malam yang sejuk. Hujan telah berakhir sejak jam sebelas malam, rumput-rumput yang ia gunakan untuk duduk lembab, melembabkan celana panjangnya serta kaos kakinya yang berwarna putih bersih itu, dan sepatunya ia letakkan di atas akar pohon yang menjalar ke sekitarnya.

Sadara ingin menggunakan radio tua milik Brama dan mendengarkan koleksi musik jazz milik kakeknya. Sadara bukannya suka dengan lagu selera kakeknya Brama, ia hanya akan mendengarnya bila Brama di sini dan duduk di samping Sadara sembari memakan keripik kentang dengan rasa jeruk nipis pedas. Meskipun Brama tahu Sadara akan mengoloknya sebagai pria tua yang terjebak di tubuh pria muda, Brama hanya cukup mengabaikan Sadara dan tersenyum seraya memakan keripik kentangnya karena reaksi tenang itu yang membuat Sadara tidak puas. Perempuan itu terus melamun, berpikir bagaimana kondisi radio tua itu di tangan Brama atau di samping Brama. Semenjak laki-laki itu tidak ada di sampingnya sekarang.

"Jangan Melamun, itu berbahaya.”

Itu Brama, ia duduk di samping Sadara tepat seperti apa yang perempuan itu bayangkan. Dengan keripik kentang rasa jeruk nipis pedas dan radio tua yang ia pangku, Brama duduk di sampingnya seraya menatap kepada rembulan pucat yang menemani mereka.

“Dramatis banget kamu, aku cuman bentar aja ngelamunnya kok.”

Brama tidak membalas, ia menyalakan musik jazz dari radio tuanya.

Sadara hafal musik yang pertama kali terdengar saat Brama menyalakan radio tuanya. Ia menatap Brama dengan senyuman yang jahil.

“Aku di samping pria tua.”

“Oh kamu yang akan menua, Sadara.”  

Sadara membalas ia hanya dengan dengusan kesal saat ia bersedekap dada dan ikut menatap bulan seperti apa yang Brama lakukan. Musik jazz menghiasi sunyinya malam, Sadara tidak benci juga tidak suka dengan musik tua yang Brama putar. Disetiap sunyi yang mereka bagi, disetiap musik jazz tua yang mereka dengar bersama, tidak ada yang pernah bisa menggantikan momen ini. Siapa lagi yang mau menemani Sadara di tengah taman, malam hari, membawa radio tua pemberian kakeknya, dan memakan keripik kentang rasa jeruk nipis dan pedas kalau bukan Brama?

            Fly me to the moon

            Let me play among the stars

            Let me see what Springs is like

Senandung Brama tidak pernah Sadara lewati, suara Brama yang berhasil meretakkan kesunyian malam. Lagu Fly Me To The Moon, penyanyinya adalah Frank Sinatra. Sadara berpendapat bahwa Brama menyukai lagu tersebut, perempuan itu melirik Brama ketika laki-laki itu menambah volume radio sedikit lebih keras. Instrumen-instrumen mulai menemani suaranya lebih keras pula, membiarkan Brama memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi selagi ia menyumbangkan suaranya dengan sukarela di alam yang hijau ini, di taman yang penuh kenangan, di taman yang ia harap, ia dan Sadara selamanya memiliki kenangan indah.

Brama meletakkan radio tuanya ke samping sekaligus keripik kentangnya yang sebentar lagi akan habis. Laki-laki itu menatap Sadara dengan tatapannya yang antusias, senyuman lebarnya terlukis jelas di wajahnya tanpa ada jeda sekaligus. Ia berdiri dari tempat ia duduk, meninggalkan Sadara dengan tanda tanya di wajahnya. Perempuan itu mendongak ke atas, wajah Brama diredupkan oleh cahaya rembulan dan dihangatkan oleh cahaya lentera malam yang bersinar di taman. Laki-laki itu mengibaskan rerumputan yang menempel pada celana pendeknya, kini belakang celananya tampak basah, setidaknya rumput-rumput yang menempel di sana telah tiada dan jatuh kembali ke atas permukaan taman.

Brama menjulurkan tangannya kepada Sadara.

“Mau berdansa denganku?”

“Eh?” Kedua alis Sadara terangkat saat jantungnya berdegup dengan kencang, bagaimana mungkin temannya mengajak ia berdansa ditengah-tengah musik jazz bersenandung di radio tuanya? Namun, senyuman laki-laki itu tak pernah luntur dari wajahnya saat ia menunggu jawaban dari perempuan yang kini masih duduk di atas rerumputan yang lembab itu, seakan merayunya untuk menuruti apa yang ia minta, bahkan permintaannya terdengar seperti perintah. Pandangan Sadara turun kepada tangannya yang masih terjulur, lalu meletakkan tangannya di atas milik Brama saat ia mulai berdiri dari tempatnya.

“Kenapa tanganmu dingin banget?”

“Nanti ga akan dingin lagi kok, ayo sini,” Brama menggapai kedua tangan Sadara dan mengenggamnya dengan lembut, Jemari sadara ia letakkan di atas jemarinya, dengan jempolnya yang ia letakkan di buku-buku jari Sadara ketika ia menatap Sadara yang sedang kebingungan sekaligus merona. Ia tidak bisa menyalahkan Sadara bereaksi seperti itu.

Sebelum lagu yang berputar di radio tuanya berakhir, Brama melangkah ke kanan dan ke kiri. Satu langkah ke kanan dan satu langkah ke kiri, mengundang senyuman lebar dari Sadara selagi ia memerhatikan langkah Brama, tak kuasa menatap laki-laki itu, apalagi menunjukkan senyuman lebarnya. Mengikuti irama instrumen yang menunjukkan karakter jazz. Sadara merasakan dinginnya angin menyapu lengannya dan diganti dengan cepat oleh nafas hangat dari Brama ketika laki-laki itu maju satu langkah kepadanya, ia mendongak dan disapa dengan senyuman hangat dari Brama sebelum ia memutar Sadara.

Gerakan yang sangat lembut, tetapi tetap membuat perempuan itu terkejut. Ia menikmati dansa yang dipandu oleh temannya, meskipun rasanya canggung dan Sadara tidak hanya satu kali tidak sengaja menginjak kaki Brama, laki-laki itu tetap memaafkan Sadara meskipun tidak berbicara langsung. Sadara membiarkan kaos kakinya bergesekan kepada rumput-rumput lembab yang membuat kaos kakinya basah. Tawa demi tawa keluar dari mulut mereka berdua seraya mengikuti irama dari lagu. Sadara mengikuti langkah yang dibuat oleh Brama. Mendekat, menjauh, berputar, ke kanan, dan ke kiri, di atas rembulan yang bersinat pucat, mengikuti irama lagu sembari angin menyejukkan malam yang terlewat sunyi ini. Sadara tak berani berbicara, takut memecah suasana yang membuat ia merasakan hanya ada dia dan Brama di dunia ini, berdansa, selain itu adalah radio tua milik Brama.

Lagu demi lagu berputar seperti roda sepeda berlarian di atas rerumputan hijau, tidak pernah berhenti dan semakin jauh dengan garis mulai. Kaki kanan Brama bergerak mundur maka kaki kiri Sadara maju seakan mengejarnya, tidak ingin buta gerakan. Gerakan-gerakan yang mereka ciptakan menyisiri rerumputan hijau yang mengilap di bawah sinar rembulan, menyapa mereka dengan berbagai gerakan ramah, mengabaikan fakta bahwa kaki mereka terkadang menginjak kerikil dan basah karena rumput-rumput lembab. Brama mengintip langit dari sisi kepala Sadara, kemudian tatapannya jatuh kepada perempuan itu dan tersenyum lembut. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, tetapi Sadara tahu bahwa ia senang di dalam sunyi. Angin menemani mereka seperti selimut lembut yang menjaga mereka dari realita pahit, menyapu halus rambut Sadara yang panjangnya hampir menyentuh punggung.

Tidak ada dari mereka berdua yang sadar. Matahari mulai menampakkan dirinya dari arah timur bumi, diam-diam menyelinap keluar dan menggantikan bulan yang pucat itu, bersamaan dengan musik jazz yang akan mencapai akhir. Tawa dari Sadara perlahan memudar dengan lembut saat lagu dari musik jazz berhenti, diakhiri dengan suara redup yang perlahan menghilang. Perempuan itu menoleh ke arah timur dan menyadari bahwa matahari akan muncul dari arah itu, ia tak sadar bila sudah selama itu ia berdansa, padahal rasanya baru 30 menit lalu ia berdansa.

Pandangannya teralihkan kepada sungai. Tiba-tiba angsa hitam muncul dari arah hulu taman. Angsa hitam itu mengapung di atas permukaan sungai dan berjalan ke hilir seraya menatap Brama. Sadara tidak mendapatkan petunjuk dari tatapan Brama ke angsa hitam itu, ia hanya terus menatap, melepaskan genggaman tangannya dari Sadara ketika angsa putih menyusul angsa hitam di belakangnya, menatap Sadara dengan tatapan yang seolah-olah mengundang Sadara untuk ikut dengannya, mengarungi sungai untuk bermuara di laut ketika angsa hitam menatap Brama penuh dengan kekosongan, berhenti bergerak dan berhenti ke tepi sungai, memberi jalan kepada angsa putih yang menghipnotis Sadara untuk berjalan ke arahnya, ikut dengannya untuk mencapai hilir sungai.  

Sebuah daun mendarat di pundak Sadara. Tangannya meraih ke sana untuk mengusir daun itu dari bahunya.

“Ketiduran lagi...” ia bergumam, perlahan mengangkat tubuhnya dari rumput-rumput basah itu dan pergi dari tempat dengan langkah yang terhuyung. Berjalan seperti tidak mengharapkan apapun, berjalan seperti tidak mengharapkan bahwa temannya bisa hidup kembali dan mengajak ia ke taman ini ketika libur tahun baru. Mungkin ia tahu, ia sadar bahwa bayang-bayang Brama akan terus menghantuinya, Brama yang abadi di taman ini dan Sadara tidak akan pernah melihat Brama dengan radio tuanya lagi, bersamanya, mendengarkan musik jazz yang jadul itu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Kidung Swara Mardika
EditorKidung Swara Mardika
Follow Us