[CERPEN] Riwayat Hujan Malam Ini

Aromamu tanah basah dan aku suka

Ada kesedihan yang memadati dada kami. Dahulu sekali, kami sering menangis. Tetapi lama-kelamaan, ketika menangis tak lagi memberi kami kelegaan, kami memutuskan untuk berhenti meneteskannya, air mata itu. Air mata tak lagi terasa berguna bagi kami. Jangankan memberi kelegaan yang teramat kami harapkan, benda cair itu bahkan terasa seperti kutukan.

Kami merasa hampa selepas menangis. Makin lama kami menangis, makin kami merasa kosong setelahnya. Malam seusai menangis, kami bahkan tak bisa terlelap barang sekejap. Air mata yang telah membanjir memaksa kami terjaga sepanjang malam. Tanpa belas kasihan, ia bahkan menyeret kami pulang pada setiap cerita kelam yang nyaris kami lupakan. Tiada kata untuk air mata itu selain sungguh-sungguh bajingan!

Dan kami merasa begitu bangga, yakin tak pernah sebangga ini, saat akhirnya kami bisa berhenti menangisi apa saja. Tak terkecuali yang membikin hati amat tersayat. Ya, hati kami tetap tersayat, sering kali tanpa ampun, namun tanpa perlu mengubah kami menjadi makhluk cengeng sesaat. Kami merasa begitu kuat, menang menghadapi setiap lawan, hanya karena kami tak pernah lagi menjatuhkan air mata.

Tidak yang deras, tidak pula sekadar menciptakan genangan yang membuat sepasang mata kami seperti sepotong kaca retak di tengah. Kami begitu jernih. Kami melihat matahari bersinar di mana-mana. Di atas kepala dan di bawah kaki, di depan dada dan di balik punggung. Sungguh dunia yang ceria.

Kalau tahu begini, kenapa tidak sedari dahulu saja ya, kami memutuskan berhenti mengeluarkan air mata? Atau lebih tepatnya, kenapa air mata mesti diciptakan untuk manusia? Manusia yang tidak pernah sekuat harimau. Manusia yang tak pernah setabah semut yang terlalu sering terbunuh tanpa pembunuhnya sempat merasakan kerikil dosa di bawah kaki dan sepatu mereka yang angkuh. Ah, mungkin Tuhan hanya sedang mengajak kami bercanda, satu-satunya makhluk yang bisa benar-benar tertawa.

Lalu hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, dan bulan menjadi tahun yang banyak saat kami mulai menyadari ada yang teramat keliru dari hidup kami. Seperti tanah saat kemarau memanjang tanpa batasan, yang bahkan itu belum pernah terjadi, kami merasa hidup kami begitu berdebu dan gersang.

Matahari tak lagi terlihat kuning di mata kami. Atau kemerahan, di awal pagi dan akhir petang. Matahari kami sekusam wajah para pecundang yang pulang untuk berkubang dalam liur sendiri yang telanjur dimuntahkan di waktu-waktu menjelang kepergian. Matahari kami berjelaga. Matahari kami perpaduan cokelat, hitam, dan keabu-abuan; sesuatu yang sama sekali tak bisa kami sebut indah. Matahari kami begitu muram. Matahari kami seperti setumpuk isyarat yang tak bersahabat.

Maka pertemuan segera diadakan. Kami duduk melingkar dan meraba-raba pangkal permasalahan. Kami bahkan sempat mengira matahari berhenti mencintai kami, cintanya telah berubah menjadi benci seperti jamak dalam kisah roman picisan.

Hingga salah satu di antara kami tiba-tiba mengacungkan jari meminta perhatian dan berkata, “Aku merasa ada yang menggumpal dalam dadaku.”

Suaranya yang lirih dan menunjukkan kesungguhan membuat semua terdiam. Lalu hening itu dipecahkan oleh satu per satu pengakuan yang paling jujur yang pernah kami buat.

“Ya, aku juga.”

“Ya, aku juga.”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Ya, aku juga.”

“...”

Begitulah, malam itu kami menjelma sekawanan anjing, menggonggong bersahut-sahutan. Sampai langit yang gelap pecah. Sampai langit kami serupa sepuhan perak.

Itu adalah hari ketika kami menyadari seharusnya kami tetap menangis sesekali. Itu adalah hari ketika kami merasa begitu ingin bahkan sudah berusaha memanggil-manggil pulang air mata kami. Itu adalah hari ketika kami benar-benar dibuat mengerti bahwa yang telanjur pergi sering kali tak akan sudi kembali lagi.

Air mata kami telah mengucapkan selamat tinggal. Air mata kami bukan bagian dari yang fakir perhatian, merengek meminta pintu kembali dibukakan. Air mata kami bukan sesuatu yang nista melainkan justru lebih terhormat daripada kami semua.

Di ketinggian, air mata kami berkacak pinggang. Selagi kesedihan menyayat dada kami habis-habisan. Petir menggelegar. Kelopak mata raksasa menurunkannya satu per satu, makin lama makin cepat dan tak terhentikan. Kami yang merasa begitu kuat dan menang menghadapi setiap lawan sontak berlarian mengusung serpihan hati yang remuk redam.

***

“Ceritamu bagus.”

“Aku bisa menceritakan kisah lainnya kalau kau mau.”

“Aromamu tanah basah dan aku suka.”

Di luar, derasnya hujan makin menjadi-jadi. Aku berharap bertahan sampai pagi.***

Baca Juga: [CERPEN] Fajar Senja, Perasaan yang Tak Sempat Diperjuangkan

Marliana Kuswanti Photo Verified Writer Marliana Kuswanti

Esais, cerpenis, novelis. Senang membaca dan menulis karena membaca adalah cara lain bermeditasi sedangkan menulis adalah cara lain berbicara.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya