SURAT TERBUKA Untuk Suamiku, yang Berusaha Menyalakan Rumah Tangga Kita

Istrimu adalah generator penerangan dalam rumahmu. Jika generator itu padam, maka gelap gulitalah seisi rumah

Duhai suamiku...

16 tahun telah kita lewati bersama dalam suka maupun duka. Dari kita yang bukan siapa-siapa sampai menjadi sesuatu untuk siap-siapa. Tapi wahai suamiku... Tahukah engkau bahwasanya sampai detik ini aku seperti belum mengenalmu yang sesungguhnya. Seolah ada jarak di antara kita.

Ketika kau jabat tangan ayahku, dan mengucapkan ijab kabul dalam meminangku, kau telah mengalihkan segala kasih sayang ayah yang sejak kecil kurindukan. Karena bagaimanapun aku saat itu masih lah belum cukup dan puas bersama mereka. Namun di hadapan Tuhan dan mereka orangtua dan keluargaku kau telah bersumpah dan berjanji berikrar untuk membahagiakan dan mendidik aku menuju Ridho Rabb ku.

Wahai suamiku...

Ketika iring-iringan pengantin mengarak kita ke pelaminan, kita terlalu bahagia dan tak pernah memikirkan bagaimana kita hidup nanti setelah turun dari pelaminan. Masih kah ada orang lain yang senantiasa tersenyum bahagia melihat kita duduk bak Raja dan Ratu di atas singgasana...?

Wahai suamiku...

Ketika kita lewati malam pertama kita, semua terasa indah dan dunia berasa milik berdua. Kita lupa orang-orang dan keluarga kita yang masih kelelahan di luar sana kerepotan membenahi segala pernak pernik pesta. Adakah terbersit di pikiran kita bagaimana lelahnya mereka menyatukan kita malam itu?

Duhai suamiku...

Seminggu berlalu dari hari pernikahan kita yang meriah. Kini tiba saatnya kita menata hidup kita kemana. Haruskan kita tetap serumah bersama orangtua ataukah kita keluar dengan meninggalkan mereka? Saat itu apapun keputusanmu aku ikut suamiku. Kau bawa aku ke lubang semut sekalipun aku ikut. Yang penting aku bersamamu dan terus bahagia. Aku tetap berharap cinta kita akan indah selamanya seperti kita jadi Ratu dan Raja sehari.

Hai suamiku...

Ketika keputusan membawaku keluar rumah orangtuaku kau ambil, maka sedih kurasakan karena tidak bisa lagi melihat raut tua kedua orangtuaku setiap hari. Kasih sayang ayah, ibu semua tertumpu padamu. Karena kau akan membawaku pada kehidupan baru, di mana semua tak terbiasa aku lalui tanpa kedua orangtua. Apakah kau memikirkan kesedihanku saat keluar dari rumah orangtua itu? Jawabnya pasti tidak. Karena kau anggap cinta telah membuatku bahagia.

Wahai suamiku tercinta...

Sebulan telah berlalu. Riak kehidupan kita di tempat baru kau membawaku mulai gemericik. Ada gesekan-gesekan yang tak sengaja tercipta karena suasana dan orang-orang baru di sekitar kita. Tak ada lagi orangtua tempat berlindung dan berkata menguntai cerita. Semua kita rasakan berdua. Entah waktu itu kau suka atau tidak saat aku mengadu begini dan begitu di tempat baru kita, yang jelas ada pancaran sinar tak suka keluar dari ucapanmu karena pembelaan untuk keluarga mertuaku darimu.

Suamiku sayang...

Kau tahu bagaimana besarnya rasa cintaku padamu? Dengan berani memutuskan memilihmu sebagai teman hidupku selama di dunia, dan jika memungkinkan aku ingin bertemu dan bersatu juga di akhirat. Tapi kenapa kau hancurkan perasaan dan keyakinanku itu dengan kesibukanmu dalam bekerja sebagai dalih mencukupi kebutuhan keluarga. Terkadang kau mulai lupa kapan kau berangkat dan pulang kerja. Kau tak tahu bagaimana aku mengusir rasa sepi yang bergelantung di dada. Acara sinetron dan film India tidaklah cukup membuatku berhenti mengingatmu suamiku...

Tahun pertama...

Kita diberi karunia dari Tuhan dengan kehamilan anak pertama. Kau cenderung meninggalkan dan menitipkan aku pada ibu mertua sementara kau penuhi acara-acara di tempat kerja. Tahukah kau bagaimana rasa sakitnya karena aku tak di sisimu saat itu untuk ikut bersama? Aku memang sedang hamil. Bentuk tubuhku sudah tidak menentu. Bahkan kecantikanku pun mungkin telah memudar karena sudah enggan memoles make up di wajahku karena rasa ngidam yang ku derita. Tahukah kau bagaimana rasanya mengandung anak pertamamu dengan begitu letih selama sembilan bulan? Kau lupa memanjakan aku lagi karena kondisiku yang makin melemah dengan perut yang selalu ku bawa. 

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Suamiku...

Di tahun kedua dan ketiga kita menikah, kau telah membuat hatiku terpontang panting karena amarahmu selalu kau pusatkan padaku. Semua pembelaan tak pernah aku dapatkan dari manapun. Karena orangtua sudah tak lagi ada bersamaku. Tekanan demi tekanan kau hujamkan padaku. Di saat itu pula kenapa kau selalu membuat mataku terhentak dengan kedekatanmu dengan wanita teman kerjamu. Tapi aku tetap memaafkan dan lebih memilih percaya pada kesetiaanmu suamiku. Karena aku saat itu masih memulihkan kondisi badanku yang tidak lagi sama seperti sebelum hamil dan melahirkan.

Tahun keempat dan kelima, kita mulai naik tangga. Apa yang kita usahakan dan cita-citakan menjadi kenyataan secara perlahan. Rumah dan kendaraan kini kita punya walau hanya inkarnasi dari sepeda ke motor. Gubuk dari kontrakan ke perumahan KPR. Namun aku tetap suka dan cinta sama kamu. Kaulah arjunaku. Kaulah pangeran hatiku. Tapi kenapa kau punya ide untuk menguji coba cintaku lagi wahai suamiku? Kau ciptakan jarak antara aku dan sahabatku karena kepedulianmu padanya. Bukan itu yang aku harapkan... Bukan. kau buatku kecewa. Tapi aku terima. Mungkin kau lupa. Tak mengapa.

Suamiku...

Di tahun keenam aku kembali hamil anak keduamu. Saat itu kau tampak bahagia. Aku suka kau terima kehadiran yuniormu. Dan kala itupun kamu tahu bagaimana rasanya penderitaanku memperjuangkan anak keduamu. Antara hidup dan mati aku perjuangkan demi calon anak keduamu. Aku tak peduli jika nyawa taruhannya. Sampai kau dicerca dokter saat harus memilih aku demi keselamatan nyawa. Apa yang dokter kata bahwa kau menyuruh dia membunuh calon anakmu hanya karena terlalu cinta padaku tanpa usaha. Baik suamiku... Kita coba pertahankan dia. Sampai waktunya tiba dia di tengah kita. Dan waktu itupun tiba.

Secara tak sengaja kau lihat perjuanganku mengeluarkan calon anakmu yang mana saat itu aku tak kuasa bertahan membuka mata. Kau bawa aku ke tempat seharusnya aku ada, yaitu Rumah Sakit. Di sana kau saksikan aku setiap saat memulihkan pasca melahirkan. Kau teriak saat shock melihatku tak berdaya kekurangan darah. Kau menyangka Tuhan akan mengambilku dari kekuasaanmu. Demi anak-anak kita, Tuhan membiarkan aku membuka mata kembali. Butuh waktu lama untuk aku segera kembali ceria. Tiga bulan tanpa Hemoglobin darah yang cukup dalam tubuhku membuatku terlihat menderita dalam kondisi pasca melahirkan dan merawat sang bayi anak kita.

Suamiku...

Semua kita lewati sampai anak-anak tumbuh semakin dewasa. Menapaki di tahun ke-12 pernikahan kita, saat kita cukup segalanya baik materiil maupun moril kau kembali membuat luka. Dan kini kau benar- benar gelap mata. Anak pertamamu pun beranjak remaja. Entah setan mana yang menguasaimu kala itu hingga lupa keluarga. Pergaulanmu yang luas membuatmu semakin menyempitkan arti keluarga. Kau sibuk kerja hingga ada seorang wanita menelpon rumah kita menanyakan keberadaanmu. Suamiku... Tahukah kau saat itu bagaimana perasaanku? Hancuuur... lebur tak tersisa. Duniaku seolah runtuh menyambar segala yang ada.

Tapi Tuhan selalu memihak kepada kita. Tanpa bicara, tanpa menghina, tanpa berdusta, tanpa kebencian yang kurasa. Aku tetap menjadi wanita dewasa. Membiarkan wanita pilihanmu memanggilku bunda dan berbagi ayahanda anak-anak kita. Aku tak ikuti langkah yang sebenarnya ingin aku tempuh. Ku biarkan ikhlas melepasmu. Namun kembali Tuhan meraih cintaku begitu nyata. Tuhan buka bagaimana kesetiaanku melewati dan melawan rasa sakit lukanya hatiku. Tuhan ternyata adil ya Suamiku... Kau buka matamu yang ternyata kau berkata "Bunda jauh lebih baik dari kamu wahai wanita penggoda. Dia terlalu sibuk mengurus anak-anakku sampai dia lupa padaku tidaklah benar. Akulah yang banyak menuntut dia untuk terus sempurna di usianya yang makin bertambah dengan segala kesibukannya di rumah dan tempat kerja. Aku yang hanya mencari nafkah saja lelah, bagaimana dia yang tak pernah berhenti berusaha demi kami keluarganya tercinta,". Keputusanmu saat itu adalah kembali memilih aku.

Suamiku tercinta...

Tak selesai sampai di situ saja Allah memberi ujian cinta kita. Meski kau telah kembali memilihku, ternyata kau masih sama seperti semula. Keras kepala, temperamental dan amarahmu mendidik aku dan anak-anak menjadi manusia yang keras juga. Aku lelah suamiku. Aku sakit cintaku. Aku jenuh pangeranku. Aku cape mengimbangimu. Sampai ketika temanku menyarankan agar aku mencoba membuatmu jera dengan kehilangan aku. Aku mulai mengenal dunia luar. Dunia maya yang telah membuat keadaanku berubah 180 derajat.

Dari sana ternyata aku belajar bagaimana cara kamu menduakan aku. Aku tak pernah suka laki-laki senegara kita. Aku tak mau membuatmu terluka dengan pertemuanku bersama orang yang berwujud nyata. Kugantungkan kebahagiaanku pada seseorang yang jauh nan di sana beda negara. Yang bahkan sampai detik inipun tak pernah kujumpa walau sekejap mata. Kau begitu terluka. Kau begitu murka. Kau sangat tak terima hingga akhirnya kau lukai jiwa ragaku. Kubawa ini depan pengadilan Agama. Aku berharap keadilan hukum. Hingga akhir ruang sidang ku kembali luluh memberi maaf jua. Kita kembali bersama. Tuhan... Apakah ini benar-benar nyata?

Wahai suamiku sayang...

Badai telah berlalu. Perahu layar kita kembali mengembang ke arah samudra luas. Riak kecil dan ombak yang datang setelah badai tak mampu lagi menggoyangkan perahu kita. Ini berlalu hanya sampai di usia ke 14 tahun pernikahan kita. Kini laju perahu kita mulai melaju mengikuti arah angin. Kita dekati sang khalik kita tanpa batas waktu. Kita serahkan kehidupan kita pada kapten perahu layar kita. Ya... Allah Tuhan kita kaptennya. Kita terus berusaha membuat kapten kita ada di antara kita. Berhijrah total kita lakukan. Semoga sampai maut memisahkan kita tetap bersama. Demi anak-anak kita. Kekuatan iman Islam pada sang kaptenlah yang akan mengokohkan perahu layar kita, di tengah samudra cinta rumah tangga.

Suamiku...

Rumah kita akan berasa redup dan gelap tatkala kamu menyakiti dan merajut luka lagi di hatiku. Rumah serasa hampa. Tak ada gelak tawa canda ceria ketika istrimu terluka. Dan saat itu pula gelap gulitalah seluruh alam kehidupan rumah kita. Dalam keadaan begitu kau langsung terjaga dan berusaha menyalakan kembali pelita rumah kita. Tak peduli seberapa besar ego yang kau turunkan saat itu, demi sang generator penerangan menyala kembali.

Terkirim untuk suamiku

Miss Purple Photo Writer Miss Purple

Mengalah demi kemenangan, Bukan keegoisan.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Irma Yudistirani

Berita Terkini Lainnya