Mengenal Wedangan, Budaya Nongkrong dan Kuliner di Solo

Apakah kamu ingin menikmati suasana malam di Solo yang autentik? Jika iya, maka cobalah sesekali mampir ke wedangan yang tersebar di berbagai sudut kota. Kamu bisa menjumpainya dengan mudah di daerah perkampungan, tepi jalan di pinggiran kota, dan tentunya di tengah kota.
Wedangan mirip dengan angkringan di Yogyakarta yang menyediakan aneka sate-satean, nasi kucing, dan minuman. Wedangan bukan sekadar tempat untuk melepas dahaga, tetapi sudah menjadi budaya kuliner dan wadah membangun hubungan sosial. Masih penasaran apa itu wedangan? Mari kita ulik!
1. Asal-usul wedangan

Wedangan, Hidangan Istimewa Kampung (HIK), dan angkringan memiliki akar sejarah yang sama. Budaya kuliner ini muncul karena aktivitas pedagang dari Klaten yang menyebar di kota-kota besar di Jawa Tengah, seperti Solo, Semarang, dan Yogyakarta. Wedangan ada sejak awal tahun 1900-an, yang merujuk pada aktivitas minum teh, kopi, dan minuman lainnya.
Keberadaan wedangan di Solo tidak lepas dari berdirinya perusahaan listrik pertama di wilayah Keraton Kasunanan Surakarta, yaitu Solosche Electriciteit Maatschappij (SEM). Penerangan yang mulai ada di kota memengaruhi aktivitas ekonomi masyarakat. Pekerja yang lembur, munculnya layar tancap di Pasar Pon, pasar malam hingga hiburan di Sriwedari.
Suasana yang semakin meriah berhasil menarik masyarakat dari pinggiran Kota Surakarta untuk turut menikmati gemerlapnya. Masyarakat berdatangan pun ikut mengais rezeki, termasuk penjaja wedangan. Pada masa itu, wedangan maupun HIK masih menggunakan gerobak dorong atau dipikul dan berpindah-pindah untuk menunggu pembeli datang.
2. Ciri khas wedangan

Istilah wedangan berasal dari bahasa Jawa wedang yang berarti air minum. Layaknya tempat nongkrong, kamu bisa minum teh, kopi, dan aneka minuman lain yang disajikan dengan makanan pendamping. Biasanya berupa aneka gorengan, sate-satean, dan nasi kucing.
Agak berbeda dari angkringan yang identik dengan kopi joss. Kamu tidak akan menjumpainya di wedangan. Sebagai gantinya adalah teh kampul. Minuman ini berupa teh yang disajikan dengan irisan jeruk nipis, sengaja dibiarkan mengapung atau ‘kampul’ di dalam gelas.
Wedangan biasanya buka dari sore hari hingga larut malam. Namun, ada pula yang buka saat pagi hari, kerap kali dijumpai di pusat keramaian seperti area pasar. Meski buka pada jam berbeda, tapi menu yang ditawarkan serupa.
3. Perkembangan wedangan

Dulu, wedangan berupa gerobak yang didorong atau dipikul dan dibawa keliling. Kini lebih beragam, kamu bisa menjumpai wedangan berupa gerobak di teras atau halaman rumah. Kemudian dikelilingi bangku panjang untuk pelanggan, mirip dengan angkringan.
Beberapa lagi seperti pedagang kaki lima yang ditutupi dengan kain atau terpal bertuliskan nama wedangannya. Penataannya masih sama, menggunakan gerobak yang menyajikan aneka menu tradisional. Kamu gak perlu pesan makanan, sebab sistemnya prasmanan.
Wedangan yang lebih modern, biasanya memiliki area cukup luas dengan penataan ala kafe. Namun, tetap mempertahankan adanya gerobak dengan aneka menu tradisional yang disajikan secara prasmanan. Bedanya, lebih banyak menampung pelanggan, lebih kekinian, dan hiburan tambahan seperti live music.
Wedangan tradisional biasanya lebih digandrungi masyarakat setempat yang berusia paruh baya hingga lansia. Lain halnya dengan wedangan yang lebih modern, kerap kali menjadi jujukan kawula muda. Suasananya memang berbeda, tapi tetap mempertahankan ciri khas dan fungsi sebagai ruang sosial masyarakat.
Sekarang kamu sudah lebih tahu apa itu wedangan yang banyak dijumpai di Solo. Tempat nongkrong lokal tersebut sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda asal Jawa Tengah, lho.
Jadi, tertarik untuk ngeteh di wedangan?