Generasi Sandwich dan Beban Mental, Ini Tipsnya agar Terus Waras

Apa kamu pernah mendengar istilah generasi sandwich? Ini adalah istilah yang diberikan kepada mereka yang “terjepit” tuntutan kehidupan untuk merawat kerabat sekitarnya, yaitu orangtua dan anak-anak.
Berdasarkan rilis dari Rumah Sakit Pondok Indah Group, mereka yang masuk ke dalam generasi ini umumnya berusia 30 tahun ke atas dengan kondisi telah menikah dan bekerja.
Berdasarkan studi tahun 2007 di Amerika Serikat, generasi sandwich punya tingkat stres yang tinggi. Semua itu muncul lantaran tuntutan kuat untuk merawat orangtua, anak, termasuk dirinya sendiri. Setidaknya dari partisipan usia 35-54 tahun dalam studi tersebut diketahui bahwa 40 persen perempuan di antaranya mengalami stres berat yang akhirnya memengaruhi hubungan sosial dan kesejahteraan dirinya.
Generasi sandwich ini juga banyak di Indonesia. Kamu termasuk? Apakah juga banyak yang mengalami beban mental yang ekstrem? IDN Times berbicara langsung dengan dr. Leonardi A. Goenawan, SpKJ, dokter spesialis kedokteran jiwa dari RS Pondok Indah untuk membahas fenomena ini.
1. Indonesia diperkirakan memiliki kasus stres yang cukup tinggi akibat menjadi generasi sandwich

Generasi sandwich memang masih menjadi istilah asing bagi awam. Akan tetapi, sudah ada beberapa studi yang mencoba mempelajari fenomena sosial tersebut. Untuk di Indonesia sendiri, kata dr. Leonardi belum diketahui secara pasti angka kasus stres pada golongan generasi sandwich. Ini karena belum adanya penelitian dan survei lebih lanjut mengenai isu ini.
Akan tetapi, melihat dari kultur budaya Asia serta data rata-rata penduduk Indonesia yang mayoritas berumur 40 tahun dari survei Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2020, dr. Leonardi memperkirakan kasus stres pada generasi sandwich tidaklah jarang.
“Indonesia juga merupakan negara Asia yang memiliki budaya kekeluargaan sebagai salah satu latar belakang yang dominan. Berdasarkan pada data-data tersebut, hal yang serupa sangat mungkin ditemukan di Indonesia,” ujarnya.
2. Perempuan diperkirakan menjadi "korban" paling banyak

Seperti yang sudah disebut sebelumnya, sebanyak 40 persen perempuan generasi sandwich mengalami stres berat. Ini tidak terjadi begitu saja. Dokter Leonardi melihat bahwa ini berhubungan dengan isu sosial yang muncul akibat budaya lokal, membuat kasus stres pada perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki.
“Perempuan pada umumnya mengambil peran lebih banyak dalam merawat keluarga dibanding laki-laki. Beban tambahan tersebut dapat memicu stres dengan kondisi lebih buruk. Belum lagi terdapat banyak tradisi yang masih cenderung menempatkan perempuan di posisi yang ‘mengalah’ sekalipun tanggung jawab yang dipikulnya jelas lebih banyak,” dr. Leonardi menjelaskan.
3. Masalah generasi sandwich tidak semudah yang dibayangkan mengingat ada beberapa jenis

Ditanya mengenai jenisnya, dr. Leonardi menyebut ada tiga tipe generasi sandwich:
- Tradisional sandwich: mereka yang merawat dua generasi, yaitu orang tua dan anaknya
- Club sandwich: mereka yang merawat tiga generasi. Bisa orangtua, kakek nenek, dan anak, atau orangtua, anak, dan cucu
- Open-faced sandwich: mereka yang merawat orangtua di luar hubungan darah. Sebagai contoh perawat
Dari ketiga macam generasi sandwich, mereka yang dinilai berpotensi mengalami stres lebih parah adalah tipe club sandwich. Alasannya adalah karena mereka dituntut untuk merawat lebih banyak orang.
4. Banyak gejala yang bisa dilihat dari seorang generasi sandwich

Bukan satu atau dua gejala gangguan kesehatan saja yang bisa dialami oleh kamu yang termasuk generasi sandwich. Ada banyak gejala yang bisa terjadi, baik fisik maupun mental, yang meliputi:
- Burnout (kelelahan fisik dan mental)
- Gangguan tidur (banyak tidur atau kurang tidur)
- Perasaan bersalah
- Hilang minat terhadap aktivitas yang sebelumnya disenangi
- Kecemasan
- Depresi
Bila tidak ditangani, nantinya masalah tersebut akan berlanjut lebih serius, seperti gampang sakit dan sering izin sakit, penyembuhan berlangsung lama, hingga lebih mudah mengalami obesitas.
5. Generasi sandwich yang merupakan single parent mungkin punya beban mental yang lebih ringan

Menjadi generasi sandwich saja bisa cukup menyulitkan, lantas bagaimana kalau orang tersebut juga merupakan orang tua tunggal atau single parent? Jawaban dr. Leonardi cukup mengejutkan. Ia mengatakan bahwa single parent malah berpotensi memiliki beban mental yang ringan. Ini karena single parent punya kesempatan lebih besar dalam mengontrol kondisi finansial dan perhatian.
“Dalam kasus ini, ada keuntungan dan kerugian dalam berjuang sebagai single parent. Mereka memiliki beban dan tanggung jawab finansial yang lebih besar jika dibandingkan dengan keluarga biasa dengan kedua pasangan yang bekerja,” terang dr. Leonardi terkait situasi single parent.
“Namun, jika dilihat dari segi merawat dan menjalin hubungan keluarga, probabilitas mereka menemui permasalahan dapat jadi lebih kecil. Ini karena mereka berpotensi memiliki otoritas penuh atas manajemen keuangan dan perhatian, sehingga kondisi mental mereka belum tentu lebih berat dari keluarga pada umumnya,” tambahnya.
6. Situasi pandemik COVID-19 dinilai memperparah tingkat stres pada generasi sandwich

Berada di posisi generasi sandwich sudah cukup memberi beban tersendiri, belum lagi ditambah dengan situasi pandemik COVID-19. Tekanan bisa bertambah akibat kondisi isolasi yang membuat orang tersebut tidak bisa mencari hiburan di luar, serta mungkin berkurangnya pemasukan untuk menghidupi keluarga.
“Tidak hanya keadaan ekonomi yang jelas terkena dampak, tetapi juga kesehatan dan keamanan tiap anggota keluarga. Generasi sandwich menjadi penanggung jawab utama bagi kesehatan fisik maupun psikologis setiap anggota keluarganya yang turut berjuang untuk beradaptasi dengan situasi pandemik.”
7. Membagi tanggung jawab dalam merawat kerabat bisa melepaskan sejumlah beban mental generasi sandwich

Menemukan solusi untuk mengakhiri beban para generasi sandwich tidaklah mudah. Menurut penelitian tahun 2016 terhadap perempuan generasi sandwich, ada beberapa strategi yang bisa membantu meringankan beban mental seseorang, yaitu:
- Menjaga kesehatan dan kesejahteraan
- Menekan perfeksionisme
- Mengelola waktu dan energi dengan baik
- Melepas atau mengurangi tanggung jawab
- Memelihara hubungan sosial dan timbal balik
Untuk melakukan strategi tersebut, ada beberapa tips yang bisa dilakukan.
Pertama, mintalah bantuan dalam bentuk pembagian tanggung jawab, misalnya bergantian menjaga anak dengan istri atau suami.
Kedua, luangkan waktu untuk diri sendiri alias me-time.
Ketiga, adakan pertemuan dengan keluarga untuk membicarakan tindakan atau solusi terbaik yang bisa dilakukan.
“Jika komunikasi dengan pihak keluarga tidak berjalan, maka usahakan untuk berdiskusi ulang dengan pihak ketiga yang netral dan mampu memberikan masukan yang objektif. Pihak ketiga ini dapat diwakili oleh mereka yang berkompeten dalam bidang mediasi,” dr. Leonardi menyarankan.
“Jika keputusan tidak dapat dihasilkan dari diskusi tersebut, maka pilihan kembali kepada para generasi sandwich, apakah mau memutus ikatan keluarga tersebut atau lainnya. Tidak ada keadaan ideal dan kita juga tidak dapat menyenangkan atau memenangkan semua pihak,” lanjutnya.
8. Rantai generasi sandwich bisa diputus dengan menyiapkan diri sebaik-baiknya sebelum berkeluarga

Agar tidak melanjutkan beban mental generasi sandwich kepada generasi selanjutnya, kamu bisa melakukan beberapa upaya tambahan.
“Yang pertama, mencari pemasukan finansial yang sekiranya tidak dibatasi oleh usia. Lalu yang kedua, berikan pendidikan kepada anak agar kelak siap menjadi orang dewasa yang mandiri secara emosional dan finansial sebelum memutuskan untuk berumah tangga,” imbau dr. Leonardi.
Itulah informasi seputar generasi sandwich, termasuk beban mental yang mereka rasakan serta berbagai cara untuk mengatasinya. Bila kamu satu di antaranya, bila merasakan stres atau tekanan mental berat yang tak tertahankan, carilah bantuan profesional. Setelahnya, diskusikan dengan anggota keluarga untuk mencari solusi terbaik.