Jangan Sembarangan, Ini Tips Memilih Mainan untuk Anak

Waktu kita masih kecil, pastinya senang bermain. Baik dengan kawan sebaya maupun mainan, bermain adalah proses yang sejatinya baik untuk mengasah tumbuh kembang buah hati.
Meski begitu, masa kini, sudah lumrah melihat anak-anak terikat dengan gadget dan game online yang belum tentu baik untuk tumbuh kembangnya. Jadi, bagaimana memilih mainan yang baik untuk anak?
Bermain adalah aspek asah untuk anak

Dalam webinar bertajuk "Cerdas Memilih Mainan untuk Anak dan Remaja" pada Minggu (15/1/2023), Ketua Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K), prihatin bahwa tren permainan anak menjurus ke arah online. Selain HP, tidak jarang ia melihat anak-anak yang menghabiskan waktu di warung internet (warnet).
"Butuh edukasi dari ahlinya, permainan anak apa yang menstimulasi ... Permainan adalah komponen yang mengasah psikomotorik anak," kata Piprim dalam sambutannya.
Dokter spesialis tumbuh kembang anak dan Ketua Bidang 3 Pengurus Pusat IDAI, Dr. dr. Bernie Endyarni Medise, SpA(K), MPH, menjelaskan bahwa bermain memang bersifat menyenangkan atau rekreatif. Permainan juga mengembangkan pikiran, emosi, sosial, fisik, dan kreativitas serta imajinasi anak. Selain itu, permainan juga bisa mengembangkan kemampuan anak memecahkan masalah hingga budaya antre.
"Orang tua juga bisa berkomunikasi dan berinteraksi dan sosial emosi sehingga bisa mengerti anak," ujar Bernie.
Memilih mainan yang baik untuk anak
Dalam memilih mainan anak, Bernie ingin orang tua lebih selektif. Pertama, ia mengatakan bahwa mainan harus memiliki sertifikasi, seperti SNI hingga CE. Jika sudah bersertifikasi SNI atau CE, mainan seharusnya sudah aman untuk anak. Selain itu, Bernie mengatakan bahwa mainan yang dipilih harus:
- Berukuran tidak terlalu kecil (agar tidak ditelan oleh anak).
- Tidak runcing atau tajam dan tidak mudah pecah.
- Terbuat dari material yang aman.
- Memiliki mekanisme yang kokoh dan tidak membahayakan anak.
- Jika bersuara, berada di volume yang aman untuk telinga anak.
Bernie melanjutkan bahwa mainan seharusnya sesuai dengan usia biologis dan mental, serta fisik anak. Jadi, perlu mainan yang mampu memicu aktivitas di semua area perkembangan anak. Bukan hanya itu, ia mengatakan bahwa anak berkebutuhan khusus juga membutuhkan mainan yang sudah disesuaikan dengan perkembangannya.
"Stimulasi yang diperlukan untuk tumbuh kembang optimal ... Jadi, pilih yang aman, dan orang tua harus mendampingi agar tetap aman serta bisa terjalin hubungan antara orang tua dan anak," papar Bernie.
Lato-lato bukan sembarang mainan untuk anak

Bernie lalu menjelaskan mengenai permainan lato-lato yang disebut clackers dalam bahasa Inggris. Bukan mainan baru, sisi positif dari lato-lato adalah melatih motor halus, pengenalan suara, dan ketangkasan serta konsentrasi karena konsepnya mempertemukan dua bola dengan tepat.
Meski begitu, Bernie memperingatkan bahwa lato-lato harus dimainkan dengan hati-hati. Ia mengatakan bahwa lato-lato sempat dilarang di beberapa negara karena terbuat dari kaca, bahan yang mudah pecah sehingga berbahaya. Selain itu, butuh pendampingan orang tua agar anak bisa memainkan lato-lato dengan benar dan tak mencederai diri.
"Kalau mengenai tubuh anak, pasti mudah lebam ... Pendampingan orang tua harus ada agar bisa memberikan edukasi untuk anak agar mengerti cara bermain lato-lato yang benar," ujar Bernie.
Saat ini, lato-lato diklaim dibuat dari material yang lebih aman. Bernie menjelaskan bahwa anak yang ingin bermain lato-lato harus memiliki kemampuan motor halus yang terasah. Jadi, ia menyarankan untuk tidak memberikan lato-lato kepada anak-anak usia balita.
Pendampingan orang tua juga penting untuk memastikan anak-anak memainkan lato-lato di tempat yang seharusnya. Karena suaranya yang cukup keras, Bernie menyarankan lato-lato tidak dimainkan di tempat yang butuh ketenangan, seperti sekolah hingga rumah sakit.
"Hati-hati dalam memilih permainan, kembali ke poin usia dan perkembangan, dan bahan serta pendampingannya," imbuh Bernie.
Mainan yang sesuai dengan usia anak
Karena itu, Bernie menekankan bahwa pendampingan orang tua amatlah penting, terutama memilih mainan untuk buah hati yang masih kecil. Jadi, ia menjabarkan bahwa menurut usianya:
- 0–2 tahun: lebih baik mainan yang membantu tumbuh kembang awal. Jadi, maian yang dipilih lebih baik warna mencolok atau memiliki tekstur dan aroma tertentu.
- 3–6 tahun: lebih baik memilih mainan yang memancing rasa ingin tahu anak.
- Usia prasekolah: lebih baik memilih mainan yang mengembangkan kooperasi dan sosialisasi anak.
- Usia sekolah: lebih baik memilih mainan yang merangsang peran, ketangkasan, dan kreativitas.

Jadi, mainan jenis apa yang disarankan? Secara singkat, Bernie mengategorikan mainan yang cocok untuk anak sesuai usianya, seperti:
- 0–6 bulan:
- Cilukba/peek-a-boo (meningkatkan kemampuan sosial dan kedekatan dengan anak).
- Bermain cermin (memicu rasa ingin tahu anak).
- Mainan rattle (koordinasi mata dan jari serta melatih telinga mengenali suara).
- Squeeze toys (melatih kemampuan motorik kasar dan halus).
- 7–12 bulan:
- Mainan push-and-pull (meningkatkan rasa eksplorasi anak).
- Mainan bercahaya (melatih visual anak).
- Ring stack.
- Boneka tangan.
- 1–2 tahun:
- Ride-on toys.
- Puzzle sederhana.
- Pop-up toys.
- Coret-coret.
- Mainan peralatan rumah tangga.
- Mobil-mobilan.
- 2–3 tahun:
- Fit-in puzzle
- Ride-on toys.
- Balok kompleks
- Mencocokkan gambar.
- Buku cerita bergambar.
- 3–5 tahun:
- Mainan yang melibatkan fisik atau olahraga.
- Boneka realistis.
- Peralatan musik dan gambar.
Lalu, untuk usia sekolah hingga remaja, Bernie mengatakan bahwa orang tua bisa memperkenalkan permainan, seperti board game (ular tangga, monopoli, hingga catur), puzzle yang lebih rumit, instrumen ilmiah (kaca pembesar, teleskop, hingga magnet), dan olahraga (lompat tali hingga sepak bola).
Selain itu, Bernie mengatakan bahwa pada usia tersebut, orang tua boleh memperkenalkan mainan koleksi (seperti action figure), aktivitas outbond, atau permainan tradisional (petak umpet, engklek, congklak, hingga gasing).
Bernie: Anak Indonesia ketagihan nonton TV rata-rata 4 jam!
Sayangnya, tidak jarang pemandangan orang tua mengizinkan anak-anak bermain HP atau gadget agar lebih anteng. Akan tetapi, Bernie menyarankan untuk tidak memperkenalkan gadget sebelum 18 bulan (kecuali untuk video call).
Di tengah pandemi, pembelajaran daring jadi lebih diminati. Sementara ini diperbolehkan, berbeda bila gadget digunakan untuk bermain. Masalahnya, permainan di gadget selalu menarik dan dikhawatirkan memicu adiksi.
Sementara tidak sedikit yang mencatat manfaat komputer dan video game, Bernie juga mengatakan bahwa ada akibat juga jika berlebihan. Serba salah, permainan online bisa mengajak anak dan remaja berinteraksi secara daring, tetapi terhalang secara luring; bisa mengasah koordinasi, tetapi tidak jarang menyebabkan adiksi.
Selain gadget, Bernie mengkhawatirkan konsumsi TV bisa mengganggu tumbuh kembang anak. Dalam risetnya yang dimuat dalam jurnal Paediatrica Indonesiana pada April 2017, Bernie dan tim FKUI/RSCM mencatat paparan TV lebih dari 4 jam (rekomendasi IDAI, 1 jam) untuk anak berisiko mengganggu tumbuh kembang anak hingga 4x lipat.
"Kenapa 4 jam? Ternyata, sulit mencari anak Indonesia yang paparan TV-nya di bawah 2 jam," kata Bernie yang melaksanakan studi bertajuk "Duration of watching TV and child language development in young children" tersebut.
Bagaimana agar berhenti?

Tidak jarang kasus gangguan medis juga disebabkan oleh terlalu lama bermain komputer dan video game. Selain menyebabkan gangguan mata dan tangan, gaya hidup sedenter juga disebabkan oleh terlalu asyik dengan video game dan komputer. Jadi, apa yang bisa dilakukan?
Pertama, buat persetujuan dan batasan antara orang tua dan anak di awal. American Academy of Pediatrics (AAP) mencatat pembatasan waktu bermain gadget adalah 1 jam. Meski bervariasi, Bernie mengatakan bahwa butuh waktu 1–2 minggu untuk "lupa" degnan gadget.
Jika sulit melepas gadget, Bernie menyarankan orang tua untuk mengajak anak dengan permainan lain yang lebih menarik, baik indoor maupun outdoor. Ajak anak jalan-jalan, bersepeda, hingga bersepatu roda tanpa gadget. Dengan keterlibatan orang tua, anak juga jadi lebih tertarik untuk beralih. Paling penting, jangan ada gadget di depan mata.
"Jadi role model, jangan gunakan gadget di depan anak," tambah Bernie.