Fenomena Henti Jantung pada Atlet, Ini Faktanya
Intinya Sih...
- Henti jantung mendadak terjadi pada beberapa atlet, termasuk Christian Eriksen, Markis Kido, dan baru-baru ini Zhang Zhi Jie.
- Penyebab henti jantung di antaranya adalah kelainan struktural atau fungsi jantung yang tidak diketahui sebelumnya.
- Insiden henti jantung dapat disebabkan oleh faktor genetik, kongenital, elektrik pada jantung, infeksi, dan penyakit arteri koroner.
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Telah terjadi beberapa kasus henti jantung mendadak pada atlet.
Sebagai contoh, pada perhelatan UEFA Euro 2020, pesepak bola asal Denmark, Christian Eriksen, mengalami henti jantung saat bermain melawan Finlandia. Pujian datang untuk para pemain Denmark, wasit, dan tim medis yang bergerak cepat menyelamatkannya.
Namun, tidak semua atlet terselamatkan. Contoh kasusnya Markis Kido. Pada Kamis (14/6/2021), pebulu tangkis ganda putra yang menang medali emas di Olimpiade 2008 Beijing tersebut meninggal dunia pada usia 36 tahun akibat serangan jantung saat tengah bermain di Tangerang.
Baru-baru ini, pebulu tangkis muda China, Zhang Zhi Jie, meninggal dunia di Yogyakarta, pada Minggu (30/6/2024). Zhi Jie sebelumnya sempat kolaps di lapangan saat bertanding dalam kompetisi Badminton Asia Junior Championship (BAJC) 2024.
Zhi Jie saat itu sedang memainkan pertandingan penyisihan grup melawan Jepang. Namun, tiba-tiba dia terjatuh dan mengalami kejang sebelum akhirnya tidak sadarkan diri.
Dokter turnamen dan tim medis bergegas masuk lapangan untuk memberi pertolongan pertama, sebelum kemudian Zhi langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Namun, nyawa Zhi Jie tidak bisa tertolong. Zhi dinyatakan meninggal dunia pada pukul 23.20 WIB akibat henti jantung. Usianya 17 tahun.
Henti jantung mendadak pada usia di bawah 35 tahun sangat jarang ditemui. Biasanya ini tercetus karena kelainan struktur atau fungsi jantung yang belum pernah diketahui sebelumnya. Sering kali henti jantung mendadak terjadi saat sedang melakukan aktivitas fisik, misalnya saat berolahraga, dan kejadiannya lebih sering dialami laki-laki.
Pada atlet muda, penyebab kematian terbanyak adalah henti jantung, tetapi sampai saat ini angka insidensinya masih belum diketahui secara pasti.
1. Insiden henti jantung dan serangan jantung yang mematikan pada atlet
Menurut penelitian di Amerika Serikat (AS) tahun 2016, kematian akibat henti jantung pada atlet cukup sering, yaitu 1 dari 40.000 hingga 1 dari 80.000 kasus per tahun. Sementara atlet akrab dengan olahraga kardio yang menyehatkan jantung, henti jantung dapat terjadi jika atlet tersebut memiliki riwayat gangguan jantung.
Tidak hanya yang tua, dunia olahraga pernah menjadi saksi atas kejadian henti jantung dan serangan jantung yang hampir dan telah menyebabkan kematian beberapa atlet muda. Beberapa kejadian tersebut antara lain
- Pada 1989, pebasket Loyola Marymount Lions, Eric Wilson "Hank" Gathers Jr., kolaps saat melawan UC Santa Barbara dan didiagnosis ventricular tachycardia, aritmia akibat ventrikel jantung berdetak terlalu cepat. Sempat diberi obat dan bermain hingga Maret 1990, Hank wafat setelah kolaps saat melawan Portland Pilots karena kardiomiopati hipertrofik.
- Pada April 1993, Reggie Lewis pemain NBA tim Boston Celtics tersebut kolaps saat tengah bermain kontra Charlotte Hornets. Sempat sadar dan bermain, Lewis kemudian didiagnosis focal cardiomyopathy, gangguan jantung yang menyebabkan aritmia dan gagal jantung. Naasnya, tiga bulan setelahnya, Lewis meninggal pada usia 27 tahun saat tengah berlatih akibat serangan jantung di Massachusetts, AS.
- Pada Maret 2012, mantan pesepak bola yang membela Bolton Wanderers, Fabrice Muamba, mengalami henti jantung saat melawan Tottenham Hotspurs pada perempat final FA Cup. Tak mau ambil risiko, pelatih Rochdale U-16 ini memilih pensiun pada usia 23 tahun.
- Pada 2018, pebasket AS yang membela Grand Rapids Drive, Zeke Upshaw, mengalami henti jantung sehabis bermain melawan Long Island Nets. Bahkan, jantungnya tidak berdetak selama 40 menit meskipun sudah diresusitasi. Dua hari kemudian, Upshaw meninggal dunia pada usia 26 tahun.
2. Perbedaan henti jantung dan serangan jantung
Henti jantung (cardiac arrest) dan serangan jantung (heart attack) adalah dua insiden berbeda yang saling bertautan.
Henti jantung adalah akibat dari serangan jantung. Serangan jantung sendiri dapat disebabkan oleh aterosklerosis atau pembekuan darah (trombosis). Jantung menjadi kekurangan pasokan darah dan oksigen, sehingga berhenti berdetak. Namun, tidak semua insiden henti jantung disebabkan oleh serangan jantung.
3. Gejala-gejala henti jantung yang harus diwaspadai
Mengetahui gejala henti jantung pada atlet dapat menyelamatkan nyawa. Dengan begitu, penanganan bisa lebih terukur. Beberapa gejala umum henti jantung di antaranya:
- Sesak napas atau kelelahan yang tidak sepadan dengan jenis aktivitasnya.
- Sensasi seperti tertekan, sesak, atau nyeri di dada.
- Pusing.
- Pingsan.
- Jantung berdebar atau sensasi jantung berdetak kencang.
Meskipun elektrokardiogram (EKG) dan ekokardiogram menunjukkan normal, tetapi gejala-gejala ini dapat menjadi pertanda dari kondisi terselubung yang menyebabkan henti jantung mendadak. Jadi, penting bagi para atlet, pelatih, dan wali atlet untuk memonitor dan berkonsultasi dengan dokter atau tenaga kesehatan dalam tim.
4. Penyebab henti jantung pada atlet yang berusia lebih tua
Penyakit arteri koroner akibat aterosklerosis adalah penyebab utama dari henti jantung pada atlet usia tua. Justru, aktivitas olahraga yang terlalu berat dan aktif dapat memicu risiko henti jantung.
Insiden ini lebih rentan terjadi pada atlet pria usia lanjut yang tidak berolahraga teratur, dan memiliki riwayat penyakit jantung atau faktor risiko penyakit arteri koroner. Akan tetapi, atlet usia tua yang menderita henti jantung karena penyakit arteri koroner lebih mungkin selamat daripada pasien dengan kardiomiopati hipertrofik.
5. Penyebab henti jantung pada atlet golongan muda
Untuk kalangan atlet di bawah usia 35 tahun, penyebab henti jantung mendadak dapat terbagi jadi dua kategori: kelainan struktural dan elektrik. Insiden ini dapat disebabkan karena faktor genetik atau diperoleh akibat infeksi jantung atau perkembangan penyakit kardiovaskular. Sayangnya, faktor ini sering terlewat.
Editor’s picks
Salah satu kondisi yang paling fatal adalah kardiomiopati hipertrofik. Ini adalah situasi ketika ventrikel kiri, atau bilik bawah jantung membesar dan menghambat aliran darah keluar dari jantung untuk beredar ke seluruh tubuh.
Kardiomiopati hipertrofik dapat memperbesar risiko terkena aritmia atau gangguan irama jantung. Tidak heran, menurut statistik pada 2020, American Heart Association menobatkan kardiomiopati hipertrofik sebagai penyebab utama serangan jantung mendadak pada kalangan atlet muda. Faktanya, kasus kematian Hank, Upshaw, dan Lewis diakibatkan oleh kardiomiopati hipertrofik.
Selain kardiomiopati hipertrofik, kelainan kongenital berupa anomali arteri koroner atau coronary artery anomalies (CAA) juga dapat mengakibatkan henti jantung.
CAA juga dapat menyebabkan fibrilasi ventrikel hingga aritmia, sehingga merupakan penyebab henti jantung mendadak kedua tertinggi.
Lalu, kelainan sinyal elektrik pada jantung pada jantung normal juga dapat membuatnya berhenti mendadak. Dapat didiagnosis dengan ECG, kelainan ini dapat ditandai dengan gejala aritmia, dan meliputi gangguan-gangguan seperti:
- Long QT Syndrom (LQTS)
- Sindrom Wolff-Parkinson-White (WPW)
Kelainan sinyal elektrik jantung lebih sering menyebabkan henti jantung. Bahkan, lebih sering daripada faktor genetik dan kongenital.
Kemudian, henti jantung mendadak juga dapat disebabkan oleh keadaan yang berkembang seiring waktu. Infeksi seperti miokarditis (peradangan atau inflamasi pada otot jantung atau miokardium) dan penyakit Kawasaki (penyakit peradangan yang dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang pada jantung) dapat membuat otot jantung dan pembuluh darah meradang.
6. Diagnosis henti jantung untuk atlet
Sebelum memulai program latihan, biasanya para atlet akan menjalani pemeriksaan fisik atau skrining. Pemeriksaan menyeluruh diperlukan karena beberapa kondisi jantung tidak menimbulkan gejala hingga terlambat. Di AS, skrining diulang tiap 2 tahun (usia remaja) dan 4 tahun (usia dewasa). Sementara itu, di Eropa hanya 2 tahun.
Dokter selalu mewawancarai para atlet sebelum skrining. Pengujian hanya dilakukan jika usia dan gejala dilaporkan mengkhawatirkan. Pertanyaan selalu berfokus pada tiga bidang:
- Gejala: Seperti nyeri dada atau sensasi tidak nyaman, pingsan atau hampir pingsan, kelelahan, dan kesulitan bernapas, terutama ketika gejala ini terjadi selama olahraga berat.
- Riwayat keluarga: Riwayat anggota keluarga yang pingsan atau meninggal saat berolahraga, atau yang meninggal tiba-tiba sebelum sekitar usia 50 tahun.
- Penggunaan obat-obatan.
Skrining fisik umumnya fokus pada mendengarkan irama jantung dengan stetoskop untuk melihat kemungkinan gangguan jantung. Selain itu, pengukuran tekanan darah saat berbaring dan berdiri pun juga dilakukan.
Untuk atlet muda, dokter biasanya tidak melakukan tes, kecuali jika diagnosis dan rekam medis menunjukkan abnormalitas. Jika ada masalah jantung, dokter biasanya akan melakukan pemeriksaan EKG, ekokardiogram, atau keduanya.
Untuk atlet berusia 35 tahun ke atas, dokter melaksanakan tes EKG dan tes stres sebelum menyetujui program latihan intens.
Jika ditemukan kelainan jantung, atlet terpaksa berhenti berkompetisi dan menjalani tes lebih lanjut. Akan tetapi, para atlet boleh berolahraga non-kompetitif sebagai program rehabilitasi jantung. Dengan begitu, mereka dapat tetap melatih tubuh dan mencegah penumpukan kolesterol jahat (low-density lipoprotein atau LDL), hipertensi, serta mengurangi lemak.
7. Pengobatan dini dapat menyelamatkan nyawa
Henti jantung mendadak pada atlet sebenarnya jarang terjadi. Namun, reaksi cepat tanggap seharusnya bisa menyelamatkan nyawa atlet saat mengalami henti jantung.
Faktanya, dalam kasus Eriksen, ia sempat "lewat" untuk sesaat. Dokter timnas Denmark, Morten Boesen, mengatakan kalau henti jantung yang dialami Eriksen dapat ditanggulangi dengan sekali kejut menggunakan defibrilator. Jika terlambat, kemungkinan besar nyawa Eriksen tidak akan tertolong.
Mengacu pada pedoman resusitasi jantung paru (RJP), pertolongan pertama dapat menyelamatkan nyawa para atlet.
Berikut adalah langkah-langkah pertolongan pertama untuk atlet saat henti jantung terjadi:
- Cobalah menggoyang pasien tersebut untuk mengecek respons.
- Periksa denyut nadi.
- Segera hubungi nomor darurat seperti 119.
- Minta pertolongan untuk mengambil defibrilator eksternal otomatis (AED) jika tersedia atau ada di dekatmu.
- Mulailah RJP dengan resusitasi dada pasien. Dorong dada ke bawah 2 hingga 2½ inci dengan irama 100-120 kali per menit. Agar lebih mudah, ikuti irama lagu Bee Gees, Stayin’ Alive, hingga AED atau paramedis tiba.
- Ikuti instruksi yang diberikan oleh AED, dan lanjutkan RJP bila disarankan untuk melakukannya sampai bantuan darurat tiba.
Menurut penelitian tahun 2019, cara utama untuk menyelamatkan atlet yang pingsan setelah aktivitas fisik adalah identifikasi kemungkinan henti jantung mendadak, memberikan pertolongan pertama seperti RJP, dan penggunaan AED yang tepat.
Jika menyaksikan seorang atlet atau siapa pun pingsan tanpa sebab, anggap itu insiden henti jantung dan segera bertindak hingga bantuan medis datang.
Itulah beberapa penjelasan mengenai insiden henti jantung di kalangan atlet muda dan tua. Karena tergolong jarang terjadi, sering kali insiden henti jantung mendadak dapat merenggut nyawa atau menghentikan karier para atlet. Dengan mengetahui pertolongan dan kiat diagnosis pertama, henti jantung dapat segera ditangani.
Baca Juga: Henti Jantung: Penyebab, Gejala, Penanganan
Referensi
Kemenkes Ditjen Yankes. Diakses pada Juli 2024. Henti Jantung Mendadak pada Usia Muda.
Wasfy, Meagan M., Adolph M. Hutter, dan Rory B. Weiner. “Sudden Cardiac Death in Athletes.” Methodist DeBakey Cardiovascular Journal 12, no. 2 (April 1, 2016): 76.
Baptist Health South Florida. Diakses pada Juli 2024. Sudden Cardiac Arrest in Athletes.
Vancini, Rodrigo Luiz, Pantelis Theodoros Nikolaidis, dkk. “Prevention of Sudden Death Related to Sport: The Science of Basic Life Support—from Theory to Practice.” Journal of Clinical Medicine 8, no. 4 (April 24, 2019): 556.