- Kebutaan.
- Cerebral palsy (pada anak dari ibu hamil yang terpapar metilmerkuri).
- Kehilangan pendengaran.
- Gangguan pertumbuhan.
- Penurunan fungsi mental.
- Gangguan fungsi paru-paru.
- Masalah gerakan atau koordinasi.
- Kejang.
- Mikrosefali.
Lauk MBG Nuget Hiu di Kalbar, Apa Bahaya Konsumsi Daging Hiu?

- Daging hiu mengandung merkuri yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
- Daging hiu dapat mengandung polutan organik persisten seperti PCB dan dioksin yang dapat menyebabkan gangguan endokrin, risiko kardio metabolik, efek karsinogenik, serta dampak pada reproduksi dan perkembangan.
- Konsumsi daging hiu juga dapat menyebabkan keracunan ciguatoksin, kontaminasi mikroba, serta mengandung urea, arsenik, dan timbal yang berisiko bagi kesehatan manusia.
Di banyak belahan dunia, daging hiu dikonsumsi. Ada yang menganggapnya obat tradisional, ada pula yang menjadikannya makanan pokok karena keterbatasan sumber daya. Bahkan, beberapa restoran menyajikannya.
Namun, di balik itu tersembunyi ancaman serius. Daging hiu menyimpan logam berat berbahaya seperti merkuri, juga zat kimia lain yang menumpuk dalam tubuhnya sepanjang hidup. Zat-zat ini dapat merusak otak, ginjal, dan sistem saraf, bahkan memicu keracunan bila dikonsumsi berlebihan. Jadi, daging hiu merupakan risiko yang nyata bagi manusia.
Baru-baru ini dilaporkan kasus keracunan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Ketapang, Kalimantan Barat,menimpa 25 orang, terdiri atas 24 siswa dan seorang guru SDN 12 Benua Kayong. Mereka langsung dilarikan ke RSUD Agoes Djam Ketapang. Mereka mengalami mual, muntah, dan sakit perut. Sebagian besar sudah pulih, sementara beberapa masih menjalani perawatan.
Penyebab insiden ini terungkap berasal dari nuget hiu filet saus tomat berbau dan sayur yang hampir basi, mengutip dari IDN Times Kaltim. Kepala Regional MBG Kalbar, Agus Kurniawi, menu yang diduga membuat belasan siswa muntah dan sesak napas itu juga sedang diuji laboratorium. Menu terdiri dari nasi putih, nuget hiu filet saus tomat, tahu goreng, oseng kol plus wortel, dan melon. Imbasnya, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Dapur Mitra Mandiri 2 yang mengelola MBG untuk siswa di SDN 12 Benua Kayong ditutup sementara.
Ketahui alasan-alasan yang membuat hiu tidak disarankan untuk dikonsumsi manusia.
1. Paparan merkuri (metilmerkuri)
Merkuri secara alami terdapat di lingkungan, tetapi juga bisa dilepaskan ke udara melalui polusi industri. Dari udara, merkuri jatuh ke sungai dan laut, lalu berubah menjadi metilmerkuri di dalam air. Ikan menyerap metilmerkuri saat mereka mencari makan di perairan tersebut, sehingga zat ini menumpuk di dalam tubuh mereka. Jenis merkuri inilah yang berbahaya bagi janin maupun anak kecil.
Hiu adalah ikan pemangsa puncak dan cenderung mengakumulasi metilmerkuri. Paparan metilmerkuri dari konsumsi ikan dapat merusak perkembangan otak janin dan anak kecil, serta memengaruhi sistem saraf pada orang dewasa jika dosis tinggi atau sering.
Pada beberapa jenis ikan dan kerang, penumpukan bisa lebih tinggi dibandingkan yang lain, tergantung pada apa yang mereka makan. Inilah sebabnya kadar merkuri dalam makanan laut bisa sangat bervariasi.
Gejala keracunan metilmerkuri dapat meliputi:
Janin dan bayi sangat sensitif terhadap dampak metilmerkuri. Zat ini merusak sistem saraf pusat (otak dan sumsum tulang belakang). Tingkat keparahan kerusakan bergantung pada jumlah racun yang masuk ke dalam tubuh. Banyak gejala keracunan merkuri mirip dengan gejala cerebral palsy, bahkan metilmerkuri diduga dapat menyebabkan bentuk tertentu dari cerebral palsy.
Perempuan hamil, perempuan yang berencana hamil, dan ibu menyusui disarankan untuk menghindari makanan laut yang dapat mengandung kadar metilmerkuri tinggi. Begitu pula bayi. Selain itu, ikan hasil tangkapan pribadi (bukan komersial) sebaiknya tidak dimakan sebelum memastikan keamanan melalui peringatan dari dinas kesehatan setempat.
2. Mengandung polutan organik persisten
Daging hiu dapat mengandung polutan organik persisten (POP) seperti polychlorinated biphenyls (PCB), dioksin, dan dioxin-like PCB (dl-PCB). Ini adalah senyawa lipofilik (larut lemak) yang sangat persisten di lingkungan.
Karena sifatnya yang larut lemak, POP mudah terakumulasi dalam jaringan adiposa hewan laut besar, termasuk hiu, melalui proses bioakumulasi dan biomagnifikasi.
Studi menunjukkan konsentrasi signifikan POP pada berbagai spesies hiu, terutama yang berada di puncak rantai makanan laut.
Dampaknya pada kesehatan manusia:
- Gangguan endokrin
PCB dan dioksin bertindak sebagai pengganggu endokrin (endocrine disruptor), mengganggu fungsi hormon tiroid, estrogen, dan androgen. Efeknya dapat berupa gangguan pertumbuhan, pubertas dini, hingga masalah kesuburan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa paparan jangka panjang bahan kimia pengganggu endokrin (endocrine-disrupting chemical/EDC) berhubungan dengan infertilitas, gangguan perkembangan neurologis, dan kelainan metabolik.
- Risiko kardio metabolik
Paparan kronis PCB dikaitkan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2, hipertensi, dan penyakit jantung koroner.
- Efek karsinogenik
International Agency for Research on Cancer (IARC) mengklasifikasikan dioksin (TCDD) sebagai karsinogen manusia (Grup 1), begitu pula PCB. Grup 1 ini artinya ada bukti ilmiah yang cukup kuat bahwa zat, campuran kimia, atau paparan tertentu dapat menyebabkan kanker pada manusia—bisa menyebabkan kanker jika ada paparan yang cukup, tetapi tidak otomatis berarti semua orang yang terpapar akan sakit kanker.
Konsumsi ikan dengan kadar POP tinggi meningkatkan risiko kanker hati, limfoma non-Hodgkin, dan kanker payudara.
- Dampak pada reproduksi dan perkembangan
Studi epidemiologi menunjukkan paparan prenatal terhadap PCB/dioksin dapat menyebabkan berat lahir rendah, gangguan perkembangan kognitif, dan kelainan reproduksi.
European Food Safety Authority (EFSA) menegaskan bahwa paparan dioksin dan dl-PCBs melalui makanan adalah kontributor utama risiko kesehatan reproduksi di Eropa.
3. Paparan ciguatoksin

Ciguatoksin (CTX) adalah racun laut yang diproduksi oleh mikroalga jenis dinoflagellata (terutama Gambierdiscus dan Fukuyoa) yang hidup di ekosistem terumbu karang tropis dan subtropis. Cara racun ini masuk ke rantai makanan adalah dengan dimakan ikan kecil, lalu ikan kecil tersebut dimakan ikan karnivora lebih besar, hingga predator puncak seperti hiu. Karena hiu berada di puncak rantai makanan, mereka dapat mengakumulasi kadar ciguatoksin yang signifikan dalam jaringan tubuhnya.
Konsumsi daging hiu yang terkontaminasi ciguatoksin dapat menyebabkan ciguatera fish poisoning (CFP), salah satu keracunan makanan laut nonbakteri paling umum. Gejala utamanya dapat meliputi
- Gastrointestinal: mual, muntah, diare, sakit perut.
- Neurologis: parestesia (kesemutan), rasa terbakar, fenomena suhu terbalik (air dingin terasa panas dan sebaliknya), sakit kepala, kelemahan otot.
- Kardiovaskular: bradikardia, hipotensi.
- Komplikasi berat: kejang, gangguan pernapasan, bahkan kasus fatal telah dilaporkan pada wabah besar.
Gejala bisa berlangsung dari beberapa hari hingga berbulan-bulan, dan pada sebagian pasien dapat menetap dalam jangka panjang.
4. Kontaminasi mikroba dan keracunan lainnya
Selain risiko kimia seperti merkuri atau polutan organik, daging hiu juga dapat menimbulkan bahaya biologis apabila tidak ditangani dengan benar. Hiu, seperti ikan laut lainnya, rentan terkontaminasi bakteri patogen maupun racun yang terbentuk akibat proses pembusukan.
- Infeksi bakteri laut
Bakteri Vibrio parahaemolyticus, Vibrio vulnificus, dan Salmonella bisa mencemari daging ikan, termasuk hiu. Konsumsi daging mentah atau kurang matang dapat menyebabkan gastroenteritis akut dengan gejala diare, kram perut, mual, muntah, dan demam.
Pada orang dengan sistem imun lemah, infeksi Vibrio vulnificus dapat menimbulkan penyakit berat bahkan sepsis dengan angka fatalitas tinggi.
Selain Vibrio, bakteri lain seperti Aeromonas, Pseudomonas, dan Photobacterium juga dapat berkembang pada ikan yang disimpan pada suhu tidak tepat.
WHO dan FAO menekankan pentingnya rantai dingin (cold chain) serta memasak ikan hingga matang untuk mencegah penyakit bawaan makanan.
- Keracunan histamin (scombroid poisoning)
Walau lebih umum pada ikan keluarga Scombridae (tuna, makerel), tetapi histamin dapat terbentuk juga pada daging ikan lain, termasuk hiu, jika penyimpanan tidak memadai.
Histamin terbentuk ketika bakteri penghasil enzim dekarboksilase menguraikan histidin dalam otot ikan yang dibiarkan pada suhu hangat.
Gejalanya mirip reaksi alergi: wajah memerah, sakit kepala, gatal, jantung berdebar, hingga mual muntah. Pada sebagian kasus bisa menimbulkan hipotensi atau bronkospasme.
Histamin tahan panas, sehingga memasak tidak menghilangkan toksin ini. Pencegahan hanya bisa dilakukan dengan penanganan rantai dingin sejak ikan ditangkap.
- Toksin lain dari pembusukan atau kontaminasi silang
Daging hiu yang tidak higienis saat pemrosesan dapat tercemar Listeria monocytogenes atau Escherichia coli.
5. Mengandung urea
Daging hiu memiliki bau amonia yang kuat, berasal dari senyawa bernama urea. Beberapa juru masak mungkin mencoba menutupi bau ini dengan bumbu atau teknik pengolahan, tetapi urea tidak bisa dihilangkan dari jaringan daging.
Urea sendiri adalah produk limbah alami dari metabolisme protein yang biasanya diproses melalui ginjal. Hiu memiliki kadar urea tinggi karena mereka adalah hewan karnivora. Jika tubuh manusia menyerap terlalu banyak urea, hal ini dapat menyebabkan kerusakan ginjal serius hingga gagal ginjal.
Mengonsumsi daging hiu, terutama yang difermentasi dalam urea, dapat merugikan kesehatan manusia.
6. Mengandung arsenik

Sebuah penelitian tahun 2014 di Southern Cross University, Australia, menemukan bahwa beberapa spesies hiu memiliki kadar arsenik yang sangat berbahaya dalam dagingnya. Spesies yang diteliti termasuk Sandbar Shark, Dusky Shark, Great White Shark, Whale Shark, Dwarf Pygmy Shark, dan Hammerhead Shark. Semua menunjukkan kadar arsenik jauh melampaui standar konsumsi yang dapat diterima.
Arsenik diketahui dapat merusak paru-paru, kulit, ginjal, dan hati, serta meningkatkan risiko serangan jantung, stroke, kanker, bahkan kematian. Meski daging hiu dari spesies ini diperdagangkan di pasar internasional, konsumsi daging tersebut sangat berbahaya dan sebaiknya dihindari sepenuhnya.
7. Mengandung timbal
Sebuah penelitian yang diterbitkan tahun 2013 di jurnal Tropical Conservation Science menemukan bahwa daging hiu mengandung kadar timbal yang sangat tinggi. Studi ini dilakukan oleh tiga peneliti di Samudra Pasifik dan meneliti beberapa spesies hiu. Hasilnya menunjukkan bahwa semua spesimen yang diuji memiliki kadar timbal beracun dalam tubuhnya.
Para peneliti juga menemukan bahwa makin besar ukuran hiu, makin tinggi pula kadar timbal yang terakumulasi.
Timbal sangat berbahaya bagi manusia. Paparannya dapat menyebabkan keluhan ringan seperti sakit perut dan sakit kepala, hingga masalah serius seperti kejang, koma, bahkan kematian. Mengonsumsi daging hiu, terutama dari spesies besar, hiu yang lebih tua, atau bagian organ dalam, dapat meningkatkan risiko keracunan timbal.
Dengan semua risiko dari logam berat seperti merkuri, arsenik, dan timbal, hingga racun biologis dan kontaminasi mikroba, daging hiu bukan pilihan yang aman untuk dikonsumsi. Bahayanya bukan cuma zat beracun yang terakumulasi secara alami dalam tubuh hiu, tetapi juga bagaimana hiu ditangani setelah ditangkap. Tanpa pengolahan yang tepat, risiko keracunan akan meningkat drastis dan dampaknya pada kesehatan pun tak main-main.
Referensi
"Dapur Ditutup usai Siswa Keracunan, Orang Tua di Ketapang Tolak MBG." IDN Times Kaltim. Diakses September 2025.
"FDA/EPA 2004 Advice on What You Need to Know About Mercury in Fish and Shellfish." U.S. Food and Drug Administration (FDA). Diakses September 2025.
"Mercury." World Health Organization. Diakses September 2025.
"WHO FOOD ADDITIVES SERIES: 58 Safety evaluation of certain food additives and contaminants (PDF)" Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) METHYL MERCURY. Diakses September 2025.
"Methylmercury poisoning." UCSF Health. Diakses September 2025.
Maria M. Storelli and Giovanni O. Marcotrigiano, “Persistent Organochlorine Residues and Toxic Evaluation of Polychlorinated Biphenyls in Sharks from the Mediterranean Sea (Italy),” Marine Pollution Bulletin 42, no. 12 (2001): 1323–1329, https://doi.org/10.1016/S0025-326X(01)00142-4.
Storelli MM, et al. "Concentrations and hazard assessment of polychlorinated biphenyls and organochlorine pesticides in shark liver from the Mediterranean Sea." Marine Pollution Bulletin 50(8):850–855 (2005). DOI: 10.1016/j.marpolbul.2005.02.023
Roubie E, et al. "Trace metals distribution in tissues of 10 different shark species from the Eastern Mediterranean Sea." Fishes 9(2):77 (2024). DOI: 10.3390/fishes9020077.
"Risk for animal and human health related to the presence of dioxins and dioxin‐like PCBs in feed and food." EFSA. Diakses September 2025.
"IARC Monographs on the Evaluation of Carcinogenic Risks to Humans Volume 107, 2015." Diakses September 2025.
Duk-Hee Lee et al., “A Strong Dose-Response Relation Between Serum Concentrations of Persistent Organic Pollutants and Diabetes,” Diabetes Care 29, no. 7 (June 26, 2006): 1638–44, https://doi.org/10.2337/dc06-0543.
Juan Muñoz-Arnanz et al., “Occurrence and Distribution of Persistent Organic Pollutants in the Liver and Muscle of Atlantic Blue Sharks: Relevance and Health Risks,” Environmental Pollution 309 (July 12, 2022): 119750, https://doi.org/10.1016/j.envpol.2022.119750.
"JOINT FAO/WHO EXPERT CONSULTATION ON THE RISKS AND BENEFITS OF FISH CONSUMPTION Rome, 25–29 January 2010 (PDF)." Diakses September 2025.
Diogène, J., Reverté, L., Rambla-Alegre, M. et al. Identification of ciguatoxins in a shark involved in a fatal food poisoning in the Indian Ocean. Sci Rep 7, 8240 (2017). https://doi.org/10.1038/s41598-017-08682-8.
Lauren Meyer et al., “An Investigation Into Ciguatoxin Bioaccumulation in Sharks,” Toxicon 119 (June 11, 2016): 234–43, https://doi.org/10.1016/j.toxicon.2016.06.007.
J. D. Oliver, “Wound Infections Caused by Vibrio Vulnificus and Other Marine Bacteria,” Epidemiology and Infection 133, no. 3 (March 1, 2005): 383–91, https://doi.org/10.1017/s0950268805003894.
"Risk assessment of Vibrio parahaemolyticus in seafood (2005)." FAO/WHO. Diakses September 2025.
"Fish and Fishery Products Hazards and Controls Guidance – Chapter 7: Scombrotoxin (Histamine) Formation. (2021)." FDA. Diakses September 2025.
Adnorita Fandah Oktariani et al., “Role of Marine Bacterial Contaminants in Histamine Formation in Seafood Products: A Review,” Microorganisms 10, no. 6 (June 11, 2022): 1197, https://doi.org/10.3390/microorganisms10061197.
"The Dangers Of Eating Shark Meat." Keiko Conservation. Diakses September 2025.
Sebastián A. Lopez, Nicole L. Abarca, and Roberto C. Meléndez, “Heavy Metal Concentrations of Two Highly Migratory Sharks (Prionace Glauca and Isurus Oxyrinchus) in the Southeastern Pacific Waters: Comments on Public Health and Conservation,” Tropical Conservation Science 6, no. 1 (March 1, 2013): 126–37, https://doi.org/10.1177/194008291300600103.
"Shark Meat: Delicacy Or Dangerous?." Asociación CREMA. Diakses September 2025.