Dukungan Keluarga Jadi Kunci Pemulihan Pasien Bipolar dan Skizofrenia

- Kepatuhan dan kepedulian merupakan kunci pemulihan gangguan bipolar dan skizofrenia.
- Kasus early-onset gangguan bipolar dan skizofrenia makin meningkat, tetapi sering tidak terdeteksi karena disalahartikan sebagai fase perkembangan remaja.
- Gangguan bipolar dipicu oleh faktor genetik, lingkungan, neurobiologis, dan psikososial, sementara skizofrenia cenderung dipengaruhi oleh faktor genetik, komplikasi sejak kelahiran, lingkungan, dan kelainan struktur otak.
Pemulihan pasien dengan gangguan bipolar dan skizofrenia tidak hanya bergantung pada obat semata. Dua kondisi ini juga bergantung pada dua faktor penting, yaitu kepatuhan (compliance) dan kepedulian (care).
Kepatuhan terhadap pengobatan sangat krusial karena berdampak langsung terhadap stabilitas kondisi pasien. Sayangnya, di Indonesia, tantangan terbesar terletak pada faktor kepatuhan. Masih banyak pasien enggan melanjutkan terapi akibat stigma negatif seputar gangguan jiwa serta efek samping dari obat-obatan.
Padahal, keberhasilan pengobatan sangat dipengaruhi oleh dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitar sebagai support system utama.
1. Kasus gangguan bipolar dan skizofrenia pada usia muda meningkat

Gangguan bipolar dan skizofrenia tak lagi identik dengan usia dewasa. Menurut Prof. Dr. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ, SubSp A.R. (K), MIMH, Guru Besar Psikiatri Subspesialis Anak dan Remaja FKUI-RSCM, kini kasus early-onset atau kemunculan dini pada anak-anak dan remaja meningkat.
Sayangnya, banyak kasus tidak terdeteksi karena gejala awalnya sering disalahartikan sebagai bagian dari fase perkembangan remaja yang normal. Ini termasuk perubahan emosi atau perilaku memberontak.
"Beberapa studi dan pengalaman di meja praktek memperlihatkan bahwa kasus yang muncul lebih awal atau early-onset terjadi pada usia yang lebih muda," jelas Prof. Tjhin dalam acara temu media Wellesta pada Rabu (14/5/2025) di Jakarta.
Padahal, jika tidak ditangani dengan tepat, gangguan mental ini bisa berdampak serius terhadap tumbuh kembang, prestasi akademik, hingga hubungan sosial remaja.
2. Gejala dan faktor risiko bipolar dan Skizofrenia
Gangguan bipolar dan skizofrenia memiliki karakteristik dan faktor risiko yang berbeda, tetapi sama-sama kompleks. Menurut Prof. Tjhin, gangguan bipolar dipicu oleh kombinasi faktor genetik, lingkungan, neurobiologis, dan psikososial.
Gejala yang umum meliputi episode mania (suasana hati yang sangat tinggi) dan episode depresi (kesedihan mendalam hingga munculnya keinginan bunuh diri). Dalam beberapa kasus, gejala mania dan depresi bisa muncul bersamaan, sehingga menyulitkan diagnosis awal.
Sementara itu, skizofrenia cenderung dipengaruhi oleh faktor genetik, komplikasi sejak kelahiran (perinatal), lingkungan, dan kelainan struktur otak (neurodevelopmental).
"Beberapa gejalanya seperti gejala positif (halusinasi, delusi), gejala negatif (kurang motivasi dan cenderung datar), dan disorganisasi (bicara tidak koheren dan perilaku tidak sesuai konteks),” jelas Prof. Tjhin.
3. Pentingnya diagnosis dini

Diagnosis dan intervensi dini memegang peranan penting dalam memperbaiki prognosis gangguan bipolar dan skizofrenia. Namun, proses ini tidak selalu mudah, terutama pada anak dan remaja.
Prof. Tjhin menyoroti bahwa gejala awal sering kali tumpang tindih dengan gangguan mental lain seperti ADHD atau autisme, sehingga menyulitkan identifikasi. Tak jarang gejala awal dianggap sebagai bagian dari perkembangan normal anak.
Selain itu, keterbatasan anak dalam mengekspresikan pikiran atau perasaan mereka turut menjadi hambatan. Kurangnya studi yang komprehensif serta panduan baku penanganan untuk kelompok usia muda juga memperburuk kondisi ini.
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah masih kuatnya stigma dari orang tua maupun masyarakat.
"Stigma orang tua dan masyarakat yang merasa gangguan mental masih tabu sehingga cenderung menyangkal atau menyembunyikan kondisi tersebut," tambah Prof. Tjhin.
4. Kepatuhan dan dukungan penting untuk pemulihan

Menurut Prof. Tjhin, pasien yang patuh terhadap terapi medis cenderung lebih stabil, dan memiliki risiko kekambuhan yang rendah. Mereka juga mampu menjalani kehidupan sosial dan pendidikan secara lebih optimal.
Sayangnya, kepatuhan berobat masih menjadi tantangan besar. Stigma negatif terhadap gangguan jiwa hingga kekhawatiran terhadap efek samping obat membuat banyak pasien terhambat dalam menjalani terapi secara konsisten.
Dalam hal ini, peran support system sangat vital. Dukungan keluarga, orang terdekat, dan lingkungan sekitar mendorong mereka untuk tidak menyerah dalam proses pengobatan jangka panjang.
"Dukungan tersebut berdampak langsung pada stabilisasi emosi dan penguatan psikologis yang bermakna, meningkatkan kepatuhan pengobatan, membantu mengurangi stigma negatif dan isolasi sosial, serta mendorong pemulihan sosial dan fungsi akademik anak dan remaja," jelas Prof. Tjhin.
Gangguan bipolar dan skizofrenia pada anak dan remaja bisa ditangani dengan tepat dan konsisten. Diagnosis dini, pengobatan yang optimal, serta dukungan menjadi kunci untuk memperbaiki kualitas hidup mereka. Dengan meningkatkan kesadaran, kita bisa membantu mereka menjalani hidup yang lebih stabil dan bermakna.