"Sebanyak 65 persen dari rencana demensia nasional saat ini menyebutkan rehabilitasi. Rehabilitasi ini seharusnya menjadi hak. ADI menghimbau pemerintah untuk sepenuhnya mengintegrasikan rehabilitasi demensia ke dalam kebijakan kesehatan," ia memaparkan.
Terapi Musik, Pendekatan Nonobat yang Menjanjikan bagi Demensia

- Sebanyak empat dari lima orang, serta ironisnya dua pertiga tenaga kesehatan, masih percaya bahwa demensia adalah bagian alami dari proses menua. Padahal, ini adalah anggapan yang keliru.
- Di tengah keterbatasan pengobatan medis untuk Alzheimer, terapi musik hadir sebagai pendekatan nonfarmakologis yang menjanjikan.
- Musik bisa menjadi “jembatan komunikasi” yang mampu menembus hambatan kognitif dan emosional yang dihadapi oleh pasien Alzheimer.
Setiap tahunnya, September diperingati sebagai Bulan Kesadaran Alzheimer Sedunia. Ini menjadi momen penting untuk mengingatkan masyarakat bahwa penyakit ini bukan sekadar "pikun" pada usia lanjut, melainkan tantangan kesehatan global yang kian meningkat.
Di tengah keterbatasan obat medis yang tersedia, penelitian di berbagai negara mulai menyoroti pendekatan alternatif untuk meningkatkan kualitas hidup pasien Alzheimer. Salah satunya adalah terapi musik yang kerap disebut sebagai “obat tanpa pil”, karena terbukti mampu membangkitkan kenangan, menenangkan emosi, hingga memperkuat interaksi sosial pasien Alzheimer.
Dalam diskusi media pada Rabu (17/9/2025) di Jakarta, Alzheimer Indonesia (ALZI) mengajak masyarakat untuk memahami kondisi ini secara lebih dalam.
1. Mitos demensia sebagai bagian dari penuaan
Survei Alzheimer’s Disease International (ADI) mengungkapkan fakta yang mengkhawatirkan. Sebanyak empat dari lima orang, serta ironisnya dua pertiga tenaga kesehatan, masih percaya bahwa demensia adalah bagian alami dari proses menua. Padahal, anggapan keliru ini bisa berdampak serius, mulai dari diagnosis yang tertunda, akses perawatan yang terhambat, hingga banyak keluarga yang akhirnya harus berjuang sendirian menghadapi kondisi Alzheimer.
Regional Director Asia Pacific ADI, DY Suharya, menegaskan bahwa meskipun Alzheimer belum memiliki obat, tetapi penelitian menunjukkan hingga 45 persen kasus demensia dapat ditunda atau dicegah dengan mengendalikan faktor risiko. Ini termasuk merokok, tekanan darah tinggi, kurangnya aktivitas fisik, pola makan buruk, dan isolasi sosial, yang semuanya terbukti berkontribusi pada perkembangan penyakit ini.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa berbagai alat diagnostik dan terapi baru kini mulai bermunculan yang dapat memperlambat laju penyakit bila dikenali sejak dini.
2. Tanda awal demensia
Mengenali gejala sejak dini adalah langkah penting agar orang dengan Alzheimer mendapatkan perawatan yang tepat. ADI menyoroti ada setidaknya sepuluh tanda peringatan yang patut diwaspadai:
- Hilang ingatan: terutama kesulitan mengingat informasi baru.
- Kesulitan melakukan tugas sehari-hari: misalnya memasak resep yang sudah biasa atau mengatur keuangan.
- Gangguan bahasa: sulit menemukan kata yang tepat atau menyusun kalimat.
- Disorientasi waktu dan tempat: lupa hari, tanggal, atau bingung berada di lokasi yang seharusnya familiar.
- Penurunan kemampuan menilai: seperti salah mengambil keputusan atau ceroboh dalam hal keuangan.
- Kesulitan mengikuti alur: misalnya tidak bisa menyelesaikan resep, instruksi, atau alur cerita sederhana.
- Sering salah meletakkan barang: hingga menuduh orang lain mengambilnya.
- Perubahan suasana hati dan perilaku: mudah marah, curiga, atau cemas tanpa sebab jelas.
- Gangguan visual dan spasial: sulit membaca, menilai jarak, atau mengenali wajah.
- Menarik diri dari pekerjaan atau aktivitas sosial: kehilangan minat pada kegiatan yang dulu disukai.
Tanda-tanda tersebut sering kali dianggap sebagai “pikun” dan hal biasa dari penuaan. Padahal, ini bisa menjadi sinyal awal demensia. Deteksi dini memungkinkan intervensi lebih cepat, baik secara medis maupun dengan dukungan nonobat seperti terapi musik.
3. Terapi musik untuk orang dengan demensia
Di tengah keterbatasan pengobatan medis untuk Alzheimer, terapi musik hadir sebagai pendekatan nonfarmakologis yang menjanjikan.
Dikatakan oleh Prof. Monique van Bruggen-Rufi, seorang terapis musik profesional, dan Tassya Tanzil, Neurologic Music Therapist and Fellow, musik mampu membangkitkan ingatan emosional dan autobiografis yang sering kali tidak dapat diakses dengan cara lain.
"Melalui aktivasi jaringan saraf yang masih utuh, musik bisa menstimulasi otak, meningkatkan kesejahteraan emosional, sekaligus memperbaiki kualitas hidup orang dengan demensia," ucap Tassya.
Beberapa manfaat terapi musik pada penyakit neurodegeneratif antara lain:
- Alzheimer: membantu mengakses kembali memori yang hilang.
- Parkinson: meredakan tremor dan mendukung koordinasi gerak (gait).
- Lewy body dementia: memperbaiki fungsi eksekutif dan perilaku.
- Aspek sosial dan emosional: mengurangi kecemasan, membangun kembali koneksi dengan orang terdekat, serta mendorong interaksi positif.
Dengan kata lain, musik bisa menjadi “jembatan komunikasi” yang mampu menembus hambatan kognitif dan emosional yang dihadapi oleh pasien Alzheimer.
Musik memang bukan obat penyembuh Alzheimer, tetapi mampu menjadi pengingat, penenang, sekaligus penghubung yang menjaga martabat dan kualitas hidup pasien. Dalam Bulan Kesadaran Alzheimer Sedunia ini, mari lebih peka terhadap tanda-tandanya agar penanganan terhadap demensia bisa lebih cepat.