Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Alasan Ilmiah Mengapa Seseorang Sulit Berhenti Berbohong  

ilustrasi dua perempuan mengobrol (pexels.com/@fauxels)

Pernahkah kamu merasa terjebak dalam kebohongan meski tahu itu salah? Berbohong adalah tindakan memberikan informasi yang tidak benar, baik secara sadar maupun tidak, demi mencapai tujuan tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, kebohongan bisa berkisar dari "white lies" yang dianggap sepele hingga kebohongan besar yang dapat menghancurkan hubungan.

Meskipun terlihat sepele, kebiasaan berbohong bisa menjadi kebiasaan buruk yang sulit dihentikan. Mengapa kita terjebak dalam kebohongan meski menyadari bahwa kejujuran seharusnya lebih baik? Ternyata, ada sejumlah faktor ilmiah yang dapat menjelaskan perilaku ini. Yuk simak!

1. Otak terbiasa dengan rasa bersalah yang menyusut seiring waktu

ilustrasi tiga perempuan bahagia (pexels.com/@ketut-subiyanto)

Saat pertama kali seseorang berbohong, otaknya merasakan dorongan rasa bersalah yang cukup besar. Semakin sering seseorang berbohong, rasa bersalah itu semakin menurun. Menurut studi yang diterbitkan dalam Nature Neuroscience, disebutkan bahwa otak memiliki kemampuan beradaptasi yang membuatnya terbiasa dengan sensasi rasa bersalah yang muncul.

Semakin sering kita melakukannya, semakin kecil perasaan bersalah yang dirasakan. Misalnya, saat berbohong kecil tentang waktu keberangkatan, otak akan menganggapnya lebih ringan. Seiring waktu, batasan moral terhadap kebohongan menjadi semakin kabur.

2. Pengaruh dopamin pada otak yang menciptakan "rasa senang"

ilustrasi dua perempuan tertawa (pexels.com/@julia larson)

Saat seseorang berbohong, otak melepaskan zat kimia yang disebut dopamin. Zat ini bertanggung jawab atas perasaan bahagia atau senang setelah melakukan suatu tindakan, bahkan ketika tindakan tersebut tidak benar. Studi menunjukkan bahwa kebohongan bisa menghasilkan kepuasan singkat pada otak.

Seseorang yang berbohong mendapatkan “reward” dalam bentuk pelepasan dopamin, terutama jika kebohongan itu menguntungkannya secara emosional atau material. Efek dopamin ini mirip dengan efek kecanduan. Semakin sering dilakukan, semakin tinggi kebutuhan untuk mengulangi kebohongan demi merasakan kesenangan tersebut.

3. Kebohongan bisa menjadi strategi berbahan untuk menghindari konflik

ilustrasi laki-laki mengobrol (pexels.com/@nappy)

Kita sering kali berbohong untuk menghindari situasi atau konflik yang tidak diinginkan. Dalam istilah psikologi, ini dikenal sebagai “self-preservation.” Misalnya, seseorang mungkin mengatakan ia baik-baik saja, meskipun merasa sebaliknya, demi menjaga hubungan atau menghindari pertanyaan lebih lanjut.

Menurut Dr. Bella DePaulo, seorang psikolog sosial, kebohongan sering digunakan sebagai cara untuk mempertahankan hubungan yang sehat, atau setidaknya tidak menimbulkan ketegangan. Kebiasaan ini secara bertahap membuat seseorang semakin mudah berbohong demi menghindari ketidaknyamanan, meski mereka tahu bahwa jujur mungkin adalah pilihan terbaik.

4. Terdorong oleh tekanan sosial dan ingin mengikuti harapan orang lain

ilustrasi laki-laki bersalaman (pexels.com/@allan mas)

Banyak orang berbohong untuk menyesuaikan diri atau memenuhi harapan orang lain. Misalnya, seseorang mungkin berbohong mengenai status sosial atau pencapaian pribadi demi terlihat lebih baik di mata lingkungan. Kebohongan ini sering dianggap sepele, tetapi lama-lama bisa menjadi kebiasaan.

Tekanan sosial yang kuat sering kali membuat individu cenderung memodifikasi kenyataan. Mereka mungkin berbohong tentang kehidupan pribadi mereka demi memenuhi standar atau ekspektasi dari lingkungan sekitar. Hal ini bukan hanya berkaitan dengan rasa ingin diterima, tetapi juga agar tidak dipandang sebelah mata oleh orang lain.

5. Berbohong untuk menjaga harga diri dan menghindari perasaan malu

ilustrasi tiga laki-laki mengobrol (pexels.com/@wildlittlethingsphoto)

Kebanyakan orang berbohong untuk melindungi harga diri atau menghindari perasaan malu yang berlebihan. Ini adalah mekanisme pertahanan yang wajar. Dilansir Psychology Today, berbohong kadang-kadang dilakukan sebagai cara untuk menjaga martabat atau bahkan membangun citra diri yang lebih baik.

Misalnya, seseorang mungkin berbohong tentang prestasi kerjanya untuk mempertahankan harga diri. Kebiasaan ini bisa menjadi lingkaran yang sulit dihentikan karena berhubungan erat dengan persepsi diri.

Itulah lima alasan ilmiah mengapa seseorang sulit berhenti berbohong meski tahu itu salah. Dengan memahami akar penyebab ini, semoga kita bisa lebih sadar akan dampak kebohongan dalam kehidupan sehari-hari. Sebab, kejujuran adalah salah satu nilai paling dasar dalam hubungan sosial yang sehat.

Referensi:

- Tali Sharot, Neil Garrett, Stephanie Lazzaro, dan Dan Ariely. 2016. The Brain Adapts to Dishonesty. Nature Neuroscience Journal.

- DePaulo, B. M. 2004. The many faces of lies. In A. G. Miller (Ed.), The social psychology of good and evil: Understanding our capacity for kindness and cruelty (pp. 303-326). NY: Guilford.

- Susan Krauss Whitbourne. 2024. Why People Lie to Preserve Self-Esteem. Psychology Today. Diakses Oktober 2024. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Tiara Merdika
EditorTiara Merdika
Follow Us