Apa Itu Taqlid? Berikut Penjelasan dan Hukumnya dalam Islam

Taqlid menurut Majelis Tarjih dan Tajdid merujuk pada tindakan mengikuti perkataan atau pendapat seseorang, seperti ulama, syekh, kiyai, atau pemimpin, terkait suatu hukum Islam. Hal ini dilakukan tanpa melakukan telaah lebih lanjut apakah perkataan atau pendapat tersebut memiliki dasar dalam Al-Qur'an dan sunah maqbulah atau tidak. Jika terdapat dasar yang kuat, maka pendapat tersebut dapat diterima dan dijalankan.
Menurut hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa yang berdusta atasku, maka hendaklah ia menyediakan tempat duduknya dalam neraka". (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Namun sebaliknya, jika tidak ada dasar yang jelas dan orang yang mengemukakan pendapat tersebut tetap menyatakan bahwa itu merupakan ajaran Islam, maka pendapat semacam itu dianggap sebagai bid‘ah.
Dalam konteks tersebut, bid‘ah merujuk pada penambahan unsur baru dalam ajaran Islam yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam sumber-sumber utama, yaitu Al-Qur'an dan sunah. Orang yang mengadopsi bid‘ah dianggap telah menyediakan tempat duduknya dalam neraka. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai taqlid yang telah kami rangkum untukmu.
1.Mengapa seseorang dapat melakukan taqlid?

Taqlid secara harfiah berarti "mengikuti (seseorang)" atau "meniru". Dalam terminologi hukum Islam, taqlid berarti mengikuti seorang mujtahid dalam hukum dan perintah agama sebagaimana yang telah ia dapatkan. Seorang mujtahid adalah orang yang ahli dalam bidang hukum Islam (fikih); ia juga disebut faqih.
Abu Ma`ali Al-Juwayni mendefinisikan taqlid sebagai sikap mengikuti pendapat seseorang tanpa dalil dan tidak memiliki ilmu. Lantas, mengapa seorang muslim dapat melakukan taqlid?
Dilansir Islam, taqlid dilakukan ketika seseorang mengikuti orang lain secara membabi buta. Mereka juga mengikuti hal-hal yang dilarang, keyakinan-keyakinan yang salah dan etika-etika yang buruk dengan nama-nama yang menarik, tanpa memahaminya, meskipun keburukan dari jenis pengikutan seperti ini sudah jelas terlihat. Hal ini seperti ayat Al-Qur’an:
"Bahkan mereka berkata, "Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama dan kami mendapat petunjuk untuk mengikuti jejak mereka"." (QS. Az-Zukhruf: 22)
2.Kategori dan hukum taqlid

Menurut Fiqh, setidaknya ada 4 jenis alasan taqlid masih dilakukan. Di antaranya adalah:
1. Mujtahid yang mengikuti Ijtihad ulama lain, meskipun kebenaran telah dijelaskan kepadanya dengan bukti yang pasti dari Nabi SAW. Taqlid ini tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan apa yang telah sampai kepadanya dari dalil dan Ijma` (Konsensus Ulama Muslim).
2. Mujtahid mengikuti seorang ulama dari kalangan Mujtahidin (ulama yang melakukan Ijtihad) sebelum ia menetapkan suatu hukum dengan Ijtihadnya. Taqlid ini juga tidak diperbolehkan karena kewajibannya adalah berijtihad untuk mengetahui hukum-hukum syariat dalam suatu masalah.
3. Seseorang yang tidak memiliki kemampuan berijtihad mengikuti seorang Mujtahid. Taqlid jenis ini diperbolehkan oleh Allah, seperti yang tertera pada surat An-Nahl:
“Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS An-Nahl:43)
4. Seorang dengan ketaatan buta terhadap pandangan nenek moyang, pemimpin, dan penguasa yang bertentangan dengan syariah. Taqlid jenis ini dilarang oleh Ijma. Mengenai konteks ini, Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 170:
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". Mereka menjawab: "Kami hanya mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengikutinya", padahal bapak-bapak mereka tidak mengetahui sesuatu pun dan tidak pula mendapat petunjuk." (Al-Baqarah: 170).
3.Pentingnya menghindari taqlid

Setiap mujtahid yang mengizinkan orang lain untuk mengikutinya biasanya memiliki risalah. Hukum-hukum tersebut berasal dari Al-Qur'an dan sunah. Berdasarkan penelitiannya, kita dapat mengetahui hukum-hukum Islam dengan membaca buku mujtahid atau bertanya langsung kepadanya. Sebagai contoh, jika ia memiliki situs web, kita dapat mengirim email kepadanya dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kita.
Dalam Islam, ketidaktahuan bukanlah sebuah alasan. Jika kita tidak salat dengan benar atau berwudu dengan benar, kita tidak dapat mengatakan kepada Allah SWT pada Hari Kiamat bahwa kita tidak tahu bagaimana melakukannya dengan benar atau kita tidak dapat membaca bahasa Arab.
Dikutip laman resmi Muhammadiyah, dalam Fatwa Tarjih yang termuat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 10 dan 11 tahun 2006, disebutkan bahwa taqlid itu tercela hukumnya. Bagi orang yang belum tahu apa-apa tentang ajaran Islam dan kaum muslimin yang belum sanggup mencari dasar suatu hukum yang disampaikan kepadanya, maka hal itu bukanlah taqlid, serta hendaklah ia menanyakan kepada orang yang lebih tahu.