Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Bhrisco Jordy Majukan Peradaban Pulau Mansinam melalui Pendidikan

Bhrisco Jordy bersama anak-anak di Pulau Mansinam (dok. Papua Future Project)

Deretan pantai dan gugusan pulau dengan pemandangan memukau bak surga kecil di timur Indonesia, Papua. Masyarakatnya pun masih memegang teguh adat istiadat turunan nenek moyang. Keceriaan anak-anak usia sekolah dapat terbayang, seolah tanpa beban.

Di balik alamnya yang eksotis, budaya dan sejarahnya yang luar biasa, terdapat kesenjangan signifikan di dunia pendidikan. Hidup di Papua bukan hal mudah. Betapa sulit menjangkau daerah tetangga, bahkan pulau yang dekat dari kota. Keterbatasan akses tidak hanya di sektor transportasi, tetapi menjalar ke sektor pendidikan.

Keterbatasan bukan alasan untuk berdiam diri menerima keadaan. Justru menjadi salah satu motivasi Bhrisco Jordy Dudi Padatu untuk bangkit dan bisa memberikan dampak serta perubahan positif di lingkungan sekitarnya. Pemuda yang kerap disapa Jordy tersebut lahir dan tumbuh di tanah Papua. Membuatnya cukup paham dengan peradaban orang asli Papua yang jauh dari ibu kota Nusantara.

Jordy merasa beruntung dapat menempuh pendidikan tinggi hingga mendapatkan gelar sarjana jurusan Internasional Relations with Diplomacy Concentration di President University. Sebuah anugerah yang tidak didapatkan semua anak-anak, terutama di Papua. Hal ini menjadi salah satu bekalnya untuk memberikan kesempatan yang sama kepada anak-anak Papua, termasuk kesempatan untuk mengakses pendidikan.

Niat dan rasa peduli di dunia pendidikan membuat Jordy berinisiatif untuk mendirikan Papua Future Project (PFP) pada 2020, sebuah komunitas berbasis proyek di bidang pendidikan yang diresmikan pada Juli 2021. Meski baru sekitar 2 tahun berjalan, sepak terjang PFP sudah mampu menginspirasi dan memberikan dampak kepada pemuda dan anak-anak di Papua, bahkan Indonesia.

1.Keinginan Jordy untuk memberikan pendidikan yang lebih inklusif

aktivitas belajar mengajar di Pulau Mansinam bersama Papua Future Project (dok. Papua Future Project)

Sebagai penggagas Papua Future Project, Jordy sekaligus menjadi aktivis di bidang pendidikan. Selain itu, ia juga partner potensial United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF) Indonesia yang berfokus pada akses imunisasi kepada anak-anak di seluruh Papua.

Hal ini membuatnya kerap mengunjungi sejumlah daerah untuk memberikan imunisasi, informasi terkait imunisasi, dan pelatihan Human Centered Design (HCD) dalam sebuah modul yang dibuat oleh Kementerian Kesehatan berkolaborasi dengan UNICEF. Ia pun turut berpartisipasi mengajarkan tenaga kesehatan tentang bagaimana cara melakukan pendekatan berbasis HCD.

Sering berbaur di tengah masyarakat asli Papua di berbagai daerah membuat pemuda kelahiran Jayapura, 9 September 2000 tersebut merasa prihatin dengan kondisi mereka. Akses pendidikan yang kurang memadai hingga kurangnya profesionalitas guru mampu menggetarkan hatinya.

“Kira-kira, harus menunggu sampai kapan lagi, jika kita hanya berharap pada Pemerintah dan para pejabat untuk membuat perubahan,” ujar Jordy menumpahkan pikirannya.

Jika hanya menunggu perubahan dilakukan oleh para petinggi Negeri, tentu akan membutuhkan waktu yang lama. Jordy juga menyadari bahwa tugas Pemerintah tidak hanya berfokus pada sektor pendidikan, masih banyak aspek yang harus diperhatikan.

Sebagai pemuda, Jordy ingin berkontribusi dan membawa perubahan di tanah Papua serta pelosok Indonesia di sektor pendidikan. Meski ia sendiri sedang bersiap untuk menempuh pendidikan selanjutnya. Namun, tetap semangat untuk berbagi ilmu dan memberikan pendidikan yang lebih inklusif bagi masyarakat di sekitarnya.

2.Lahirnya Papua Future Project di tengah pandemik COVID-19

Tim Papua Future Project bersama anak-anak di Pulau Mansinam (dok. Papua Future Project)

Kala itu, berbagai negara, termasuk Indonesia, tengah menghadapi pandemik COVID-19 yang berdampak cukup signifikan di berbagai sektor. Mulai sektor ekonomi, cara berinteraksi sosial, hingga perbedaan kegiatan belajar mengajar di sektor pendidikan. Banyak kegiatan yang dilakukan jarak jauh dan dalam jaringan (daring) untuk tetap terhubung dengan orang lain.

Tidak jauh dari Kota Manokwari, Papua Barat, terdapat sebuah pulau yang menarik perhatian Jordy. Pulau Mansinam namanya, pulau bersejarah bagi peradaban orang asli Papua. Pasalnya, diyakini sebagai tempat pertama kali Injil masuk ke tanah Papua hingga mengubah nasib mereka. Dahulu, penduduk asli Papua tidak mengenal Tuhan, tetapi kini sudah banyak yang beragama dan meyakini keberadaan Tuhan.

Selain latar belakang sejarahnya, pendidikan di Pulau Mansinam begitu memprihatinkan,, bahkan sebelum pandemik COVID-19. Kondisinya makin parah sejak COVID-19, pemberlakuan lockdown membuat para guru dari kota kesulitan menuju Pulau Mansinam. Hal ini membuat anak-anak kesulitan, bahkan tidak belajar.

Sebelum pandemik COVID-19 saja anak-anak hanya belajar sekitar 2 jam di sekolah, itu pun jika ada guru yang datang mengajar. Adanya pandemik COVID-19 membuat kegiatan belajar mengajar tidak karuan. Apalagi, mereka juga harus menghadapi keterbatasan akses internet dan sarana prasarananya. Hal tersebut yang membuat Jordy beserta komunitasnya untuk memulai kegiatan PFP di Pulau Mansinam.

Ia paham betul bahwa penduduk di Pulau Mansinam masih memegang teguh nilai budaya dan adat istiadat. Kehadiran PFP dengan moto “Every Child Matters” menyokong mereka di sektor pendidikan, supaya dapat membaca, menulis, dan memahami budayanya sendiri, sehingga masyarakat setempat dapat mempertahankan kebudayaannya dan tidak terkikis oleh zaman.

“Jika tidak ada pendidikan yang baik, belum lagi adanya globalisasi, efek rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim. Hal itu dapat memengaruhi nasib anak-anak asli Papua dan kualitas hidup mereka di masa depan. Salah satu caranya dengan membentuk dari sektor pendidikan,” jelas Jordy saat dihubungi.

3.Antara kesenjangan dan semangat belajar di Pulau Mansinam

aktivitas belajar mengajar di Pulau Mansinam bersama Papua Future Project (dok. Papua Future Project)

Soal fasilitas pendidikan di Pulau Mansinam, saat ini sudah terdapat sebuah gedung Sekolah Dasar (SD). Fasilitasnya pun sudah ada, seperti bangunan yang terbilang layak hingga komputer untuk mendukung keberlangsungan pendidikan. Namun, permasalahan utama justru dari segi kurikulumnya.

Di balik fasilitas seadanya dan akses yang minim, anak-anak dituntut untuk mengikuti standardisasi yang tinggi oleh pemerintah pusat. Seolah ingin menyamaratakan kualitas pendidikan anak-anak di Papua dengan daerah lain atau bahkan kota-kota besar untuk menyesuaikan kurikulum yang berlaku. Sayangnya, tanpa memperhatikan keterbatasan yang dihadapi oleh penduduk setempat.

Permasalahan lain juga dialami oleh para guru, sekalipun telah tersedia perahu untuk transportasi menuju Pulau Mansinam. Namun, minimnya informasi yang diterima oleh para guru dapat mengurangi profesionalitas mereka. Ditambah lagi kurangnya pelatihan terkait kurikulum yang berlaku membuat kurangnya kualitas tenaga pengajar. Kemudian berdampak pada anak-anak tidak dapat memaksimalkan potensi mereka.

“Saya sudah survei di beberapa tempat, mulai Raja Ampat, Maybrat, akan ke Tambrauw, dan daerah lain yang lebih jauh dari ibu kota provinsi. Angka iliterasinya sangat tinggi, meski ada gedung sekolah, tapi guru jarang datang,” ungkap Jordy saat mengisahkan pengalamannya.

Ternyata kesenjangan pendidikan tidak hanya dialami oleh daerah di pelosok Indonesia, tetapi juga daerah yang hanya berjarak sekitar 15—20 menit dari kota. Sekolah bak bangunan kosong dan hanya sebagai pemenuhan kuantitas. Supaya, dianggap pembangunan pendidikan sudah merata. Sedangkan, permasalahan sesungguhnya terletak pada proses belajar mengajar yang tidak efektif.

4.Berbeda, Papua Future Project menerapkan metode asynchronous learning

penerapan asynchronous learning anak-anak di Pulau Mansinam (dok. Papua Future Project)

Untuk mengurai isu literasi di Pulau Mansinam, Jordy yang kala itu masih menempuh pendidikan di bangku kuliah. Ia bahkan rela bekerja paruh waktu sebagai barista dan steward sekitar 2—3 bulan untuk menambah pemasukan. Bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi modal untuk membangun komunitas tersebut dan mendukung berjalannya proyek di Pulau Mansinam.

Ia juga bekerja sama dengan stakeholders terkait, seperti kepala kampung, kepala sekolah, masyarakat setempat, dan tenaga pengajar lokal. Mereka berkolaborasi untuk memenuhi kebutuhan literasi anak-anak di Pulau Mansinam.

Beruntungnya, masyarakat memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan. Sejumlah anak di Pulau Mansinam yang telah menempuh pendidikan di kota dan kembali, kerap mengisahkan kesulitan mereka. Hal ini juga membuka pikiran mereka bahwa di tempat asalnya telah jauh tertinggal dan membutuhkan bantuan di sektor pendidikan.

“Ketika memberikan solusi kepada masyarakat, kita membutuhkan intervensi dari masyarakat secara langsung. Selain itu juga melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Sehingga, kita dapat mencari akar permasalahan tersebut,” ujar Jordy.

Ia juga menjelaskan bahwa di Papua yang menjadi akar permasalahannya yakni literasi baca tulis. Ia menganggap bukan lagi soal membangun sekolah, memberikan komputer, dan segala fasilitas berteknologi tinggi. Pasalnya, fasilitas sudah lengkap, tapi didukung oleh sumber daya manusia yang mampu memanfaatkannya.

Di tengah masyarakat Pulau Mansinam yang memegang teguh nilai budaya dan adat istiadat, PFP memberikan pendidikan dengan kurikulum tersendiri. Disebut sebagai kurikulum kontekstual yang menggabungkan nilai-nilai budaya dan adat istiadat dalam pembelajaran. Sedangkan metode yang digunakan yakni asynchronous learning. Sehingga, anak-anak tidak dituntut menyesuaikan dengan standardisasi Nasional, melainkan mengawali mereka dari kemampuan membaca dan menulis.

Seperti halnya anggapan masyarakat Pulau Mansinam terhadap alam, tanah sebagai ibu dan laut adalah ayah. Mereka tinggal di pulau dan mayoritas bermatapencaharian sebagai nelayan. Masalah lingkungan dapat memengaruhi jumlah tangkapan ikan. Selain itu, kondisi kualitas tanah juga dipengaruhi oleh pembakaran sampah dan aktivitas lainnya.

Sedangkan pendidikan yang diajarkan oleh PFP tidak selalu berunsur akademik, tapi juga cara bertahan hidup masyarakat adat. Sesuai contoh kasus tersebut, maka PFP memberikan pemahaman bagaimana cara berjualan atau bercocok tanam. Sehingga, hasil dari pendidikan tidak hanya secarik kertas, tapi dapat mempengaruhi peradaban dan pola pikir masyarakat di Pulau Mansinam. Seperti itulah gambaran kurikulum kontekstual yang diterapkan PFP.

Sedangkan asynchronous learning merupakan pembelajaran daring secara tidak langsung. Hal ini muncul karena keterbatasan jaringan internet. Siapa saja yang ingin mengajar dapat merekam diri mereka sendiri. Kemudian mengunggahnya melalui kanal Youtube maupun Google Drive. Lalu, pihak PFP akan menyampaikan video tersebut kepada anak-anak di Pulau Mansinam melalui laptop. Sehingga, para pemuda dari daerah lain dapat berkontribusi untuk mengajar anak-anak Papua. Hal ini sebagai solusi sulitnya akses transportasi, keterbatasan waktu, dan mahalnya biaya.

Papua Future Project juga memberikan pelatihan berbasis teknologi. Seperti memberikan kesempatan anak-anak untuk mengetik dan mengoperasikan komputer. Di sisi lain, anak-anak di Pulau Mansinam juga dituntut melaksanakan ujian menggunakan komputer, sesuai ketentuan pemerintah pusat.

5.Terapkan tiga program utama demi mendukung pendidikan yang inklusif

realisasi program Papua Future Project (dok. Papua Future Project)

Selama menjalankan proyek PFP menerapkan tiga program utama demi mendukung pendidikan yang inklusif di Pulau Mansinam. Program pertama yang rutin dilakukan, yakni Belajar Intensif. Program tersebut dilakukan setiap seminggu sekali, pembelajaran berlangsung mulai pukul 12.00–14.00 WIT, sekitar 2–3 jam di sebuah pendopo terbyja. Setiap minggu juga akan ada tema berbeda yang mereka ajarkan.

Papua Future Project membagi anak-anak dalam 3 kelas berbeda, yakni Kelas Kecil, Menengah, dan Besar. Pembagian ini sesuai dengan kemampuan mereka, seperti Kelas Kecil yang diikuti oleh anak-anak yang belum dapat membaca. Kelas tersebut memang khusus untuk kelas literasi baca tulis. Sedangkan rentang usia sekolah sekitar usia PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga SMP yang belum dapat membaca.

Di tingkat selanjutnya terdapat Kelas Menengah, untuk mereka yang sudah dapat membaca dan menulis. Sehingga, PFP berperan mengeksplorasi kemampuan anak dan mendukung apa yang telah diajarkan di sekolah. Sedangkan Kelas Besar, lebih fokus pada belajar teknologi, akademik, bahasa Inggris, dan teori. Biasanya diikuti oleh mereka yang sudah mahir membaca dan menulis, serta bersiap untuk masuk SMA.

Ada sekitar 102 murid di seluruh Pulau Mansinam yang berada di bawah naungan PFP. Setiap kelas diikuti oleh 30-40 orang. Jika kemampuan membaca dan menulis meningkat, maka mereka akan naik ke kelas berikutnya yang lebih tinggi. Kegiatan ini mereka lakukan sambil tetap bersekolah setiap harinya.

Cara belajar yang diterapkan pun beragam, untuk membuat anak-anak tetap semangat untuk menempuh pendidikan. Seperti halnya membuat ular tangga raksasa atau kartu untuk tanya jawab. Hal ini turut memberikan mereka pemahaman bahwa belajar tidak harus dari papan tulis.

Papua Future Project juga memberikan pendidikan untuk meningkatkan soft skill anak-anak di Pulau Mansinam. Seperti mendaur ulang sampah plastik bekas menjadi cindramata yang ramah lingkungan.

Program berikutnya yakni donasi buku dan literasi keliling yang telah dilakukan di lebih dari enam pulau dan kampung. Tim PFP melakukan hal ini kala tidak dapat mengajar secara langsung dan rutin, setidaknya buku sebagai gantinya. Mereka berkolaborasi dengan komunitas yang ada di daerah lain untuk mendistribusikan buku dan membantu anak-anak belajar membaca.

Papua Future Project sudah menyediakan buku dan biasanya berasal dari donatur. Sebagian buku yang telah dibaca anak-anak di Pulau Mansinam, juga akan didistribusikan secara bergilir ke daerah lain. Mereka benar-benar menyasar kampung-kampung yang sulit dijangkau dan membutuhkan, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan.

Sedangkan kelas literasi keliling, PFP sebagai relawan yang keliling ke berbagai daerah, seperti Raja Ampat, Tambrauw, dan daerah lainnya sekitar 2-3 minggu untuk membuka kelas belajar. Hal ini turut memberikan dampak positif kepada masyarakat setempat.

Literasi keliling tidak sebatas menyuguhkan buku dan belajar membaca. Namun, juga mengedukasi masyarakat dan meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan. Seperti pentingnya menjaga penyu sebagai fauna yang dilindungi di Tambrauw.

Berbeda dari kedua program sebelumnya, PFP berkolaborasi dengan UNICEF Indonesia dan Kementerian Kesehatan untuk memberikan akses kesehatan kepada anak-anak. Hal ini dilakukan di tengah masyarakat Papua yang masih menerapkan menikah dini, terutama di kalangan perempuan.

Pendidikan pun diselipkan di tengah sosialisasi kesehatan untuk memerangi konstruksi sosial. Patut disadari bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Jika mereka menikah pada usia muda, juga dapat meningkatkan risiko kematian, demikian pula kondisi mental yang belum siap.

“Pemahaman terkait kesehatan reproduksi, remaja Papua dan Papua Barat masih sangat minim. Kami di kota saja masih sangat tabu, apalagi mereka,” ungkap Jordy.

Tim PFP mengunjungi rumah-rumah dan menggelar konsultasi bersama orang tua yang mempunyai anak perempuan. Di sisi lain, anak-anak perempuan sudah terbuka dan nyaman dengan keberadaan PFP. Sehingga, memudahkan PFP untuk mengedukasi kedua belah pihak secara maksimal. Meski, tetap ada batasan yang tidak dapat mereka tembus.

Misi mengedukasi masyarakat di bidang pendidikan tidak berhenti di situ. Setelah pandemi Covid-19, masyarakat semakin takut untuk melakukan imunisasi. Mereka kerap menyalahartikan sebagai vaksin dan skeptis terhadap efek vaksin yang dapat merenggut nyawa. Kehadiran PFP turut mendekatkan tenaga kesehatan dan masyarakat, sehingga pelayanan kesehatan dapat terpenuhi.

6.Kesulitan menemukan anak muda yang konsisten mengajar dan sempat vakum

aktivitas belajar mengajar di Pulau Mansinam bersama Papua Future Project (dok. Papua Future Project)

Pelaksanaan program PFP tidak selalu berjalan mulus, tetap ada tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya, kesulitan untuk mencari orang-orang yang bersedia meluangkan waktu, menyisihkan uang untuk mengajar. Sekadar menyampaikan materi melalui video pun juga menjadi kendala, sebab tidak semua relawan memiliki laptop atau media yang memadai. Seperti sebuah laptop yang harus digunakan secara bergantian oleh sekitar 100 anak.

Selama menjalankan proyek, PFP juga pernah vakum sekitar 2 bulan. Saat itu, Jordy tengah wisuda dan teman-teman setimnya juga memiliki beragam kesibukan. Namun, mereka bangkit demi menyertakan pendidikan di Pulau Mansinam. Sehingga, program dapat kembali berlangsung.

“Kami selalu punya prinsip bahwa kualitas lebih patut diperhatikan daripada kuantitas. Mau sebanyak apapun relawan, tapi mereka tidak memiliki hati yang tulus untuk mengajar. Maka mereka tidak bisa mempersiapkan pembelajaran dengan baik, percuma,” terang Jordy.

Baginya, walau PFP hanya terdiri dari 5-8 orang, bahkan paling banyak 10 orang setiap pertemuan. Namun, kalau mereka memiliki semangat mengajar, menurutnya tidak masalah seberapa banyak anak-anak yang harus diajari. Di sisi lain, PFP tetap terbuka untuk yang hanya sekadar ikut. Siapa tahu hatinya tergerak, ketika terlibat secara langsung dalam kegiatan PFP.

Tantangan demi tantangan harus dihadapi Jordy dan tim PFP untuk menularkan virus literasi di tanah Papua. Usahanya pun membuahkan hasil, ia terpilih sebagai salah satu peraih penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2022 dari PT Astra Internasional Tbk. Apresiasi tersebut diberikan kepada anak bangsa yang senantiasa memberikan manfaat bagi masyarakat.

Jordy memang patut disebut sebagai Penyuluh Pelita dari Pulau Mansinam. Ia mengubah peradaban masyarakat di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar, salah satunya Pulau Mansinam, Papua Barat, melalui pendidikan tanpa meninggalkan budaya setempat. Ia juga menyadarkan masyarakat bahwa perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk menempuh pendidikan.

7.Bangkit menghadapi tantangan demi pendidikan berkelanjutan di Pulau Mansinam

aktivitas belajar mengajar di Pulau Mansinam bersama Papua Future Project (dok. Papua Future Project)

Penghargaan yang diraihnya tidak lantas membuat Jordy berpuas hati, masih banyak mimpinya untuk memajukan pendidikan di Papua, terutama di Pulau Mansinam. Ia menggunakan keberhasilannya tersebut sebagai sumber dana untuk membantu proyek PFP di masa depan. Walau, ia masih mengandalkan donasi dari berbagai pihak melalui media sosial dan secara daring. Ia juga berencana akan membuat laman khusus untuk penerimaan donasi nantinya. Sebab, sampai artikel ini ditulis, belum ada donatur tetap sebagai sumber dana PFP.

“Semoga, nanti menjadi inspirasi dan motivasi bagi para pemuda, khususnya di Papua untuk berkontribusi secara konsisten dalam ranah pendidikan demi memajukan peradaban anak-anak Papua,” ungkap Jordy menyampaikan salah satu harapannya.

Jordy juga membuka kesempatan untuk siapa saja yang ingin berkontribusi dengan menyumbangkan buku. Ia memiliki mitra di Jakarta yang khusus menerima donasi buku, kemudian akan disalurkan ke Papua melalui layanan jasa titip. Sedangkan untuk donasi berupa uang, dapat melalui rekening PFP.

Pasca meraih penghargaan SATU Indonesia Awards 2022, Jordy bersama tim PFP memilih untuk meningkatkan tiga program utamanya. Ia ingin mengembangkan program-program tersebut secara signifikan dan fokus pada yang sudah ada.

“Pendidikan adalah investasi, sehingga harus investasi lebih banyak lagi daripada membuka program baru,” lanjut Jordy.

Mimpi lain PFP tengah berfokus untuk memberikan akses pendidikan yang inklusif untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Papua. Pasalnya, stigma masyarakat setempat bahwa anak-anak berkebutuhan khusus adalah pembawa karma buruk dari orang tua sebelumnya. Hal ini muncul karena keterbatasan pengetahuan masyarakat.

Papua Future Project terus melebarkan sayap, berusaha menjalin kerja sama dengan LSM dan berbagai pihak untuk memberikan pendidikan berkelanjutan bagi masyarakat Papua. Saat ini, PFP telah bekerja sama dengan komunitas lokal, UNICEF Indonesia, dan HAKLI (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia) Papua Barat.

Gayung bersambut dengan semangat belajar anak-anak di Pulau Mansinam. Jordy mengisahkan, betapa antusiasnya mereka menunggu kehadiran tim PFP. Sejumlah anak pun mengantarkan mereka hingga cukup jauh dari bibir pantai, ketika hendak kembali ke kota. Mereka juga tidak segan memeluk hangat tim PFP, hingga terciptalah keakraban.

Di sisi lain, Jordy berharap ada pelatihan dari Pemerintah atau dinas terkait bagi para guru, seperti program khusus untuk masyarakat 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) dan mengimplementasikan peraturan yang berlaku secara maksimal. Ia juga berharap ada kurikulum khusus untuk anak-anak di daerah 3T, supaya tidak kesulitan belajar karena tingginya standardisasi yang harus dicapai.

Di balik deretan mimpi besarnya, Jordy memiliki kekhawatiran tersendiri jika tidak ada perubahan yang lebih baik di masa depan. Ketika orang-orang di luar sana berbondong-bondong untuk bersaing di kancah Internasional.  Sedangkan anak-anak di Pulau Mansinam dan daerah pelosok masih dengan permasalahan buta huruf.

“Bagaimana caranya kita, Indonesia mau maju kalau pendidikan saja belum inklusif, belum setara? Misalnya, tidak ada perubahan  signifikan dari tahun ke tahun,” ujar Jordy.

Ia menyadari bahwa akan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, artinya ada kemungkinan PFP terhambat. Namun, ia bersungguh-sungguh berjuang mencari relawan yang bersedia untuk bergabung dengan konsisten. Salah satunya dengan memberikan honor untuk biaya transportasi relawan yang mengajar. Meski, sudah ada pengajar tetap di Pulau Mansinam, baginya lebih baik juga merekrut anggota baru.

Sembari terus menjalankan program PFP, Jordy telah menginspirasi dan memotivasi anak muda untuk berbagi. Bukan hanya soal uang, tapi juga tentang ilmu dan patut berkontribusi sekecil apa pun untuk masyarakat sekitar. Ada baiknya melakukan hal-hal yang berdampak positif terhadap lingkungan sekitar, itu pun dapat dimulai dari hal-hal kecil sesuai dengan passion.

Seiring berkembangnya teknologi, para pemuda juga dapat berbagi ilmu melalui media sosial, seperti tips dan trik di sektor pendidikan. Bisa juga bergabung dengan komunitas dan ikut berkontribusi dan terjun secara langsung di tengah masyarakat.

“Sebagai anak muda, jangan selalu bergantung kepada pemerintah, itu kuncinya. Bagaimana kita mau mulai sesuatu, kalau hanya menunggu orang lain. Alangkah baiknya kita yang memulai lebih dahulu, nanti pasti akan ada jalan menuju masa depan,” pesan Jordy di sesi penutup pertemuan.

Semangatnya memajukan peradaban masyarakat Pulau Mansinam di sektor pendidikan patut untuk ditiru. Tanpa menunggu banyak hal, ia bertekad dan gigih menciptakan pendidikan yang inklusif di sekitarnya. Salah satu tujuannya untuk membuat Indonesia lebih maju melalui sektor pendidikan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Fatma Roisatin Nadhiroh
EditorFatma Roisatin Nadhiroh
Follow Us